seorang pemimpin harus memiliki visi yang jauh, jelas dan terarah yang orang lain tidak tahu dan tidak menyadari sebelumnya. Pemimpin harus memaparkannya, menjelaskannya, membeir contoh, mengarahkan, dan tentu saja membimbing orang yang dipimpinnya untuk sebuah tujuan bersama. Dengan demikian akan muncul sinergitas, kebersamaan untuk sebuah cita-cita (visi) yang diyakini akan membawa kebajikan bagi semua.
Al kisah, pada jaman dahulu, ada seorang kakek
yang setiap hari memikul dagangannya untuk dijual ke desa tetangga, yang
letaknya di balik bukit (gunung). Karena merasa banyak membuang waktu harus memutari
bukit itu setiap hari, di waktu luangnya, kakek tua itu mencangkuli bukit
dengan harapan bisa membuat jalan tembus ke desa tetangga.
Orang-orang yang melihat si kakek,
menertawakannya, bahkan mengira si kakek, bodoh dan sudah gila. Sebab, dalam
pemikiran mereka, mencangkuli bukit untuk membuat jalan tembus adalah sesuatu
hal yang mustahil untuk dilakukan, apalagi yang ingin membuat jalan tembus itu
adalah seorang kakek tua.
Ada pesan moral yang sangat luhur
dari cerita singkat itu, bahwa orang-orang jaman dahulu memiliki bakti yang
sangat tinggi pada orangtua. Apa yang menjadi cita-cita orangtua, tentu
cita-cita tersebut dinilai sangat baik, oleh karena itu selalu dijaga dan
dilanjutkan oleh anak dan cucunya.
Si kakek yakin, bahwa suatu ketika, entah kapan, jalan tembus yang coba dibuatnya akan menjadi kenyataan. Meskipun sulit, jauh dan menghabiskan banyak waktu, dia yakin suatu saat akan terwujud. Kalau dia tidak mampu, pasti anak cucunya akan melanjutkannya. Ia yakin akan ada kesinambungan untuk melanjutkan cita-cita tersebut. Ketekunan dan keyakinan si kakek tersebut, ternyata telah menginspirasi tetangga dan lingkungan sekitarnya dan kemudian ikut “memangkas gunung” untuk membantu mewujudkan impian si kakek yang disebut bodoh itu.
Si kakek yakin, bahwa suatu ketika, entah kapan, jalan tembus yang coba dibuatnya akan menjadi kenyataan. Meskipun sulit, jauh dan menghabiskan banyak waktu, dia yakin suatu saat akan terwujud. Kalau dia tidak mampu, pasti anak cucunya akan melanjutkannya. Ia yakin akan ada kesinambungan untuk melanjutkan cita-cita tersebut. Ketekunan dan keyakinan si kakek tersebut, ternyata telah menginspirasi tetangga dan lingkungan sekitarnya dan kemudian ikut “memangkas gunung” untuk membantu mewujudkan impian si kakek yang disebut bodoh itu.
Masyarakat yang melihat ada
kebenaran atas perbuatan si kakek dan sekaligus sudah mulai merasakan akan
adanya manfaat yang dapat dinikmati bersama, bila jalan tersebut terealisasi.
Dari sini muncul unsur kebersamaan dan gotong royong yang dipandu oleh visi
yang benar dan bermanfaat dari si kakek yang dianggap bodoh dan gila, namun
sebenarnya memiliki pandangan jauh ke depan. Ini menunjukkan sesuatu yang benar
dan bermanfaat bagi banyak orang pasti akan mendapat dukungan, dan inilah kunci
sukses kepemimpinan.
Pemahamannya, seorang pemimpin harus
memiliki visi yang jauh, jelas dan terarah yang orang lain tidak tahu dan tidak
menyadari sebelumnya. Pemimpin harus memaparkannya, menjelaskannya, memberi contoh, mengarahkan, dan tentu saja membimbing orang yang dipimpinnya untuk
sebuah tujuan bersama. Dengan demikian akan muncul sinergitas, kebersamaan
untuk sebuah cita-cita (visi) yang diyakini akan membawa kebajikan kepada semua.
Seperti si kakek bodoh tersebut, yang mampu menyadarkan orang-orang di
sekitarnya ketika ketekunannya mulai terlihat membawa hasil.
Berikutnya pemimpin itu harus mampu
menjadi teladan dan tidak takut mengerjakan sesuatu yang baru. Si kakek tidak
meminta dan menyuruh orang untuk membantunya. Ia hanya mengerjakan apa yang
menurutnya benar dan diinginkannya. Ia bahkan harus menahan cemooh, dianggap
bodoh serta gila dan seterusnya. Tapi pada akhirnya orang akan tersadar, lalu
mengikuti, membantunya dan mengerjakan secara bersama-sama. Ibaratnya, si
kakek terus menyenandungkan sebuah lagu yang awalnya asing di telinga orang.
Tapi karena terus-menerus disenandungkan, lama-lama orang terbiasa dan akhirnya
ikut menyanyi bersama-sama.
Memang, resiko menjadi pemimpin sangat
besar. Tapi kalau tidak mau menanggung resiko, jangan pernah bermimpi
menjadi seorang pemimpin sejati. Sebab pembaharuan, keteladanan dan kepemimpinan,
awalnya bisa dari satu orang saja. Ia akan membuka, memberi arahan sekaligus
contoh. Kalau sudah terbuka pasti banyak diikuti orang. Sama seperti bernyanyi,
bila kita memulai dari nada dasar tertentu, maka orang lain akan mengikuti
dengan nda dasar yang sama.
Sebuah kebajikan selalu mempunyai
tetangga, lajunya seperti anak panah lepas dari gendawa. Apa yang baik dan
dicontohkan oleh si kakek segera mendapat respon dari tetangganya. Artinya apa
yang dulu dibayangkannya bisa terwujud kelak oleh anak cucu dan buyutnya, dan
pada kenyatannya jalan tembus yang melintasi bukit dapat diselesaikan lebih
cepat, karena dikerjakan banyak orang secara bersama-sama.
Nabi Muhammad Saw sebagai teladan
kepemimpinan yang terbaik juga telah mengajarkan kepada kita umat Islam, bahwa
seorang pemimpin itu harus bisa dicontoh dan mampu memberikan contoh. Bisa
dicontoh, seluruh perilaku, tindakan dan perkataanya harus benar-benar menjadi
contoh baik. Misalnya pemimpin rumah tangga (ayah) harus mampu menjadi contoh
bagi istri dan anak-anaknya.
Selanjutnya, pemimpin harus mampu
memberikan contoh, artinya perilaku, tindakan serta perbuatan baik yang
dilakukan seorang pemimpin, harus mampu menjelaskan dan mencontohkannya agar
perilaku, tindakan dan perkataan itu sesuai dengan yang sebenarnya. Ibaratnya
ketika pemimpin rumah tangga mencontohkan pelaksanaan kewajiban shalat, maka ia
juga harus mampu menjelaskan bagaimana aturan dan tata cara shalat yang benar
serta tujuannya. Sehingga orang yang dipimpinnya memahami dan bisa mengikuti
perbuatan tersebut dengan benar.
Dalam kehidupan kita, tidak sedikit
pemimpin yang hanya mampu memberikan perintah, pemimpin yang hanya menginginkan
keberhasilan tanpa melakukan apa-apa. Pemimpin yang merasa paling benar dan
harus diikuti. Ini ada jenis pemimpin diktator, yang meminta dilayani dan
ditakuti orang yang dipimpinnya, atau pemimpin yang tidak memiliki visi jauh ke
depan untuk melahirkan kemanfaatan secara bersama-sama. Bukan pemimpin yang
memiliki visi ‘memangkas’ gunung. (bertambah bijak setiap hari..../Budi S. Tanuwibowo/MH)