Selasa, 14 Juni 2016

BERJALANLAH DENGAN TUJUAN

KALAU berjalan tanpa tujuan, yang didapatkan hanya lelah, letih dan kesia-siaan serta tidak akan pernah sampai. Oleh karena itu, sebelum melakukan satu perjalanan, tentukan dulu tujuannya, bagaimana cara menempuhnya serta kenali tanda-tanda yang menunjukkan kita sudah sampai pada tujuan.
Selain itu, antara maksud dan keinginan mencapai tujuan, juga harus dipadu padankan dengan busana yang digunakan, karena seringkali terjadi ketidaksinkronan. Kalau ada Uwak-Uwak, membawa kain basahan, sabun dan odol serta handuk, lalu kita tanya, “Mau kemana Uwak?, lalu Uwak itu menjawab mau jalan-jalan ke Carefour!!!
Pasti kita terheran-heran mendengar jawaban Uwak itu. Tapi kalau kemudian Uwak itu, menjawab “Saya mau numpang mandi ke rumah tetangga, karena air di rumah Wak gak ngalir!”,. Jawaban seperti ini tidak akan mengundang reaksi apa-apa.
Sama dengan ibadah puasa bulan ramadhan, tujuan kita sudah jelas menjadi manusia bertaqwa. Jalannya berpuasa selama sebulan, berbalutkan busana qiyamul lail, memperbanyak sedekah dan menunaikan zakat fitrah, insya Allah tujuan taqwa dapat dicapai.
foto ilustrasi
Lalu apakah sekarang ini taqwa itu sudah didapatkan? Jawabnya terpulang kepada masing-masing individu. Namun kita bisa melakukan pengukuran, misalkan bagi orang yang sudah berusia dikisaran 60 tahun, dipotong 15 tahun sebelum masa baligh, berarti sudah empat puluh lima kali berjumpa dengan ramadhan. Kalau taqwa belum juga didapatkan, pasti ada yang salah.
Demikian juga bagi orang yang saat ini berusia 40 tahun, dipotong masa sebelum baligh 15 tahun, sudah 25 kali bersua ramadhan, bila taqwa belum juga diraih, dipastikan ada yang  belum serasi dan tepat dalam menempuh perjalanan menuju taqwa tersebut.
Bagaimana sebenarnya mengenali tanda-tanda kita sudah sampai pada tujuan puasa yakni taqwa. Minimal ada tiga tanda utama orang yang meraih ketaqwaan dengan ibadah puasa bulan ramadhan. Semakin dekat dengan Allah Swt, akhlaknya semakin terjaga, berbicara semakin indah dan bermuara kebajikan.
Seandainya tanda-tanda ini sudah kita temukan, berarti perjalanan kita sudah sampai tujuan. Tapi seandainya belum ditemukan, tentu harus segera dilakukan muhasabah untuk mencari apa yang masih kurang atau mungkin belum tepat dari proses penjalanan yang dilakukan.
Mungkin puasanya belum mantap, qiyamul lailanya masih kurang atau justru sedekahnya terlalu sedikit. Jika sudah ditemukan, segera lakukan perbaikan, karena masih ada waktu ramadhan tahun ini. Jangan tunggu, ramadhan tahun depan, sebab tidak ada jaminan kita akan berjumpa dengan ramadhan 1438 Hijriyah/tahun 2017 M.
Kalau semua proses sudah dilakukan, namun tetap saja tujuan taqwa tak kunjung didapati, mungkin saja ada penyakit dalam hati kita. Di antara penyakit hati yang mampu menghalangi seseorang mencapai taqwa buruk sangka, baik buruk sangka kepada sesama manusia, pun buruk sangka kepada Sang Maha Pencipta.
Dalam lingkungan masyarakat, penyakit hati buruk sangka sudah menjadi sesuatu yang lumrah dan lajim. Kita tak tahu secara pasti yang menjadi musababnya, apalagi bagi orang-orang yang senang bergosif, menggunjing dan sebagainya, buruk sangka adalah menu favorit dan utama.
Melihat seorang gadis misalnya dengan perut gendut, langsung digosifkan sebagai perempuan tak bener. “Itulah…akibat kalau terlalu genit, keluar malam-malam”, hasilnya perut jadi condong ke depan. Padahal setelah ditelisik, perut gadis itu buncit, bukan hamil tapi sedang menderita kanker ganas.
Pun kalau melihat seorang perempuan dibonceng laki-laki beristri, langsung tuh digosifkan dan digunjingkan. Bahkan ada yang nekat lapor pada istri laki-laki tersebut. “Kak…kak, tadi saya llihat abang membonceng perempuan cantik. Waduh, lihat gayanya, mungkin abang punya hubungan dekat dengan perempuan tersebut,”
Bagaimana jadinya kalau laporan gosif itu mendapat jawaban seperti ini, “ Perempuan yang diboncengnya pake kerudung putih berbaju hijau ya…”Iya kak!”. Oh… itu adik saya. Bersama suamiku hendak mengantar makanan berbuka puasa ke tempat keluarga!!!”,
Selain berburuk sangka kepada manusia, kita juga berani berburuk sangka kepada Allah yang menciptakan kita dan seluruh alam semesta. memperbandingkan antara sifat-sifat Allah dengan fakta kehidupan serta do’a yang dipanjatkan selalu dijadikan rujukan utama untuk menilai keadilan dan kebesaran Allah. sifat Maha Pengasih Allah Swt, tidak jarang digugat hanya atas penilaian manusia Allah ternyata pilih kasih.
Ada sebuah kisah fiksi yang dapat menggambarkan sifat buruk sangka manusia kepada Allah Swt. Satu keluarga di sebuah desa berhajat menyelenggaran pesta pernikahan putri paling bungsu. Karena musim saat itu tidak menentu, kadang hujan dan bisa juga panas terik, lalu sang ibu berinisiatif untuk melakukan langkah antisifasi dengan mendatangi ustadz terkenal di desa tersebut.
Kepada sang Ustadz, si ibu minta petunjuk apa yang harus dilakukan agar pelaksanaan hajatan pernikahan putrinya berjalan lancar. Sebab kata ibu itu, dulu keluarga mereka punya pengalaman pahit, saat menyelenggarakan pesta anak tertuanya, hujan badai menerjang, hingga tenda ambruk, pelaminan hancur, semua basah kunyup.
Setelah menjelaskan bahwa seluruh alam dan isinya berada pada kekuasaan serta ridho Allah, sang Ustadz menyarankan kepada si ibu,agar Allah ridho, laksanakan shalat malam, puasa sunnah Senin dan Kamis, serta perbanyak bersedekah pada anak yatim.
Dengan kenyakinan kuat, si ibu langsung melaksanakan seluruh saran sang ustadz hingga hari “H” pelaksanaan pernikahan putrinya. Pagi itu sungguh menawan, matahari berinar cerah dan indah, hati ibupun ceria penuh rasa syukur. Namun ba’da shalat dzuhur, langit mulai mendung. Salah seorang anggota keluaga mendekati si Ibu dan mengatakan ”Langit tampak mendung, gimana?. Si Ibu menjawab, “Tenang saja dan urus pekerjaan mu, saya sudah shalat malam, pasti aman-aman saja!”.
Dan sore, rintik gerimis sudah terdengar berirama di atas genteng rumah. Anggota keluarga yang tadi kembali mendatangi si Ibu dan menyampaikan, “Gerimis sudah turun”, dan si ibu kembali menjawab dan mengatakan, “Sudah jangan telalu khawatir, selain shalat malam, saya juga sudah puasa sunnah Senin dan Kamis”.
Berselang beberapa saat, hujan benar-benar turun deras. Si Ibu tadi langsung ngomel, “hujan adalah rahmat dari Allah”, tetapi dalam hati menggerutu dan berkatan, “Kenapa Allah harus menurunkan hujan saat pesta pernikahan putrid ku. Allah berarti tidak sayang dan tidak mengijabah do’a saya. Padahal sebelumnya saya sudah berdo’a dan melakukan kebajikan.
Dalam konteks cerita di atas, si Ibu menyangkan Allah tidak sayang dan tidak mengijabah do’anya. Ia merasa perbuatan baiknya tidak memiliki nilai di hadapan Allah dan sangkaan buruk lainnya. Si Ibu menduga hari itu hanya ia yang bermohon kepada Allah. Ia tidak tahu ada banyak hamba Allah yang lain sudah lama berdo’a dan merindukan hujan. Para petani, tukang bunga, pun juga binatang ternak.
Turunnya hujan bagian dari bukti keadilan Sang Maha Adil kepada seluruh makhluknya. Intinya buruk sangka kepada manusia dan Allah adalah penyakit hati yang harus disembuhkan.
Jika penyakit hati mau sembuh,  paling tidak kerjakan tiga perbuatan ini, insya Allah penyakit hatinya akan hilang. Apa itu, pertama Dzikrullah - mengingat Allah/hubungan hati yang bersih selalu ingat dan berdzikir kepada Allah. Dzikir kepada Allah dilaksanakan dengan sinergitas tiga hal. Ucapkan dengan lisan, tasdiq bil qolbi (benarkan dalam hati), arkanu bil af’al (implementasikan dengan perbuatan nyata).
Dzikir ini diyakini, hati dan seluruh anggota tubuh benar-benar terkoneksi dengan Allah. Tapi bila dzikirnya hanya di lisan, misalkan lisan mengucapkan Allahu Akbar, hati teringat tetangga yang baru beli mobil, ya hasilnya pasti nihil.
Kedua, memperbanyak Qiraatul Qur’an (memperbanyak membaca al-Qur’an). Al Qur’an sebagai petunjuk dan sumber dari seluruh sumber petunjuk dalam kehidupan. Nabi Muhammad Saw dalam salah satu wasiatnya, berpesan, zayyinuu manaazilakum bi qiroatil qur’an wash-sholah. Hiasilah rumah mu dengan membaca al Qur’an dan sholat.
Ketiga memperbanyak mengingat kematian (dzikrul maut). Suatu hari sahabat Umar bin Khattab duduk bersama Rasulullah SAW. Kemudian datanglah seorang sahabat Anshar. Seraya memberi salam ia berkata: “Wahai Rasulullah, mukmin yang seperti apa yang paling utama?”. Beliau menjawab:”Yang paling baik akhlaknya”.
Sahabat itu bertanya lagi: “Mukmin seperti apakah yang paling cerdas?” Beliau menjawab: “Muslim yang paling cerdas adalah yang paling banyak mengingat kematian dan yang paling baik mempersiapkan diri untuk sesudah kematian itu, mereka itulah orang-orang yang cerdas”(diriwayatkan oleh Imam al-Qurtubi dalam al-Tadzkirah fi Ahwal al-Mauta wa Umuri al-Akhirah).

Nabi SAW menyebut orang yang ingat kematian dan mempersiapkannya itu sebagai orang cerdas, sebab orang seperti itu mengetahui hakikat hidup, dan mengindar dari tipuan-tipuan kehidupan.
Ingatlah perjalanan ibadah puasa untuk mencapai tujuan taqwa, dan perjalanan hidup dunia untuk tujuan meraih kehidupan abadi di syurga-Nya Allah Swt. Berjalanlah dengan tujuan. semoga bemanfaat, amin.(***)