Kenangan bersama Ayahanda |
Acara selanjutnya...!
Tausiyah Al
Mukarrom Ayahanda Pimpinan Pondok Pesantren Syekh Ahmad Daud. Begitu saya mendengar
protokol menyampaikan mata acara berikutnya dari podium utama, tanpa berpikir panjang, posisi tempat duduk
sedikit ku geser, karena tak mau ketinggalan. Bang Bunyamin juga ikut menggeser
tempat duduknya.
Sponton Bang
Bunyamin mengatakan, “Saya senang ayahanda masih bisa memberikan nasehatnya,
saya selalu merindukan lantunan nasehat-nasehat beliau”. Dalam hati saya
memanjatkan do’a, “Ya Allah, panjangkan umur guru kami ini, amin”.
Sebelum
menyampaikan tausiyah, hujan baru saja berhenti, hembusan angin sepoi-sepoi
menambah dinginnya malam. Sementara, suara gaduh anak-anak mengaji masih
terdengar, disebabkan ada yang belum dapat konji-konji (panganan yang
disediakan panitia saat pengajian/peringatan hari besar Islam).
Belum ada salam, tapi
suara khas itu terdengar. Suara yang membuat bergetar jiwa dan raga, suara yang
barangkali setan pun akan ketakutan jika mendengar alunannya. Suara yang hanya dapat
dipahami hati. Suara yang hingga detik ini menjadi cambuk dikala lalai
mengingat Sang Khalik. “Masiap na mambagi konji-konji i?, Cepat bo, so mulai hita!
(cepatlah agar kita mulai).
Seperti dihamtam
air bah, saat itu juga suasana menjadi hening. Salampun terucap, tak seperti
muballigh di-tv, hanya ucapan hamdalah, shalawat dan salam, pengajian pun
dimulai.
Allah menyatakan
bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang
menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga
menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak
disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Ali Imran : 18).
Yang mangakui
adanya Allah ada 3 golongan. Pertama Allah, kedua Malaikat dan ketiga Ulul
Ilmi. Golongan ketiga inilah yang menjadi kewajiban kita. Langkah pertama yang
harus kita lakukan adalah mengenal diri kita sendiri.
Sekarang banyak
manusia yang tidak mengenal dirinya. Lihatlah anak-anak tadi, baru kelas 1
sudah berbicara marbagas (pernikahan), oppung-oppung pun (nenek/kakek) begitu
tak sadar diri, sudah tua berlagak muda, dari penampilan dan cara berpakaian.
Kemudian, manusia
itu terdiri dari 2. Pertama jasad dan kedua ruh. Ibarat sebuah kota, badan
adalah kota tempat segala kehidupan di dalamnya. Mobil, rumah, sawah, sekolah
dan jabatan tempatnya adalah badan. Yang menjadi rajanya adalah akal. Ketika akal
menjadi raja yang lalim, alamat akan hancurlah kota tersebut. Oleh karena itu,
sang raja sejak dini harus diberi pengetahuan dan pengetahuan paling sempurna
adalah al Qur’an.
Lalu siapa yang
jadi bala tentaranya? Mereka adalah panca indra dan pancca bathin. Tentara
inilah yang menjaga rakyatnya agar tidak leluasa keluar masuk kota. Bila
tentara lemah, kerajaan akan mudah goyah
dan bahkan binasa akhirnya.
Sementara
rakyatnya bernama nafsu, Ammaroh (nafsu syaiton), Lawwamah (nafsu binatang) dan
nafsu muthmainah. Ketiga nafsu ini ada dalam diri kita. Untuk itu tentara harus
benar-benar menjaganya. Terdakang sudah ada pengawal, bisa juga kecolongan,
banyangkan jika tanpa pengawalan, alamat akan binasalah kota itu.
Karena itu,
ingatlah. Terkadang Allah SWT membiarkan dosa kecil yang kita lakukan, agar
suatu saat kita menyadari kesalahan yang kita perbuat. Kita tidak boleh lebih
takut kepada yang johir (nyata) ketimbang kepada yang ghaib. Sebab yang ghaib
itu mengawasi kita sepanjang waktu.
Inilah mungkin
inti maulid tahun ini yang dapat saya tuliskan dari apa yang disampaikan
ayahanda kita. Tentu dalam penulisan ini ada kekurangan, untuk itu kepada
keluarga besar ayahanda saya mohon maaf, tidak ada niat lain semata rasa hormat dan
kemuliaan beliua dimata kami. Seloroh adalah
tak pantas dari kami dan izinkan kami tetap menjadi muridmu duhai Ayahanda
kami.
Tulisan ini saya
sampaikan semata-mata untuk berbagi dengan rekan-rekan se-Aek Litta dimanapun berada.
Ayahanda kita berpesan, “Jika ananda semua masuk surga, tolong bawa saya. Dan
jika saya masuk surga, saya berjanji akan membawa ananda juga”. Ini adalah kata
tausiyah terakhir beliau pada acara maulid tersebut.
Sehabis acara
ayahanda juga memberi nasehat lagi, “Orangtuamu dua, orangtua lahir, ima
namangalahirkon ho. Paduana orangtua bathin, ima guru-gurumu. Rap sarupo doi,
rap indo tola durhaka. Murka ni haduana, murka ni Tuhan mai, jago da ulang
durhako iba namar ina, ulang durhako namar guru”.
Zaman on
mamatobang. Jeges dibaen namambaca al Qur’an i, adong do guru i mambaca, “Halalal
toyyibah” manjadi “Halalan tu iba”, tu sia halal tu halak inda. Tu halak malodoi
mandokkon na ulang korupsi, ulang manipu, ulang margabus. Tibo tu sia manjadi “Halalan
tu iba, boti ma on,”.
(Tulisan Taufik Akbar Hasibuan, alumni PPSAD tahun 2005/ditulis kembali Mursal
Harahap, S.Ag, M.Kom.I alumini PPSAD tahun 1995)