Tepat pukul 06.00 pagi, aku terbangun dari tidur yang begitu pulas. Badan
terasa segar, setelah sebelumnya begitu letih menjalani rutinitas belajar.
Semangat dan kebugaran itu menjadi modal besar menghadapi pelajaran berat
hari ini tepat pada hari Jum’at.
Waktu yang terus berlalu, memaksaku bangkit dari tempat tidur menuju kamar
mandi, untuk selanjutnya bersiap-siap berangkat ke sekolah. Saat mengambil
handuk, mata tertuju ke celah pintu yang tidak tertutup rapat.
|
foto by google |
Tampak ibu tercinta sedang menyiapkan sarapan pagi. Wanginya yang masuk
terbawa angin, menggelitik selera makanku. Terbayang enak dan gurihnya
saparan yang disipakan ibu pagi ini. Akupun bergegas mandi dan berpakaian,
begitu selesai langsung menghampiri meja makan.
Aku melihat Ibu sedang membersihkan piring dan di atas meja makan telah
terhidang sarapan yang sempat menggelorakan rasa laparku. Sebelum menyantap
sarapan, ibu berkata “ Rustom (itu namaku), hari ini ibu hanya memasak ubi
goreng untuk sarapan. Setelah pulang sekolah, kamu langsung ke ladang memetik
daun ubi ya”, kata ibuku.
Aku pun mengangguk tanda mengerti apa yang ibu sampaikan. Sambil menyantap ubi goreng nan gurih, nikmat dan makyos, aku bertanya pada ibu. “Ibu, ayah
kemana? Seminggu terakhir ini saya tidak melihat ayah di meja makan ini? Apakah
ayah sudah berangkat kerja, karena aku tidak melihatnya sejak bangun tadi
pagi. Dimana ayah Bu?
Sederet pertanyaan yang saya ajukan, tidak dijawab ibu. Ia hanya
mengatakan, “Sudahlah, habiskan saparanmu dan cepat berangkat sekolah. Ibu
tidak mau melihatmu terlambat!
Setelah pamit, saya pun berangkat ke sekolah menggunakan sepeda
kayu yang dibuat ayah. Imajinasiku selalu muncul saat mengayuh sepeda dengan
kencang. Rasanya aku sedang berada di atas motor sport. Hahaha...maklum di
kampung kami, masih sangat jarang orang memiliki motor sport.
Sampai di sekolah, tidak banyak yang aku lakukan. Aku adalah orang yang
kurang suka bermain dan melakukan interaksi sosial. Aku lebih senang menepi
dari keramaian. Persisnya, aku tidak ingat mulai kapan berperilaku seperti itu.
Namun yang pasti, aku merasa nyaman dalam kesendirian, karena merasa punya
dunia sendiri.
“Teng..teng...teng” lonceng berbunyi mendenting pertanda dimulainya
pelajaran sekolah. Aku pun bergegas masuk ke kelas dan mengikuti seluruh
pelajaran pada hari itu.
Setelah seluruh pejaran selesai, lonceng kembali berbunyi pertanda jam
sekolah sudah usai. Sesuai perintah ibu tadi pagi, akupun bergegas ke ladang
untuk memetik daun ubi.
Sampai di ladang, aku bertemu seorang laki-laki tua berjenggot dan berambut
panjang. Ku hampir lelaki tua itu dan berbincang dengannya. “Maaf pak, apa yang
bapak lakukan disini”? Apakah bapak dari kampung seberang?.
Mendengar pertanyaan ku itu, lelaki tua itu hanya tersenyum lebar, dan berkata
“Kau persis seperti anakku, ketika ia masih sesuai denganmu, dan cara
bertanyamu ambisius. Aku disini untuk membantu sispapun yang menginginkan
jasaku”jawabnya.
Mendengar jawaban pak tua itu, seketika aku teringat ayah, apa yang ia
lakukan sekarang! Keingintahuan itu mendorongku untuk mengetahui kemana ayah sebenarnya.
Apalagi bapak tua yang kutemui mengatakan siap membantu siapa saja yang
membutuhkan jasanya. Seketika akupun meminta bantuan bapak tua tersebut untuk
mencari ayahku.
Setelah selesai memetik daun ubi dan bapak tua yang kutemui melanjutkan
perjalanannya, aku pun pulang ke rumah. Sesaat setelah tiba, aku langsung
menemui ibuku dan bertanya, “Ibu, kemana sebenarnya ayah, sudah seminggu aku
tidak melihatnya,”.
Ibu berkata “ Sudahah nak, ayahmu sedang bekerja”. Pertanyaan kulanjutkan, kenapa malam ayah juga tidak pulang? Lalu ibuku memberikan penjelasan, “ Ayah
sebenarnya bukan tidak pulang nak, hanya saja ayah pulang larut malam, sedangka
engkau sudah tidur, jelas ibu.
Lantas dengan nada memaksa, aku meminta ketegasan. “Jadi Bu.., sebenarnya kemana
ayah. Apakah ia bekerja?.
Dengan menghela nafas, ibu kemudian berkata, “Nak...
sebenarnya ayahmu bekerja di kampung seberang. Ia bekerja pada saudagar
kaya yang memiliki toko. Ayahmu bekerja di toko tersebut. Karena tidak
memiliki kendaraan, pagi-pagi sekali harus pergi sebelum fajar terbit, tepat pukul 5 pagi,
sedangkan engkau belum bangun. Dan ayah
mu pulang sekitar jam 10 malam, sementara engkau sudah tidur. Jadi sudah
seminggu ini ayah mu bekerja di toko itu. Itulah sebabnya seminggu ini kau
tidak melihatnya. Ubi yang di ladang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan kita
sehari-hari, ”kata ibu.
Begitu ibu menyelesaikan jawabannya, hatiku langsung bergetar dan tanpa kusadari bulir air mata meleleh dari ujung mataku. Sedih, haru dan bangga
bercampur aduk di dalam hatiku.
Melihat aku menangis, ibu berkata, “Sudahlah nak, jangan menangis. Ayahmu baik-baik
saja di sana dan ia ikhlas melakukan semua itu demi kita”.
“Baiklah bu, jawabku.
Di dalam hati aku bergumam, “Sungguh berat tanggungjawab seorang ayah". Akupun
menyadari kenapa laki-laki itu hilang bersama fajar, itu karena cinta serta kasih
sayangnya, demi menghidupi keluarganya. (tulisan Muhammad Agil Rais, mahasiswa semester 1 Jurusan
Akhwalussyakhsiyah, Fak. Syariah dan Hukum, UIN Sumut).