Selasa, 02 Januari 2018

KARENA BUNDA ADALAH SEGALANYA

HIDUP diawali dengan embrio yang bersemedi sembilan bulan sepuluh hari. Dalam goa yang amat hangat. Tak pernah ada kata dingin di dalam goa tersebut. Tak satu helaipun rambut bergerak karena hembusan angin.
Tak pernah ada sebutan yang aneh saat embrio itu masih di dalam goa tersebut. Sampailah ketika embrio itu berubah menjadi janin dan keluar sebagai bayi dari goa itu. Dan wajah yang pertama dilihat bayi tersebut adalah pemilik goa tersebut. Itu adalah ibunya. Pemilik goa tersebut adalah seorang yang sampai saat ini kita sebut “IBU”.
Ibu merupakan jendral kavaleri di dalam arena perang darat. Membantu ayah yang berperan sebagai Perdana Menteri. Ibu juga berperan sebagai kapten di arena perang laut. Membantu ayah yang sebagai laksamana agung. Ya, itu lah peran seorang ibu. Dan juga sebagai “Al Madrasatul Ula” bagi pendidikan anak-anaknya. Dalam kata lain, ibu adalah tempat penghargaan berlabuh jika anaknya mampu menaklukan dunia di tangannya dan menginjak seluruh kepala manusia di kakinya.
Tapi, ibu juga menjadi tempat mendarat cercaan dan makian banyak orang jika anaknya adalah seorang pecundang, perusak , dan penghancur semata. Ibu adalah orang yang paling diagungkan saat kita memperoleh keberhasilan. Dan ibu juga tempat penghinaan terbesar saat kita gagal. Tapi ibu kita hanya tersenyum. Dia sampai kapanpun tak akan mempermasalahkan anaknya akan seperti apa. Peluh keringatnya tak pernah bisa terbalas. Walaupun kini  kita berada di dunia akademis tapi tak sebagai mahasiswa pada hakikatnya. Tapi, kita hanya sebagai kaum hedonis yang begitu kejam membelanjakan uang yang diamanahkan kepada kita dengan menikmati dunia tanpa berfikir akan amanahnya. Ya, itulah ibu pada umumnya.
Tapi sangat berbeda pada ibuku. Mungkin dia lebih hebat seperti apa yang di jelaskan. Sebegitu percayanya dia padaku sehingga tidak satupun prasangka buruknya mendarat di kepalaku. Dia bukan jenderal kavaleri. Mungkin dia bidadari yang tersesat di bumi ini. Lembut tutur katanya, bahkan marahnya saja menjadi ikhtibar. Bukan menjadikan ku takut. Tak pernah sedikitpun kutemukan sumpah serapahnya menusuk telingaku. Yang ada hanya nasihatnya yang kini memenuhi hatiku.
Banyak nasihat dan amanahnya yang saat ini tak kukerjakan. Dia hanya tersenyum dan selalu berkata ”jangan menyerah, matahari esok masih ada untukmu nak. Jangan jadikan nilai dan tugasmu menjadi batu yang menghalangimu di jalan”.
Dia juga bukan kapten kapal. Tapi dia adalah ratu yang harum namanya. Cantik parasnya. Dan bagiku ibuku adalah tempat paling nyaman saat aku di hantam kejamnya dunia, tak adilnya pemerintah, dan sakitnya paku kemunafikan yang kuhadapi setiap hari. Tapi, aku juga sadar. Walaupun dia seperti bidadari atau ratu, dia tetaplah manusia, yang kelak akan menghadap kepada Tuhannya dan Tuhanku.
Faktanya, saat ini sesuai apa yang dikatakan dalam surah Al Luqman “ ...Ibumu yang menyapihmu dalam 2 tahun dalam keadaan susah, maka bersyukurlah pada kedua orangtuamu...” tak lagi jadi panutan anak pada dewasa ini. Dengan bangganya mereka mendeklerasikan “Kids Zaman Now” di depan ibu mereka. Menganggap ibu mereka ketinggalan zaman, tidak kekinian, mencegah mereka untuk bergaul bebas adalah hal kuno yang mereka katakan. Dengan lantang mereka katakan pada ibu mereka bahwa ini bukan zaman ibu.
Artikel ini menyadarkan kita, bahwa kita adalah anak dan kelak akan menjadi orangtua. Apa yang saat ini dilakukan ibumu padamu, kelak akan kau lakukan juga pada anakmu. Jika hari ini kau mengatakan ibumu “KUNO” maka bersiaplah anakmu akan mengatakan ”MATI SAJA KAU” padamu saat dikau menjadi ibu.

Sayangilah ibumu, seperti kau menyayangi tubuhmu sendiri. Takutlah kehilangan ibumu sebagaimana takutmu kehilangan “RUH” dari tubuhmu. Karena bunda adalah segalanya. Karena dialah kita ada. Karena dialah kita bertahan. Karena dialah kita masih memiliki cahaya harapan. (Tio Lita Dora, Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sumut)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar