HIDUP diawali dengan embrio yang
bersemedi sembilan bulan sepuluh hari. Dalam goa yang amat hangat. Tak pernah
ada kata dingin di dalam goa tersebut. Tak satu helaipun rambut bergerak karena
hembusan angin.
Tak pernah ada sebutan yang aneh saat embrio
itu masih di dalam goa tersebut. Sampailah ketika embrio itu berubah menjadi
janin dan keluar sebagai bayi dari goa itu. Dan wajah yang pertama dilihat bayi
tersebut adalah pemilik goa tersebut. Itu adalah ibunya. Pemilik goa tersebut
adalah seorang yang sampai saat ini kita sebut “IBU”.
Ibu merupakan jendral kavaleri di dalam arena
perang darat. Membantu ayah yang berperan sebagai Perdana Menteri. Ibu juga
berperan sebagai kapten di arena perang laut. Membantu ayah yang sebagai
laksamana agung. Ya, itu lah peran seorang ibu. Dan juga sebagai “Al Madrasatul
Ula” bagi pendidikan anak-anaknya. Dalam kata lain, ibu adalah tempat
penghargaan berlabuh jika anaknya mampu menaklukan dunia di tangannya dan
menginjak seluruh kepala manusia di kakinya.
Tapi, ibu juga menjadi tempat mendarat cercaan
dan makian banyak orang jika anaknya adalah seorang pecundang, perusak , dan
penghancur semata. Ibu adalah orang yang paling diagungkan saat kita memperoleh
keberhasilan. Dan ibu juga tempat penghinaan terbesar saat kita gagal. Tapi ibu
kita hanya tersenyum. Dia sampai kapanpun tak akan mempermasalahkan anaknya
akan seperti apa. Peluh keringatnya tak pernah bisa terbalas. Walaupun
kini kita berada di dunia akademis tapi
tak sebagai mahasiswa pada hakikatnya. Tapi, kita hanya sebagai kaum hedonis
yang begitu kejam membelanjakan uang yang diamanahkan kepada kita dengan
menikmati dunia tanpa berfikir akan amanahnya. Ya, itulah ibu pada umumnya.
Tapi sangat berbeda pada ibuku. Mungkin dia
lebih hebat seperti apa yang di jelaskan. Sebegitu percayanya dia padaku
sehingga tidak satupun prasangka buruknya mendarat di kepalaku. Dia bukan jenderal
kavaleri. Mungkin dia bidadari yang tersesat di bumi ini. Lembut tutur katanya,
bahkan marahnya saja menjadi ikhtibar. Bukan menjadikan ku takut. Tak pernah
sedikitpun kutemukan sumpah serapahnya menusuk telingaku. Yang ada hanya
nasihatnya yang kini memenuhi hatiku.
Banyak nasihat dan amanahnya yang saat ini tak
kukerjakan. Dia hanya tersenyum dan selalu berkata ”jangan menyerah, matahari
esok masih ada untukmu nak. Jangan jadikan nilai dan tugasmu menjadi batu yang
menghalangimu di jalan”.
Dia juga bukan kapten kapal. Tapi dia adalah
ratu yang harum namanya. Cantik parasnya. Dan bagiku ibuku adalah tempat paling
nyaman saat aku di hantam kejamnya dunia, tak adilnya pemerintah, dan sakitnya
paku kemunafikan yang kuhadapi setiap hari. Tapi, aku juga sadar. Walaupun dia
seperti bidadari atau ratu, dia tetaplah manusia, yang kelak akan menghadap
kepada Tuhannya dan Tuhanku.
Faktanya,
saat ini sesuai apa yang dikatakan dalam surah Al Luqman “ ...Ibumu yang
menyapihmu dalam 2 tahun dalam keadaan susah, maka bersyukurlah pada kedua
orangtuamu...” tak lagi jadi panutan anak pada dewasa ini. Dengan bangganya
mereka mendeklerasikan “Kids Zaman Now” di depan ibu mereka. Menganggap ibu
mereka ketinggalan zaman, tidak kekinian, mencegah mereka untuk bergaul bebas
adalah hal kuno yang mereka katakan. Dengan lantang mereka katakan pada ibu
mereka bahwa ini bukan zaman ibu.
Artikel ini menyadarkan kita, bahwa kita adalah
anak dan kelak akan menjadi orangtua. Apa yang saat ini dilakukan ibumu padamu,
kelak akan kau lakukan juga pada anakmu. Jika hari ini kau mengatakan ibumu
“KUNO” maka bersiaplah anakmu akan mengatakan ”MATI SAJA KAU” padamu saat dikau
menjadi ibu.
Sayangilah ibumu, seperti kau menyayangi
tubuhmu sendiri. Takutlah kehilangan ibumu sebagaimana takutmu kehilangan “RUH”
dari tubuhmu. Karena bunda adalah segalanya. Karena dialah kita ada. Karena
dialah kita bertahan. Karena dialah kita masih memiliki cahaya harapan. (Tio
Lita Dora, Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sumut)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar