Jumat, 13 Mei 2016

VISI 'MEMANGKAS' GUNUNG

seorang pemimpin harus memiliki visi yang jauh, jelas dan terarah yang orang lain tidak tahu dan tidak menyadari sebelumnya. Pemimpin harus memaparkannya, menjelaskannya, membeir contoh, mengarahkan, dan tentu saja membimbing orang yang dipimpinnya untuk sebuah tujuan bersama. Dengan demikian akan muncul sinergitas, kebersamaan untuk sebuah cita-cita (visi) yang diyakini akan membawa kebajikan bagi semua. 

Al kisah, pada jaman dahulu, ada seorang kakek yang setiap hari memikul dagangannya untuk dijual ke desa tetangga, yang letaknya di balik bukit (gunung). Karena merasa banyak membuang waktu harus memutari bukit itu setiap hari, di waktu luangnya, kakek tua itu mencangkuli bukit dengan harapan bisa membuat jalan tembus ke desa tetangga.
Orang-orang yang melihat si kakek, menertawakannya, bahkan mengira si kakek, bodoh dan sudah gila. Sebab, dalam pemikiran mereka, mencangkuli bukit untuk membuat jalan tembus adalah sesuatu hal yang mustahil untuk dilakukan, apalagi yang ingin membuat jalan tembus itu adalah seorang kakek tua.
Ada pesan moral yang sangat luhur dari cerita singkat itu, bahwa orang-orang jaman dahulu memiliki bakti yang sangat tinggi pada orangtua. Apa yang menjadi cita-cita orangtua, tentu cita-cita tersebut dinilai sangat baik, oleh karena itu selalu dijaga dan dilanjutkan oleh anak dan cucunya. 
Si kakek yakin, bahwa suatu ketika, entah kapan, jalan tembus yang coba dibuatnya akan menjadi kenyataan. Meskipun sulit, jauh dan menghabiskan banyak waktu, dia yakin suatu saat akan terwujud. Kalau dia tidak mampu, pasti anak cucunya akan melanjutkannya. Ia yakin akan ada kesinambungan untuk melanjutkan cita-cita tersebut. Ketekunan dan keyakinan si kakek tersebut, ternyata telah menginspirasi tetangga dan lingkungan sekitarnya dan kemudian ikut “memangkas gunung” untuk membantu mewujudkan impian si kakek yang disebut bodoh itu.
Masyarakat yang melihat ada kebenaran atas perbuatan si kakek dan sekaligus sudah mulai merasakan akan adanya manfaat yang dapat dinikmati bersama, bila jalan tersebut terealisasi. Dari sini muncul unsur kebersamaan dan gotong royong yang dipandu oleh visi yang benar dan bermanfaat dari si kakek yang dianggap bodoh dan gila, namun sebenarnya memiliki pandangan jauh ke depan. Ini menunjukkan sesuatu yang benar dan bermanfaat bagi banyak orang pasti akan mendapat dukungan, dan inilah kunci sukses kepemimpinan.
Pemahamannya, seorang pemimpin harus memiliki visi yang jauh, jelas dan terarah yang orang lain tidak tahu dan tidak menyadari sebelumnya. Pemimpin harus memaparkannya, menjelaskannya, memberi contoh, mengarahkan, dan tentu saja membimbing orang yang dipimpinnya untuk sebuah tujuan bersama. Dengan demikian akan muncul sinergitas, kebersamaan untuk sebuah cita-cita (visi) yang diyakini akan membawa kebajikan kepada semua. Seperti si kakek bodoh tersebut, yang mampu menyadarkan orang-orang di sekitarnya ketika ketekunannya mulai terlihat membawa hasil.
Berikutnya pemimpin itu harus mampu menjadi teladan dan tidak takut mengerjakan sesuatu yang baru. Si kakek tidak meminta dan menyuruh orang untuk membantunya. Ia hanya mengerjakan apa yang menurutnya benar dan diinginkannya. Ia bahkan harus menahan cemooh, dianggap bodoh serta gila dan seterusnya. Tapi pada akhirnya orang akan tersadar, lalu mengikuti, membantunya dan mengerjakan secara bersama-sama. Ibaratnya, si kakek terus menyenandungkan sebuah lagu yang awalnya asing di telinga orang. Tapi karena terus-menerus disenandungkan, lama-lama orang terbiasa dan akhirnya ikut menyanyi bersama-sama.
Memang, resiko menjadi pemimpin sangat besar. Tapi kalau tidak mau menanggung resiko, jangan pernah bermimpi menjadi seorang pemimpin sejati. Sebab pembaharuan, keteladanan dan kepemimpinan, awalnya bisa dari satu orang saja. Ia akan membuka, memberi arahan sekaligus contoh. Kalau sudah terbuka pasti banyak diikuti orang. Sama seperti bernyanyi, bila kita memulai dari nada dasar tertentu, maka orang lain akan mengikuti dengan nda dasar yang sama.
Sebuah kebajikan selalu mempunyai tetangga, lajunya seperti anak panah lepas dari gendawa. Apa yang baik dan dicontohkan oleh si kakek segera mendapat respon dari tetangganya. Artinya apa yang dulu dibayangkannya bisa terwujud kelak oleh anak cucu dan buyutnya, dan pada kenyatannya jalan tembus yang melintasi bukit dapat diselesaikan lebih cepat, karena dikerjakan banyak orang secara bersama-sama.
Nabi Muhammad Saw sebagai teladan kepemimpinan yang terbaik juga telah mengajarkan kepada kita umat Islam, bahwa seorang pemimpin itu harus bisa dicontoh dan mampu memberikan contoh. Bisa dicontoh, seluruh perilaku, tindakan dan perkataanya harus benar-benar menjadi contoh baik. Misalnya pemimpin rumah tangga (ayah) harus mampu menjadi contoh bagi istri dan anak-anaknya.
Selanjutnya, pemimpin harus mampu memberikan contoh, artinya perilaku, tindakan serta perbuatan baik yang dilakukan seorang pemimpin, harus mampu menjelaskan dan mencontohkannya agar perilaku, tindakan dan perkataan itu sesuai dengan yang sebenarnya. Ibaratnya ketika pemimpin rumah tangga mencontohkan pelaksanaan kewajiban shalat, maka ia juga harus mampu menjelaskan bagaimana aturan dan tata cara shalat yang benar serta tujuannya. Sehingga orang yang dipimpinnya memahami dan bisa mengikuti perbuatan tersebut dengan benar.
Dalam kehidupan kita, tidak sedikit pemimpin yang hanya mampu memberikan perintah, pemimpin yang hanya menginginkan keberhasilan tanpa melakukan apa-apa. Pemimpin yang merasa paling benar dan harus diikuti. Ini ada jenis pemimpin diktator, yang meminta dilayani dan ditakuti orang yang dipimpinnya, atau pemimpin yang tidak memiliki visi jauh ke depan untuk melahirkan kemanfaatan secara bersama-sama. Bukan pemimpin yang memiliki visi ‘memangkas’ gunung. (bertambah bijak setiap hari..../Budi S. Tanuwibowo/MH)


HUKUM BERAT PEMBUNUH DAN PEMERKOSA YUYUN

Kekerasan seksual terhadap anak-anak, adalah perbuatan keji, biadap dan sama dengan perilaku binatang. Bila dilihat dari perspektif apapun, kejahatan tersebut dan para pelakunya tidak bisa diterima, apalagi untuk diampuni. Oleh karena itu, wajar saja kalau banyak kelompok masyarakat yang mengingkan agar pelaku kejaharan seksual kepada anak-anak diganjar hukuman berat.
Tragedi yang menimpa Yuyun misalnya adalah perbuatan yang tidak berperikemanusiaan, atau kalau boleh disebut para pelaku yang tega memperkosa dan membunuh Yuyun sudah tidak memiliki sisi manusia. Belum lagi jika ditilik pengakuan pelaku, yang mengatakan telah merencanakan perbuatan tersebut.
Para pelaku adalah manusia-manusia yang lalai dan tidak bertanggungjawab terhadap potensinya serta tidak menyadari atau memahami potensi yang diterimanya, dan pasti mereka akan mendapat kerugian yang besar. Di antara akibat kelalaian manusia adalah diumpamakan Allah dengan binatang dan tanaman hingga ia serupa dengan binatang atau makhluk lainnya yang lebih rendah.
Bila potensi yang dimiliki manusia digunakan dengan baik untuk ibadah dan amal saleh, manusia akan menuai kebahagiaan Sebaliknya jika potensi itu tidak digunakan, maka manusia akan mendapat penghinaan dan status terendah (tak bernilai) di hadapan Allah SWT. Manusia diumpamakan dengan monyet, anjing, babi, kayu, batu, labah-labah dan keledai. An’am (seperti binatang ternak)
Manusia diberi hati, mata dan telinga untuk mengenal tanda-tanda Allah tetapi jika tidak digunakan, sama saja tidak memiliki potensi tersebut. Binatang tidak mempunyai potensi seperti yang dimiliki manusia.
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk neraka jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat kebesaran (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telingan (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seumpama binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (al-A’raf, 7: 179 )
Hal lain yang bisa membuat manusia lebih rendah dari binatang ternak, karena manusia sering menuruti hawa nafsu, sampai pada tingkatan menjadikan nafsu sebagai 'Tuhan' sehingga lalai.
“Terangkanlah kepadaKu tentang orang-orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya, maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya. Atau apakah kamu mengira bahawa kebanyakan mereka itu mendengar dan memahami, mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak bahkan mereka lebih sesat jalannya dari binatang ternak itu.” (Al-Furqan, 25: 43-44)
Kembali kepada kasus yang menimpa Yuyun, Atas kasus ini, wajar saja kalau Presiden RI Joko Widodo, Menteri Sosial Khofifah Indran Parawangsa, Menteri Pendidikan Dasar, Menteri Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak (PPPA), Mantan Panglima TNI Muldoko dan sejumlah pejabat publik lainnya, termasuk masyarakat Indonesia geram. Adalah wajar pula, jika kita meminta para pelaku dijatuhi hukuman yang seberat-beratnya.
Hukuman berat tersebut, rasanya belum setimpal bila kita mengkonversikan dengan derita orangtua dan keluarga almarhumah Yuyun. Juga belum seimbang dengan hak hidup serta cita-cita Yuyun yang kandas atas perbuatan para pelaku. Termasuk belum setara pada dampak yang ditimbulkan, dimana kini para orantua merasa khawatir, was-was, gamang atas keselamatan putri-putri mereka dari terkaman para predator anak.
Memang para pelaku memiliki hak untuk diadili sesuai dengan hukum yang berlaku. Tapi juga harus diingat, kini hak Yuyun untuk hidup, bersekolah, bermain dengan teman serta hak lainnya telah dirampas para pelaku.
Dari sisi supremasi hukum, maka pada kasus Yuyun ini, aparat penegak hukum harus berani dan tegas menerapkan norma dan aturan hukum yang berlaku. Dan yang sangat penting, terpenuhinya rasa keadilan bagi korban dan masyarakat Indonesia.
Jika dilihat dari sisi hukum agama Islam, perbuatan para pelaku sangat dimurkai Allah Swt. Karena itu, dalam sumber hukum Islam yang utama yakni Al Qur'an diatur tentang sanksi pidana, termasuk di dalamnya sanksi pidana jina dan pembunuhan. Namun, karena Indonesia bukan negara Islam, aturan tersebut tidak dapat dilaksanakan kepada pelaku.
Intinya, kasus Yuyun ini harus menjadi yang terakhir, agar ke depan putri-putri bangsa ini tidak mati sia-sia hanya karena nafsu bejat para predator anak yang telah kehilangan rasa kemanusiaan. Selain itu, negara sebagai pemangku kepentingan rakyat Indonesia tidak boleh kalah apalagi mengalah dengan alasan apapun dalam menegakkan hukum. Kita sudah sepakat bahwa Indonesia adalah negara hukum, maka sudah seharusnya hukum ditempatkan sebagai panglima terdepan. (***)

Rabu, 11 Mei 2016

UMPAMA GERHANA

Kesalahan seorang pemimpin seperti gerhana, dimana secara luas semua orang dapat melihatnya. Pemimpin yang berani meminta maaf dan terbuka atas kesalahannya, pasti akan mendapat simpati luas dari masyarakat. Dan yang paling penting, akan menginspirasi banyak orang untuk berani bersikap jujur”

Di negeri ini, banyak orang berlomba-lomba ingin menjadi pemimpin, sampai ngotot dan menempuh segala cara. Apa yang sesungguhnya mereka cari, apa motivasinya, dan apa tujuan mereka habis-habisan merebut kepemimpinan tersebut?
Padahal mereka semua pasti mengetahui, menjadi pemimpin memang tidaklah mudah, apalagi kalau memimpin sebuah institusi besar, seperti Negara atau Provinsi dll. Ia tidak lagi punya kehidupan pribadi/private. Apa saja yang menimpa dirinya selalu dikait-kaitkan dengan jabatannya. Ada teman yang salah, pasti dihubungkan dengan dirinya. Gaduh, di tengah-tengah keramaian, bagi diri seorang pemimpin, sejatinya ia amat kesepian. Seperti rajawali yang hidup menyendiri, demikian juga dengan kehidupan seorang pemimpin.
Semakin tinggi sebuah jabatan, semakin berat beban yang dipikul. Secara logika, tentu semakin besar kemungkinan jasa dan atau kesalahan yang mungkin diperbuatnya. Seorang yang bertanggungjawab membawa seratus butir telur, resiko kesalahan terbesarnya adalah pecahnya seratus telur. Namun jika tanggungjawabnya meningkat menjadi satu truk telur, resikonya akan semakin besar pula, demikian seterusnya.
Oleh karena itu, cara paling objektif menilai seorang pemimpin, jangan hanya melihat kesalahan dan dosanya saja. Karena kemungkinan kesalahan dan dosa yang diperbuatnya pastilah berskala besar. Penilaian harus seimbang dan memperhatikan kondisi objektif pada saat tindakan yang mengakibatkan kesalahan itu terjadinya. Seba bisa saja, pada saat itu, kondisinya sangat sulit.
Sekarang bagaimana sikap terbaik jika seorang pemimpin berbuat salah? Secara objektif dan jujur ia harus berani bertanggungjawab. Dengan hati yang lapang, ia meminta maaf secara tulus dan terbuka, menjelaskan duduk perkara secara gamblang, namun bukan untuk membela diri. Seperti gerhana yang bisa dilihat banyak orang secara luas, demikian halnya dengan kesalahan seorang pemimpin. Semua orang bisa melihat, namun kalau ia berani meminta maaf secara terbuka pula, rakyat pun akan menerimanya dengan baik, selama kesalahan itu memang tidak disengaja dan atau tidak terkait dengan kepentingan pribadinya.
Apakah nasehat ini dapat diterapkan secara efektif untuk kondisi saat ini? Hanya waktulah yang dapat membutikannya. Sebab masyarakat saat ini telah mengalami pergeseran nilai-nilai yang amat signifikan. Namun sejatinya, orang baik dan jujur jumlahnya tetap lebih banyak. Untuk membuktikan hal itu dapat kita cermati dari tiga contoh kasus yang mungkin pernah kita alami.
Pertama, coba kita perhatikan warung-warung makan kecil di pinggir jalan. Sesekali datanglah berkunjung dan pilih warung yang paling ramai, sambil menikmati makanan yang disajikan. Lalu coba kita amati perilaku para pembeli. Ada berapa banyak yang tidak jujur? Makan tiga mengaku dua, makan lima mengaku tiga? Pasti ada, tapi tidak banyak! Dan kalau kita hitung kerugian yang ditimbulkannya tentu masih relative kecil, jika dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh. Sebab jika kerugiannya lebih besar, dapat dipastikan warung makan itu telah lama tutup alias bangkrut. Apa artinya itu, bahwa orang yang baik dan jujur masih lebih banyak.
Kedua, saat jalan-jalan tentu kita pernah tersesat dan tidak tahu posisi alamat yang dicari, lalu kita bertanya beberapa kali untuk menemukan alamat tersebut. Dari jawaban-jawaban yang diberikan orang yang kita tanya, dapat diambil kesimpulan bahwa masih lebih banyak orang yang baik hati mau menjawab dengan sungguh-sungguh dan jujur, ketimbang yang tidak. Bahkan seringkali, orang yang kita tanya menyempatkan diri untuk menuntun ke alamat yang dituju tanpa pamrih, disaat kita keliru menuju arah yang ditunjukkannya.
Ketiga, saat kita melakukan transaksi tentu pernah membayar lebih tanpa kita ketahui, baik di pusat perbelanjaan, jalan tol, restoran, pada supir taksi dan lain sebagainya. Mereka dengan jujur mengembalikan kelebihan pembayaran kita, bahkan ada yang mengembalikannya beberapa waktu kemudian saat bertemu. Inilah bukti-bukti yang menunjukkan kesimpulan dan kenyakinan kita bahwa orang baik dan jujur masih lebih banyak jumlahnya.
Atas dasar itu, saya yakin bahwa bila seorang pemimpin secara terbuka berani menyampaikan kekeliruan dan kekurangannya, dia justru akan semakin mendapat simpati dari yang dipimpinnya, maupun orang lain di luar komunitas dan kelompoknya. Selain itu, tindakan ini akan menginspirasi banyak orang untuk berani jujur dan berperilaku positif.
Memang tak dapat dipungkiri, tindakan semacam ini itu bisa ‘dibakar’, dikobar-kobarkan secara negative dan luas oleh orang-orang yang punya kepentingan lain. Apalagi kalau menggunakan media massa. Namun sejarah telah membuktikan bahwa tidak ada kebohongan yang bisa berlangsung lama; tidak ada kebohongan yang bisa membohongi orang banyak. Faktanya sifat jujur dan kesatria pasti akan memperoleh simpati luas.
Oleh karena itu, mulai saat ini kita semua harus terus memupuk dan menumbuhkan jiwa kesatria, jujur, berani dan terbuka. Tidak ada manusia yang sempurna dan kekeliruan itu adalah sesuatu yang lumrah. Namun keberanian untuk mengakui kesalahan dan memperbaikinya, itu nilai dasar yang mutlak harus dimiliki orang perorang dan atau bangsa yang ingin bergerak maju.
Rasa takut bersalah akan menghambat laju langkah kita ke depan, sementara rasa takut untuk mengakui kesalahan akan menjebak kita pada kesalahan-kesalahan lain yang justru jauh lebih besar. Sesungguhnya kesalahan adalah ketika kita berbuat salah namun tak berani mengakui dan mengoreksinya.
Al Qur’an telah mengajarkan kepada kita bahwa setiap kesalahan harus dibarengi dengan perbuatan yang baik, sebab memang manusia adalah tempatnya salah dan lupa. Selain itu, setiap perbuatan ada nilainya di mata Allah, “Famayya’mal mistqola dzarrotin khoiroyyaroh, wamayya’mal mistqola dzarrotin sarroyyaroh (maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya ia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscara ia akan melihat (balasan)nya. (QS : al Zalzalah ; 7-8). (Budi S.Tanuwibowo, bertambah bijak setiap hari…/Mursal Harahap).




SHALAT JENAZAH (Sudahkan Anda Siap Mati)


Kematian adalah rahasia Allah yang tidak akan pernah diketahui oleh makhluknya. Dan setiap yang bernyawa, pasti akan mati, meskipun kita berusaha menghindarinya dengan bersembunyi dibalik benteng terkuat didunia, atau di dasar lautan terdalam atau dipuncak gunung tertinggi. Disaat ajal kita telah datang, tidak bisa ditunda dan atau dipercepat walau sedetikpun.
Kemudian kematian itu, tidak memilih orang yang telah berumur dahulu dan anak-anak belakangan. Ibarat buah kepala, yang tua bisa jatuh, begitu juga setangah tua ataupun buah yang masih putih juga banyak yang jatuh terlebih dahulu.
Oleh karena itu, sebagai insan yang beriman kepada Allah Swt, dan mengakui adanya kehidupan setelah kehidupan dunia, harus mempersiapkan diri sebagaimana diperintah Allah dan Rasul-Nya. Tulisan ini, merupakan nasehat kepada diri penulis dan pembaca sekalian.
A.      ARTI DAN HUKUM SHALAT JENAZAH
Shalat jenazah adalah shalat yang dilakukan dengan empat takbir, tanpa ruku’, i’tidal, sujud dan duduk. Shalat ini merupakan salah satu kewajiban terhadap mayit dan hukumnya fadhu kifayah –fardhu bersifat kolektif- bagi umat muslim. Artinya kewajiban dianggap sudah terpenuhi bila di satu wilayah ada beberapa orang yang melaksanakannya. Akan tetapi bila tidak ada satu orangpung yang melaksanakannya, maka semua orang diwilyah tersebut berdosa.
B.       SYARAT-SYARAT SHALAT JENAZAH
1.      Shalat jenazah sama seperti shalat yang lain, yaitu harus menutup aurat, suci dari hadast besar dan kecil, suci badan, pakaian dan tempatnya, serta menghadap kiblat.
2.      Mayit sudah dimandikan dan dikafani.
3.      Letakkan mayit sebelah orang yang akan manshalatkannya, kecuali shalat dilakukan diatas kubur atau shalat ghaib.
C.       RUKUN SHALAT JANAZAH
1.      Niat
2.      Berdiri bagi yang mampu
3.      Empat kali takbir
4.      Membaca surah al fatihah setalah takbiratul ihram
5.      Membaca shalawat kepada Nabi Muhammad setelah takbir kedua
6.      Membaca doa kepada mayit setalah takbir ketiga
7.      Membaca do’a untuk mayit dan orang yang menshalatkan setelah takbir keempat
8.      Salam
D.      BEBERAPA HAL YANG DISUNNATKAN DALAM SHALAT JENAZAH
1.      Mengakat tangan saat takbir
2.      Israr (merendahkan suara pada setiap bacaan)
3.      Membaca ta’awuz (‘audzu billahi menasy syaianirrajim)
E.       CARA MENGERJAKAN SHALAT JANAZAH
Shalat jenazah tidak dengan ruku’, i’tidal, sujud dan duduk, serta tidak denganadzah, iqomah. Caranya sebagai berikut :
1.      Berdiri sebagaimana hendak mengerjakan shalat dengan niat hendak melakukan shalat atas mayit denganempat takbir menghadap kiblat karena Allah Ta’ala.
a.       Lafazd niat shalat untuk jenazah laki-laki
Ushalli ‘ala hadzal mayyiti arba’a takbiratin fardhal kifayati (ma’muman/ imaman) lilahi ta’ala.
b.      Lafazd niat shalat untuk jenazah perempuan
Ushalli ‘ala hadzaihil mayyitati arba’a takbiratin fardhal kifayati (ma’muman/ imaman) lilahi ta’ala.
2.      Mengangkat kedua tangan sambil takbiratul ihram
3.      Setelah niat dan takbir, lalu membaca alfatihan, lalu takbir kedua membaca shalawat kepada Nabi Muhammad, lalu takbir ketika membaca do’a kepada jenazah, lalu takbir keempat membaca do’a kepada jenazah dan orang yang menshalatkan.
4.      Salam
Ada nasehat yang baik tentang kematian “Bekerjalah kamu seakan-akan, engkau akan hidup selama-lamanya, dan beribadah kamu, seakan-akan engkau mati esok hari”. Saat berkerja untuk memenuhi kebutuhan hidup di dunia, kita harus serius, fokus dan sungguh-sungguh, kerena itu akan menjadi bekal kita selama hidup di dunia.
Tapi saat beribadah, kita harus khusu’ dan ihklas, mungkin saja esok saat matihari terbit kita sudah dipanggil Allah yang mengusai ruh/nyawa makhluknya. Karena ibadah yang khusu’ dan ikhlas adalah bekal utama kita, setelah menghadap Sang Khaliq.
Allah juga berfirman, : Apabila kamu telah mengerjakan shalat, maka bertebaran di muka bumi untuk rezeki dari Allah…


“…Janganlah kamu melupakan bagian kamu di dunia, tapi kehidupan akhirat lebih baik dan kekal..” 

LALU APAKAH KAMU SUDAH SIAP MATI !

KERBAU Vs RAJA HUTAN

“Seorang pemimpin tanpa keberanian,
ibarat segerombolan kerbau yang berjumlah ratusan dan berbadan besar,
namun lari pontang panting dikejar seekor macam yang mau memangsanya”

Ada program televisi swasta nasional yang diperuntukkan bagi anak-anak, namun sarat makna dan filosofi kehidupan. Nama program tersebut “Pada zaman dahulu kala.” Program ini berkisah tentang kehidupan kawanan binatang di rimba raya, dengan tokoh utamanya si kancil yang cerdik dan bijaksana. Pemeran yang lain, ada kerbau, gajah, marmut, buaya, tikus, semut, lebah dan binatang lainnya.
Kisah-kisah dalam program itu disampaikan seorang kakek yang hidup di desa dengan pendengar utamanya adalah cucunya yang bernama Aris dan Ara. Kisahnya pun bermacam-macam, mulai dari persatuan, kepemimpinan, persaudaraan dan kehidupan sosial para binatang. Dan seringkali cerita yang dikisahkan, dekat dengan kehidupan manusia. Seperti bagaimana mengurus organisasi/ kelompok atau kawanan dalam istilah binatang.
Memang, mengurus atau memimpin organisasi apapun, sebenarnya prinsifnya sama saja. Namun mengurus organisasi sosial lebih sulit, karena hirarkinya cair dan keanggotaannya orang perorang dan biasanya bersifat sukarela.
Beda dengan organisasi perusahaan, anggotanya adalah karyawan yang digaji, maka hirarkinya lebih massif. Suara pemimpin lebih didengar dan ditakuti. Siapa yang mendapat surat keputusan memegang sebuah jabatan, relative akan dituruti bawahannya. Namun dalam organisasi sosial antara anggota dan pemimpin, statusnya sebenarnya sama-sama anggota yang sederajat. Oleh karena itu, seorang pemimpin organisasi sosial harus penuh pengabdian, pantang merasa capek dan sabar.
Kalau di perusahaan tuntuan dan arahan jelas. Sasaran lebih sempit dan ukurannya jelas, sementara di organisasi sosial lebih kabur dan luas. Semua bekerja secara sukarela, kecuali karyawan atau staff administrasi. Karena sukarela, semua merasa merasa sama dan setara, maka cara mengarahkannya tidak mungkin melalui komando seperti di perusahaan. Sebab masing-masing orang memiliki keinginan peribadi yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
Ukuran keberhasilannya juga bisa kabur, karena setiap anggota mengukur keberhasilan dari perspektif masing-masing. Terutama yang menyangkut prioritas kepentingannya. Demikian juga dalam hal pertanggungjawaban. Semua anggota merasa merekalah yang harus didengarkan dan dituruti. Ya itu tadi, seorang pemimpin organisasi sosial harus orang yang tulus, penuh pengabdian, pantang menyerah dan tidak selalu mengeluh.
Dalam organisasi seringkali terjadi, orang yang sudah bekerja keras, mati-matian dan dinilai sukses, pasti tetap saja ada orang atau kelompok yang menyela dan menganggap itu belum ada apa-apanya. Bahkan fenomena ini sudah lumrah dan terjadi dimana-mana. Dan di organisasi sosial yang melayani banyak orang, hal ini akan lebih sering terjadi. Banyangkan kalau kamu memiliki perusahaan sendiri dengan perusahaan dengan banyak owners (pemilik), tentu beda.
Selain ikhlas, penuh pengabdian, sabar dan tidak mudah mengeluh, seorang pemimpin organisasi sosial harus mendengar semua keinginan yang ada, tapi tidak terhanyut di dalamnya. Buka telinga lebar-lebar lalu ditarik benang merahnya, setelah itu petakan dengan fakta lingkungan besarnya secara arif dan bijaksana. Kemudian rentangkan kedua ujung dan ambil tengahnya. Anggota ingin ke kiri, fakta besarnya di luar ke kanan. Turut ke kiri bisa membentur tembok, lari ke kanan tersandung batu. Justru itu, diambil tengahnya, yakni sesuatu yang masih bisa diterima, ditolelir atau tidak melanggar hal-hal yang dasar.
Hidup harus punya idealisme, tapi kenyataan juga tidak bisa diabaikan atau dalam istilah idealis pragmatis. Setelah tahu apa yang harus dilakukan beserta prioritasnya, lalu pilih orang-orang yang tepat untuk mengerjakannya. Berikan arahan, hak, wewenang, kepercayaan, tanggungjawab dan dukungan. kontrol dan bantu secara objektif, namun harus tetap diberikan ruang bebas untuk bekerja.
Selama masih dalam koridor, bantu dan lindungi. Kalau ada penyimpangan, ingatkan. Jangan budek terhadap kritik, tapi jangan sensitif. Jawab kritikan dengan kerja nyata, teguh dan tidak goyah apapun yang mendera. Singkatnya, pemimpin boleh membuka lebar-lebar pendengarannya untuk mendapatkan informasi dan suara hati yang jujur dari masyarakat yang dipimpinnya. Setelah mendengar, tetapkan tujuan jangka pendek, menengah dan jangka panjang, untuk kemudian dijabarkan dan bentuk program kerja nyata yang realistis. Pada posisi seperti ini, maka pemimpin harus teguh, lurus dengan apa yang direncanakan dan tidak boleh bimbang hanya karena celaan dan kritik.
Selanjutnya seorang pemimpin harus berani dan mendidik anggotanya agar berani pula. Orang yang berani biasanya yakin berada di jalan kebenaran dan jujur. Keberanian itu penting. Ibarat sebuah rumah, ketulusan adalah pondasi, kearifan adalah atapnya, maka kebaranian adalah tiangnya. Tanpa tiang sebuah rumah tidak akan berdiri dengan kokoh.
Tugas dan kewajiban utama seorang pemimpin adalah memutuskan. Semua keputusan pada dasarnyan tidak bisa dijamin 100 persen berhasil, ketika keputusan itu diambil. Tanpa keberanian, bagaiman bisa cepat memutuskan. Bukan itu saja, seorang pemimpin tanpa keberanian, ibarat segerombolan kerbau yang berjumlah ratusan dan berbadan besar, namun lari pontang panting di kejar seekor macam (raja hutan) yang hendak memangsanya.
Banyangkan, sudah menang jumlah, badan lebih besar, namun belum apa-apa sudah lari!. Seandainya ada seekor kerbau yang berani melawan dan kemudian mampu membangkitkan semangat kerbau lainnya, niscaya macan itu yang akan lari. Nah, persoalannya tidak ada satupun kerbau yang berani tampil. Itulah gunanya keberanian bagi seorang pemimpin.  Keberanian itu akan menginspirasi seluruh orang yang dipimpinnya. (bertambah bijak setiap hari, Tuhan sudah pindah alamat?/MH)



JALAN KEBAJIKAN BERSIKU

"Apa yang tidak baik dari kiri, jangan diteruskan ke kanan 
dan apa yang tidak baik dari kanan, usah diteruskan ke kiri"

Di jaman yang serba cepat atas kencangnya arus perkembangan teknologi dan informasi ini, urusan komunikasi dan penyebaran informasi menjadi semudah membali telapak tangan. Jarak, waktu dan biaya tidak lagi menjadi kendala dan penghambat. Komunikasi menjadi amat lebih cepat dan lancar, informasi juga lebih mudah tersebar.
Namun sebagaimana hukum kehidupan, segala sesuatu yang mudah, untuk melakukan kebaikan, akan mudah pula digunakan untuk kejahatan. Apalagi kalau hitungannya gratisan, maka sebuah informasi bisa dengan mudah disebarkan kemana-mana tanpa kendali.
Penggunakan teknologi gadget-nya dengan segudang aplikasi (browsing, chatting, games-facebook, instagram, whatsapp, line, twiter- dll), memberikan ruang kepada penggunanya untuk menyebarkan informasi secara mudah, praktis dan cepat. Dari sisi kehidupan sosial, sarana teknologi informasi menjadikan masyarakat kehilangan kepedulian dan respek terhadap lingkungannya. Satu waktu terkadang membuat kita yang melihatnya terkesan lucu, menyaksikan para pengguna teknologi informasi memainkan gadget-nya.
Mari kita lakukan survey sederhana dengan berjalan-jalan ke tempat-tempat umum yang ramai, cafĂ©, bioskop, bandara, lokasi nongkrong, hingga ke tempat-tempat kerja, baik di instansi pemerintah maupun swasta. Dalam survey itu, pasti kita akan menemukan, mereka terlihat asyik dan sibuk dengan diri sendiri bersama gadget-nya. Kadang terlihat tersenyum dan tertawa sendiri, kening berkerut dan juga rona wajah sedih. Juga aneh bagi kita, saat mereka chatting, tidak mau saling melihat, padahal jaraknya sangat dekat dan mereka sedang berkomunikasi.
Seperti kisah berikut ini. Sore itu, Rubi, Herma dan Kinung seperti biasa berkumpul di warungnya. Namun agak berbeda dengan biasanya, masing-masing terlihat asyik dengan dirinya sendiri. Semua memegangblackberry masing-masing. Sejak mengenal alat komunikasi ini mereka semua menjadi autis. Anehnya, mereka terkadang tertawa bersama, padahal tatapan mata satu sama lain terfokus pada layar blackberry  dan smartphone masing-masing. Namun kalau dilihat lebih dekat, dijamin  orang yang melihat akan tertawa juga. Rupanya mereka bertiga sedang chatting bersama di grup yang sama. Apa tidak aneh? Duduk saling berhadapan, asyik sendiri, kelihatan tidak saling berkomunikasi, tapi sebenarnya sedang berinteraksi satu sama lain, via alat komunikasi modern.
Dalam kondisi seperti itu, topik yang dibicarakan tidak jelas, melompat-lompat tak terstruktur. Kadang bicara soal masa lalu, keluarga, sosial, politik, ekonomi, bisnis, bahkan hal-hal sepele yang tidak penting dibicarakan dan lain sebagainya.
Pada saat mereka terhanyut dengan naluri, pikiran dan persaan masing-masing, tiba-tiba masuk sebuahpostingan  yang nadanya kurang baik dan bila jatuh ke tangan yang salah bisa menimbulkan persoalan yang tidak baik pula. Tulisan atau postingan itu secara cerdik dibuat seolah pujian, namun nadanya justru bisa menghasut. Yang membuat, pasti cerdik sekaligus licik, serta mempunyai tujuan tertentu. Membaca tulisan itu, Rubi langsung berkomentar, “Langsung dihapus saja. Tulisan seperti ini berbahaya dan bisa memicu persoalan yang tidak baik, dan hati-hati kalau mendapat forward tulisan semacam ini. Stop, hapus dan sampaikan penjelasan serupa kepada kawan yang mengirimnya.”
Mitha (teman mereka di grup) yang mem-posting informasi itu, langsung berkomentar, “ Ya Rub, maka setiap ada sesuatu saya tidak berani menyebarkannya keman-mana, kecuali intern grup kita agar kau sensor dulu, hehehe,” balas Mitha. Tiba-tiba Kinung nimbrung dan comment, Tha masing ingat nasihat, “Jalan Kebajikan Bersiku?”, Masih ingat Tha, Herma ikut bertanya. “Ingat dokn,” jawab Mitha. Apa yang tidak baik dari atas, tidak diteruskan ke bawah. Apa yang tidak baik dari bawah, jangan diteruskan ke atas. Apa yang tidak baik dari depan, usah diteruskan ke belakang, apa yang tidak baik dari  belakang, jangan diteruskan ke depan. Apa yang tidak baik dari kiri, jangan diteruskan ke kanan dan apa yang tidak baik dari kanan, usah diteruskan ke kiri,”kata Mitha menjawab pertanyaan kedua temannya tersebut.
Ya, seperti dalam kasus penyebaran tulisan itu, kita  harus mampu menjadi filter, penyaring. Sesuatu yang masuk dari segenap penjuru; atasan, bawahan, keluarga, sahabat, lingkungan dan sebagainya yang kebetulan melewati kita, harus dipikir dan ditimbang dulu baik-baik akurasi dan kebenarannya. Terus perlu dilakukan chek and richek apakah patut untuk kita teruskan ke atasan, bawahan, keluarga, sahabat dan lingkungan kita. Apakah setelah disebarluarkan ada manfaatnya atau tidak. Bagi yang menerima apakah akan menimbulkan persoalan baru, membaut resah dan gelisah,”kata Mitha memberikan penjelasan panjang lebar.
Rubi yang sejak awal ikut dalam diskusi di grup itu, menambahkan penjelasan Mitha tentang nasehat ‘Jalan Kebajikan Bersiku’. Rubi mengatakan, penjelasan Mitha tepat, tapi belum lengkap. “Lewat nasehat itu, kita juga diajarkan untuk menjadi insan mandiri yang punya tanggungjawab, integritas dan tidak cengeng. Menjadi bagian dari solusi, bukan justru menjadi pembuat masalah. Ya, tidak mudah mengadu kalau ada masalah. Kita harus coba mengatasi dengan seluruh kemampuan, kewenangan dan tanggungjawab yang kita punyai. Maksudnya kita bertanggungjawab memecahkan masalah secara sungguh-sungguh. Namun bila masalahnya berat, kita tak sanggup mengatasinya atau berbahaya, atau sudah di luar batas kewenangannya, tentu kita akan melaporkan kepada atasan. Namun bukan gampangan mengadu. Sebab bisa repot jadinya atasan, kalau ada masalah memiliki kelemahan, dan apalagi kalau kita harus menjaga rahasia. Demikian juga yang terkait dengan rekan, sahabat, mitra dan lain sebagainya.
Pendeknya kita harus menjadi orang yang berintegritas. Disatu sisi tidak mempermalukan orang, menjaga kepercayaan dan bertanggungjawab. Di sisi yang lain, tidak menyebarluaskan sesuatu yang buruk lebih luas lagi. Di samping akan jelek dampaknya, juga akan membuat masalah baru yang mungkin lebih besar” tulis Rubi.
Penjelasan dan komentar yang diberikan kawan-kawan Mitha, adalah salah satu yang sangat penting dalam ilmu komunikasi yakni konfirmasi. Ya, demikianlah, fungsi konfirmasi dalam ilmu komunikasi adalah untuk memastikan kebenaran dan akurasi seluruhnya informasi yang diterima. Perlu diingat, ketika pesan sudah disampaikan, maka pesan itu bukan milik kita lagi, tapi sudah menjadi milik audiens atau khalayak. Dan satu pesan bisa memunculkan ribuan penafsiran dan perspektif.
Karena itu, Allah Swt dalam al Qur’an telah memperingatkan kita, bahwa ketika mendapat khabar (informasi/berita) dari orang-orang munafik, kita diminta melakukan 'fatabayyanu' atau crooschek. 'fatabayyanu'  dilakukan untuk memastikan kebenaran serta manfaat dan guna menghindarkan munculnya fitnah.