BILA
mengingat kembali begitu bersinar terang
mentari, senyum semangatmu menyiapakan
sarapan pagi. Ya
dia ibuku dengan raut wajah tuanya.
Dia
sudah bangun jam 4 subuh saat kami semua masih lelap tertidur. Mengingat usianya yang
hampir 50 tahun, terbersit
di benakku, apakah
masih sempat aku bisa membahagiakan ia kelak.
Terkadang
aku bertanya,
kenapa ia lebih memilih hidup dengan sarjana yang akhirnya hanya bisa menjadi pekerja
serabutan. Ibuku
bukanlah seorang petani, dapur
sudah menjadi bagian dari hidupnya. Sedangkan ayah tidak ingin menggunakan
gelarnya untuk mencari pekerjaan. Dia
terlalu berfikir idealis dan
mungkin lebih tepat di bilang keras kepala.
Ibuku amatlah cerewet, tetapi itu yang membuat
kami semua merasa rindu ketika ibu
tidak di rumah. Saat abang ku masuk polisi, ibu mungkin orang pertama
yang paling merasa bahagia. Senyum selalu terselip
setiap ia beraktifitas.
Kami
berasal dari keluarga yang tak berada, dan mungkin baru saat ini di keluarga kami
terjadi momen seperti ini. Mungkin yang sukses adalah
abangku, tetapi
tak dapat di pungkiri, semangat
ibuku dan perjuangannya tidak lepas dari kesuksesan abangku.
Saat
ia harus bolak balik Medan-Kotanopan
untuk mengantar berkas-berkas abangku. Bukan hanya tenaga, setiap malam aku terbangun, tak pernah absen nama kami
bersaudara dalam isak tangis doanya. Mungkin
dari kebiasaannya tahajud lah yang membuatku tergerak juga melakukannya.
Saat aku gagal tahun sebelumnya untuk
mengikuti jejak abangku, tak
henti tangisku membayangkan kedua orang tuaku, terutama ibuku. Ya, bisa dibilang ia juga yang
selalu menemaniku kemanapun saat aku mendaftar di medan.
Pernah
aku berkata “Ma, maaf seharusnya aku yang
berjuang sendiri, mama
gak perlu ikut’’. Tetapi
ia hnya tersenyum dan berkata “sudah menjadi kewajiaban
orangtua membantu anaknya berjuang’’.
Kuresapi kata-kata itu, semakin menjadi tangisku
saat keluar dari lorong gedung ujian. Ma andai kau tau tercabik batin ku bila
mengingat perjuangan mu. Bahkan
aku tak tau ingin mulai darimana menceritakan perjuanganmu untuk anak-anak mu.
Bila kukenang kembali perjuanganmu, mungkin aku tak akan
pernah sanggup membalas itu semua. Waktu
berlalu, umurku
terus maju, cintamu
tak lekang oleh waktu. Sekarang
anakmu menimba ilmu dunia akhirat, doakan aku selama aku berjuang ma.
Engkau mungkin saat ini tidak bisa
terus memantauku di perantauan. Tapi
tanpa perlu kau ragukan, doamu selalu kau berikan. Tak peduli sekarang anak
anakmu berjauhan, kasih
sayangmu tak henti kau curahkan. Ibu
untuk wanita yang berjuang di samping dan di belakangku.
Aku harap memiliki wanita yang mau
berjuang untukku, dan keluarga kami kelak. Punya anak dan jauh dari kata TALAK. Aku mungkin tak sejuang
dirimu dalam menghadapi hidup, dan
tak sekuat hatimu. (Azmi Azhari,
mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sumut)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar