KALAU berjalan tanpa tujuan, yang didapatkan hanya lelah, letih dan
kesia-siaan serta tidak akan pernah sampai. Oleh karena itu, sebelum melakukan
satu perjalanan, tentukan dulu tujuannya, bagaimana cara menempuhnya serta
kenali tanda-tanda yang menunjukkan kita sudah sampai pada tujuan.
Selain itu, antara maksud dan keinginan mencapai tujuan, juga harus
dipadu padankan dengan busana yang digunakan, karena seringkali terjadi
ketidaksinkronan. Kalau ada Uwak-Uwak, membawa kain basahan, sabun dan odol
serta handuk, lalu kita tanya, “Mau kemana Uwak?, lalu Uwak itu menjawab mau
jalan-jalan ke Carefour!!!
Pasti kita terheran-heran mendengar jawaban Uwak itu. Tapi kalau
kemudian Uwak itu, menjawab “Saya mau numpang mandi ke rumah tetangga, karena
air di rumah Wak gak ngalir!”,. Jawaban seperti ini tidak akan mengundang
reaksi apa-apa.
Sama dengan ibadah puasa bulan ramadhan, tujuan kita sudah jelas menjadi manusia bertaqwa. Jalannya berpuasa selama sebulan,
berbalutkan busana qiyamul lail, memperbanyak sedekah dan menunaikan zakat
fitrah, insya Allah tujuan taqwa dapat dicapai.
foto ilustrasi |
Lalu apakah sekarang ini taqwa itu sudah didapatkan? Jawabnya terpulang kepada
masing-masing individu. Namun kita bisa melakukan pengukuran, misalkan bagi orang yang sudah berusia dikisaran 60 tahun,
dipotong 15 tahun sebelum masa baligh, berarti sudah empat puluh lima kali
berjumpa dengan ramadhan. Kalau taqwa belum juga didapatkan, pasti ada yang
salah.
Demikian juga bagi orang yang saat ini berusia 40 tahun, dipotong
masa sebelum baligh 15 tahun, sudah 25 kali bersua ramadhan, bila
taqwa belum juga diraih, dipastikan ada yang
belum serasi dan tepat dalam menempuh perjalanan menuju taqwa tersebut.
Bagaimana sebenarnya mengenali tanda-tanda kita sudah sampai pada
tujuan puasa yakni taqwa. Minimal ada tiga tanda utama orang yang meraih
ketaqwaan dengan ibadah puasa bulan ramadhan. Semakin dekat dengan Allah Swt,
akhlaknya semakin terjaga, berbicara semakin indah dan bermuara kebajikan.
Seandainya tanda-tanda ini
sudah kita temukan, berarti perjalanan kita sudah sampai tujuan. Tapi
seandainya belum ditemukan, tentu harus segera dilakukan muhasabah untuk
mencari apa yang masih kurang atau mungkin belum tepat dari proses penjalanan
yang dilakukan.
Mungkin puasanya belum mantap, qiyamul lailanya masih kurang atau
justru sedekahnya terlalu sedikit. Jika sudah ditemukan, segera lakukan
perbaikan, karena masih ada waktu ramadhan tahun ini. Jangan tunggu, ramadhan
tahun depan, sebab tidak ada jaminan kita akan berjumpa dengan ramadhan 1438
Hijriyah/tahun 2017 M.
Kalau semua proses sudah dilakukan, namun tetap saja tujuan taqwa
tak kunjung didapati, mungkin saja ada penyakit dalam hati kita. Di antara
penyakit hati yang mampu menghalangi seseorang mencapai taqwa buruk sangka,
baik buruk sangka kepada sesama manusia, pun buruk sangka kepada Sang Maha
Pencipta.
Dalam lingkungan masyarakat, penyakit hati buruk sangka sudah
menjadi sesuatu yang lumrah dan lajim. Kita tak tahu secara pasti yang menjadi
musababnya, apalagi bagi orang-orang yang senang bergosif, menggunjing dan
sebagainya, buruk sangka adalah menu favorit dan utama.
Melihat seorang gadis misalnya dengan perut gendut, langsung
digosifkan sebagai perempuan tak bener. “Itulah…akibat kalau terlalu genit,
keluar malam-malam”, hasilnya perut jadi condong ke depan. Padahal setelah
ditelisik, perut gadis itu buncit, bukan hamil tapi sedang menderita kanker
ganas.
Pun kalau melihat seorang perempuan dibonceng laki-laki beristri,
langsung tuh digosifkan dan digunjingkan. Bahkan ada yang nekat lapor pada istri
laki-laki tersebut. “Kak…kak, tadi saya llihat abang membonceng perempuan
cantik. Waduh, lihat gayanya, mungkin abang punya hubungan dekat dengan
perempuan tersebut,”
Bagaimana jadinya kalau laporan gosif itu mendapat jawaban seperti
ini, “ Perempuan yang diboncengnya pake kerudung putih berbaju hijau ya…”Iya
kak!”. Oh… itu adik saya. Bersama suamiku hendak mengantar makanan berbuka
puasa ke tempat keluarga!!!”,
Selain berburuk sangka kepada manusia, kita juga berani berburuk
sangka kepada Allah yang menciptakan kita dan seluruh alam semesta.
memperbandingkan antara sifat-sifat Allah dengan fakta kehidupan serta do’a
yang dipanjatkan selalu dijadikan rujukan utama untuk menilai keadilan dan
kebesaran Allah. sifat Maha Pengasih Allah Swt, tidak jarang digugat hanya atas
penilaian manusia Allah ternyata pilih kasih.
Ada sebuah kisah fiksi yang dapat menggambarkan sifat buruk sangka
manusia kepada Allah Swt. Satu keluarga di sebuah desa berhajat menyelenggaran
pesta pernikahan putri paling bungsu. Karena musim saat itu tidak menentu,
kadang hujan dan bisa juga panas terik, lalu sang ibu berinisiatif untuk
melakukan langkah antisifasi dengan mendatangi ustadz terkenal di desa
tersebut.
Kepada sang Ustadz, si ibu minta petunjuk apa yang harus dilakukan
agar pelaksanaan hajatan pernikahan putrinya berjalan lancar. Sebab kata ibu
itu, dulu keluarga mereka punya pengalaman pahit, saat menyelenggarakan pesta
anak tertuanya, hujan badai menerjang, hingga tenda ambruk, pelaminan hancur,
semua basah kunyup.
Setelah menjelaskan bahwa seluruh alam dan isinya berada pada
kekuasaan serta ridho Allah, sang Ustadz menyarankan kepada si ibu,agar Allah
ridho, laksanakan shalat malam, puasa sunnah Senin dan Kamis, serta perbanyak
bersedekah pada anak yatim.
Dengan kenyakinan kuat, si ibu langsung melaksanakan seluruh saran
sang ustadz hingga hari “H” pelaksanaan pernikahan putrinya. Pagi itu sungguh
menawan, matahari berinar cerah dan indah, hati ibupun ceria penuh rasa syukur.
Namun ba’da shalat dzuhur, langit mulai mendung. Salah seorang anggota keluaga
mendekati si Ibu dan mengatakan ”Langit tampak mendung, gimana?. Si Ibu
menjawab, “Tenang saja dan urus pekerjaan mu, saya sudah shalat malam, pasti
aman-aman saja!”.
Dan sore, rintik gerimis sudah terdengar berirama di atas genteng
rumah. Anggota keluarga yang tadi kembali mendatangi si Ibu dan menyampaikan,
“Gerimis sudah turun”, dan si ibu kembali menjawab dan mengatakan, “Sudah
jangan telalu khawatir, selain shalat malam, saya juga sudah puasa sunnah Senin
dan Kamis”.
Berselang beberapa saat, hujan benar-benar turun deras. Si Ibu tadi
langsung ngomel, “hujan adalah rahmat dari Allah”, tetapi dalam hati menggerutu
dan berkatan, “Kenapa Allah harus menurunkan hujan saat pesta pernikahan putrid
ku. Allah berarti tidak sayang dan tidak mengijabah do’a saya. Padahal sebelumnya
saya sudah berdo’a dan melakukan kebajikan.
Dalam konteks cerita di atas, si Ibu menyangkan Allah tidak sayang
dan tidak mengijabah do’anya. Ia merasa perbuatan baiknya tidak memiliki nilai
di hadapan Allah dan sangkaan buruk lainnya. Si Ibu menduga hari itu hanya ia
yang bermohon kepada Allah. Ia tidak tahu ada banyak hamba Allah yang lain
sudah lama berdo’a dan merindukan hujan. Para petani, tukang bunga, pun juga binatang
ternak.
Turunnya hujan bagian dari bukti keadilan Sang Maha Adil kepada
seluruh makhluknya. Intinya buruk sangka kepada manusia dan Allah adalah
penyakit hati yang harus disembuhkan.
Jika penyakit hati mau sembuh, paling tidak kerjakan tiga perbuatan ini,
insya Allah penyakit hatinya akan hilang. Apa itu, pertama Dzikrullah -
mengingat Allah/hubungan hati yang bersih selalu ingat dan berdzikir kepada
Allah. Dzikir kepada Allah dilaksanakan dengan sinergitas tiga hal. Ucapkan dengan
lisan, tasdiq bil qolbi (benarkan dalam hati), arkanu bil af’al (implementasikan
dengan perbuatan nyata).
Dzikir ini diyakini, hati dan seluruh anggota tubuh benar-benar
terkoneksi dengan Allah. Tapi bila dzikirnya hanya di lisan, misalkan lisan
mengucapkan Allahu Akbar, hati teringat tetangga yang baru beli mobil, ya
hasilnya pasti nihil.
Kedua, memperbanyak Qiraatul Qur’an (memperbanyak membaca
al-Qur’an). Al Qur’an sebagai petunjuk dan sumber dari seluruh sumber petunjuk
dalam kehidupan. Nabi Muhammad Saw dalam salah satu wasiatnya, berpesan,
zayyinuu manaazilakum bi qiroatil qur’an wash-sholah. Hiasilah rumah mu
dengan membaca al Qur’an dan sholat.
Ketiga memperbanyak mengingat kematian (dzikrul maut). Suatu
hari sahabat Umar bin Khattab duduk bersama Rasulullah SAW. Kemudian datanglah
seorang sahabat Anshar. Seraya memberi salam ia berkata: “Wahai Rasulullah,
mukmin yang seperti apa yang paling utama?”. Beliau menjawab:”Yang paling baik
akhlaknya”.
Sahabat itu bertanya lagi: “Mukmin seperti apakah yang paling
cerdas?” Beliau menjawab: “Muslim yang paling cerdas adalah yang paling banyak
mengingat kematian dan yang paling baik mempersiapkan diri untuk sesudah
kematian itu, mereka itulah orang-orang yang cerdas”(diriwayatkan oleh Imam
al-Qurtubi dalam al-Tadzkirah fi Ahwal al-Mauta wa Umuri al-Akhirah).
Nabi SAW menyebut orang yang ingat kematian dan mempersiapkannya
itu sebagai orang cerdas, sebab orang seperti itu mengetahui hakikat hidup, dan
mengindar dari tipuan-tipuan kehidupan.
Ingatlah perjalanan ibadah puasa untuk mencapai tujuan taqwa, dan
perjalanan hidup dunia untuk tujuan meraih kehidupan abadi di syurga-Nya Allah
Swt. Berjalanlah dengan tujuan. semoga bemanfaat, amin.(***)