Selasa, 02 Januari 2018

TAK SEJUANG IBUKU

BILA mengingat kembali begitu bersinar terang mentari, senyum semangatmu menyiapakan sarapan pagi. Ya dia ibuku dengan raut wajah tuanya.
Dia sudah bangun jam 4 subuh saat kami semua masih lelap tertidur. Mengingat usianya yang hampir 50 tahun, terbersit di benakku, apakah masih sempat aku bisa membahagiakan ia kelak.
Terkadang aku bertanya, kenapa ia lebih memilih hidup dengan sarjana yang akhirnya hanya bisa menjadi pekerja serabutan. Ibuku bukanlah seorang petani, dapur sudah menjadi bagian dari hidupnya. Sedangkan ayah tidak ingin menggunakan gelarnya untuk mencari pekerjaan. Dia terlalu berfikir idealis dan mungkin lebih tepat di bilang keras kepala.
Ibuku amatlah cerewet, tetapi itu yang membuat kami semua merasa rindu ketika ibu tidak di rumah. Saat abang ku masuk polisi, ibu mungkin orang pertama yang paling merasa bahagia. Senyum selalu terselip setiap ia beraktifitas.
Kami berasal dari keluarga yang tak berada, dan mungkin baru saat ini di keluarga kami terjadi momen seperti ini. Mungkin yang sukses adalah abangku, tetapi tak dapat di pungkiri, semangat ibuku dan perjuangannya tidak lepas dari kesuksesan abangku.
Saat ia harus bolak balik Medan-Kotanopan untuk mengantar berkas-berkas abangku. Bukan hanya tenaga, setiap malam aku terbangun, tak pernah absen nama kami bersaudara dalam isak tangis doanya. Mungkin dari kebiasaannya tahajud lah yang membuatku tergerak juga melakukannya.
Saat aku gagal tahun sebelumnya untuk mengikuti jejak abangku, tak henti tangisku membayangkan kedua orang tuaku, terutama ibuku. Ya, bisa dibilang ia juga yang selalu menemaniku kemanapun saat aku mendaftar di medan.
Pernah aku berkata “Ma, maaf seharusnya aku yang berjuang sendiri, mama gak perlu ikut’’. Tetapi ia hnya tersenyum dan berkata sudah menjadi kewajiaban orangtua membantu anaknya berjuang’’.
Kuresapi kata-kata itu, semakin menjadi tangisku saat keluar dari lorong gedung ujian. Ma andai kau tau tercabik batin ku bila mengingat perjuangan mu. Bahkan aku tak tau ingin mulai darimana menceritakan perjuanganmu untuk anak-anak mu.
Bila kukenang kembali perjuanganmu, mungkin aku tak akan pernah sanggup membalas itu semua. Waktu berlalu, umurku terus maju, cintamu tak lekang oleh waktu. Sekarang anakmu menimba ilmu dunia akhirat, doakan aku selama aku berjuang ma.
Engkau mungkin saat ini tidak bisa terus memantauku di perantauan. Tapi tanpa perlu kau ragukan, doamu selalu kau berikan. Tak peduli sekarang anak anakmu berjauhan, kasih sayangmu tak henti kau curahkan. Ibu untuk wanita yang berjuang di samping dan di belakangku.

Aku harap memiliki wanita yang mau berjuang untukku, dan keluarga kami kelak. Punya anak dan jauh dari kata TALAK. Aku mungkin tak sejuang dirimu dalam menghadapi hidup, dan tak sekuat hatimu. (Azmi Azhari, mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sumut)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar