Rabu, 23 Maret 2016

Willem Iskandar


"Orang bijak itu harus mampu menjadikan orang menjadi bermartabat, 
dan orang bermartabat harus bisa membuat orang menjadi lebih bijak"
 (Willem Iskandar).


Baginda Mangaraja Enda, generasi III Dinasti Nasution, mempunyai tiga orang isteri yang melahirkan raja-raja Mandailing. Isteri pertama boru Lubis dari Roburan yang melahirkan putera mahkota Sutan Kumala Sang Yang Dipertuan Hutasiantar. Baginda Mangaraja Enda menobatkan Sutan Kumala Sang Yang Dipertuan Hutasiantar menjadi raja di Hutasiantar dengan kedudukan yang sama dengan dirinya.
Isteri kedua, boru Hasibuan dari Lumbanbalian yang melahirkan empat orang putera yang kelak menjadi raja. Mereka adalah Sutan Panjalinan raja di Lumbandolok, Mangaraja Lobi raja di Gunung Manaon, Mangaraja Porkas raja di Manyabar dan Mangaraja Upar atau Mangaraja Sojuangon raja di Panyabungan Jae.
Isteri ketiga, boru Pulungan dari Hutabargot yang melahirkan dua orang putera, ialah: Mangaraja Somorong raja di Panyabungan Julu dan Mangaraja Sian raja di Panyabungan Tonga.
Sutan Kumala Sang Yang Dipertuan Hutasiantar menobatkan tiga orang puteranya menjadi raja, masing-masing Baginda Soalohon raja di Pidoli Lombang, Batara Guru raja di Gunungtua, dan Mangaraja Mandailing raja di Pidoli Dolok.
Penobatan tiga putera Sutan Kumala Sang Yang Dipertuan Hutasiantar itu dilakukan menyusul pemberontakan yang dilancarkan raja-raja di tiga daerah tersebut terhadap Baginda Mangaraja Enda. Sutan Kumala Sang Yang Dipertuan Hutasiantar berhasil memadamkan pemberontakan terhadap ayahandanya itu. Sementara itu raja-raja yang berontak eksodus bersama sebagian rakyatnya ke daerah pantai dan pedalaman Pasaman.
Ada tiga tokoh penting dalam generasi XI Dinasti Nasution. Pertama, Sutan Kumala Yang Dipertuan Hutasiantar, yang biasa disingkat menjadi Yang Dipertuan. Tokoh ini dikenal sebagai raja ulama yang namanya banyak disebutkan oleh Multatuli di dalam karyanya Max Havelaar. Belanda menjulukinya Primaat Mandailing. Yang Dipertuan membantu kompeni melawan pasukan Paderi. Tokoh inilah yang bekerjasama dengan Asisten Residen Mandailing Angkola, 1848-1857, Alexander Philippus Godon (1816-1899), merancang dan membangun mega proyek jalan ekonomi dari Panyabungan ke pelabuhan Natal sepanjang kl. 90 kilometer.
Kedua, Sutan Muhammad Natal, yang banyak disebut Multatuli di dalam Max Havelaar dengan nama Tuanku Natal, seorang raja Natal yang muda dan cerdas, sahabat karib Multuli ketika menjabat Kontrolir Natal (1842-1843).
Ketiga, Sati gelar Sutan Iskandar ialah tokoh kita, Willem Iskander, yang lahir di Pidoli Lombang pada bulan Maret 1840.
Tuanku Natal dan Willem Iskander adalah cucu langsung dari Sutan Kumala Porang, raja Pidoli Lombang.
Pada usia 13 tahun, 1853, Sati masuk sekolah rendah dua tahun yang didirikan Godon di Panyabungan. Begitu lulus, 1855, Sati diangkat menjadi guru di sekolahnya. Barangkali Willem Iskander lah guru formal termuda, 15 tahun, dalam sejarah pendidikan Indonesia.
Pada saat yang sama ia juga diangkat oleh Godon menjadi juru tulis bumiputera (adjunct inlandsch schrijfer) di kantor Asisten Residen Mandailing Angkola di Panyabungan. Jabatan guru dan juru tulis itu dijabatnya dua tahun, menggantikan Haji Nawawi yang berasal dari Natal, sampai menjelang keberangkatannya ke Negeri Belanda bersama Godon, Februari 1857.
Salah satu penemuan saya tentang riwayat hidup Willem Iskander adalah Acte van bekenheid, ialah Surat Kenal sebagai pengganti Akte Kelahiran. Dokumen inilah antara lain yang saya pamerkan pada acara peringatan 100 tahun wafatnya Willem Iskander tanggal 8 Mei 1976 di Geliga Restaurant, Jln. Wahid Hasyim 77C, Jakarta Pusat.
Sejak itu masyarakat mengetahui tarikh kelahiran Willem Iskander, ialah pada bulan Maret 1840 di Pidoli Lombang, Mandailing Godang. Ibunya Si Anggur boru Lubis dari Rao-rao dan ayahnya Raja Tinating, Raja Pidoli Lombang.
Akte ini dibuat oleh sejumlah orang yang memberikan kesaksian tentang kelahiran Willem Iskander, ialah Arnoldus Johannes Pluggers amtenar di Onderafdeeling Groot Mandailing en Batang Natal, Johannes Hendrik Kloesman berusia 50 tahun amtenar yang berdiam di Tanobato, dan Philippus Brandon usia 40 tahun amtenar yang berdiam di Muarasoma. Akte bertanggal 28 Februari tahun 1874 ini ditandatangani oleh tiga amtenar tersebut, kemudian dilegalisasi oleh Residen Tapanuli, H.D. Canne, di Sibolga. Seterusnya akte ini dilegalisasi lagi oleh Sekretaris Ministerie van Kolonien, Henney, di Den Haag pada tanggal 7 Juni tahun 1876.
Nama Sati Nasution gelar Sutan Iskandar adalah nama yang dicantumkan di dalam teks Acte van Bekenheid. Nama Willem Iskander diberikan kepadanya ketika dia masuk Kristen di Arnhem pada tahun 1858, setahun sebelum ia belajar di Oefenschool di Amsterdam.
Seterusnya, nama Willem Iskander dipakainya di dalam karyanya, surat-surat, beslit, piagam, surat nikah dll. Jadi adalah salah kalau orang menulis namanya menjadi Willem Iskandar, yang benar adalah Willem Iskander.

Bias-bias Tentang Willem Iskander
Kekeliruan informasi tentang Willem Iskander selama ini terdapat di dalam berbagai tulisan yang terbit di Indonesia, antara lain seperti yang ditulis oleh Mangaraja Onggang Parlindungan di dalam bukunya Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao: Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak 1816-1833. Saya temukan juga kesalahan di dalam buku Pusaka Indonesia yang disusun oleh Tamar Djaja. Penulis ini menyebutkan, bahwa pujangga Muhammad Kasim adalah murid langsung Willem Iskander. Bagaimana mungkin? Muhammad Kasim lahir di Muarasipongi pada tahun 1886, sepuluh tahun setelah Willem Iskander wafat di Amsterdam 8 Mei 1876.
Lebih seru lagi tulisan Bismar Siregar yang dimuat oleh Harian Sinar Harapan edisi 31 Mei 1986. Tulisan bertajuk Sekedar Catatan Soal “Si Bulus-bulus Si Rumbuk-rumbuk” sebagai reaksi terhadap tiga tulisan bersambung Dr. Daoed Joesoef gelar Iskandar Muda Nasution tentang tiga hal ialah: Willem Iskander, Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk dan tentang aktivitas saya meneliti Willem Iskander. Tulisan Dr. Daoed Joesoef gelar Iskandar Muda Nasution yang dikomentari Bismar Siregar itu dimuat Harian Sinar Harapan dua minggu sebelumnya.
Gelar Iskandar Muda Nasution itu ditabalkan oleh raja-raja adat Mandailing kepada Dr. Daoed Joesoef selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang sedang mengunjungi Tanobato di Mandailing pada tahun 1981. Maksud kunjungannya adalah untuk melihat lokasi Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers yang didirikan oleh Willem Iskander pada tahun 1862.
Dr. Daoed Joesoef tiga kali mengunjungi lokasi ini: Pertama, melihat bekas pertapakan sekolah guru itu pada tahun 1981. Kedua, meletakkan batu pertama pembangunan SMA Negeri Willem Iskander di lokasi itu pada tahun 1982. Ketiga, meresmikan SMA Negeri Willem Iskander itu pada tahun 1983. Saya hadir pada tiga kali kunjungan itu sebagai rombongan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Kami berdua adalah pengagum berat Willem Iskander. Barangkali itu sebabnya saya selalu diajak oleh Dr. Daoed Joesoef selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ikut dalam rombongannya, atas biaya negara dengan SK Staf Ahli Menteri.
Sepanjang yang saya ketahui, belum ada desa terpencil di pedalaman yang sampai tiga kali dikunjungi oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sepanjang sejarah Negara Republik Indonesia, kecuali yang dilakukan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Dr. Daoed Joesoef, di Tano Bato. Ini benar-benar kunjungan yang spektakuler.
Tiga artikel Dr. Doed Joesoef itu adalah: Pertama, "Si Bulus-bulus Si Rumbuk-rumbuk (I): Ditemukan Sebuah Buku Tua" dimuat oleh Harian Sinar Harapan 14 Mei 1986. Kedua, "Si Bulus-bulus Si Rumbuk-rumbuk (II): O, Mandailing Godang" dimuat oleh Harian Sinar Harapan 15 Mei 1986, dan Ketiga, "Si Bulus-bulus Si Rumbuk-rumbuk (III Habis): Meninggalnya Orang Jujur" dimuat oleh Harian Sinar Harapan 16 Mei 1986.
Artikel Bismar Siregar itu sudah saya jawab pada tanggal 6 Juni 1986. Sesuai pesan Samuael Pardede, Redaksi Harian Sinar Harapan, agar saya menulis setuntas mungkin di bawah tajuk "Catatan Atas Bismar Siregar: Mayat Willem Iskander Tertembus Peluru." Orang bertanya, apa gerangan isi artikel Bismar Siregar yang bertajuk Sekedar Catatan Soal “Si Bulus-bulus Si Rumbuk-rumbuk” itu? Jawabannya ada pada buku saya Greget Tuanku Rao yang diterbitkan oleh Penerbit Komunitas Bambu di Depok, bulan September 2007 yang lalu.
Ada lagi tulisan orang lain yang menyebutkan, bahwa Charles Adriaan van Ophuysen, ahli bahasa Melayu dan Mandailing yang terkenal namanya melalui nama Ejaan Van Ophuysen, adalah guru Willem Iskander. Bagaimana mungkin? Charles Adriaan van Ophuysen itu lahir di Solok tahun 1854. Ia masih balita ketika Willem Iskander dan Asisten Residen Mandailing Angkola, Alexander Philippus Godon, meninggalkan Mandailing menuju Negeri Belanda pada bulan Februari 1857.
Ayah Charles Adriaan van Ophuysen, J.A.W. van Ophuysen adalah seorang amtenar legendaris di Pantai Barat Sumatera. Kariernya antara lain: Kontrolir Kelas Satu di Afdeeling XIII Kota dan IX Kota, 1852. Kontrolir Kelas Satu di Natal, Mandailing Natal, 1853, sepuluh tahun setelah Eduard Douwes Dekker (Multatuli) meninggalkan Natal. Assisten Residen Afdeeling XIII Kota dan IX Kota, 1855-1856. Asisten Residen Bengkulu, 1858-1861, merangkap Presiden Residentie-Raad dan Presiden Pangeran Raad.
Kelak Charles Adriaan van Ophuysen, yang ahli Bahasa Melayu dan Bahasa Mandailing itu, selama delapan tahun menjadi guru di Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers di Padangsidimpuan, 1882-1890. Bahkan ia menjadi direktur sekolah guru yang didirikan tahun 1879 itu, antara 1885-1890. Pada tanggal 1 Juli 1893 ia diangkat sebagai Inspektur Pendidikan Bumiputera Pantai Barat Sumatera berkedudukan di Bukittinggi.
Prof. Van Ophuysen wafat di Leiden tanggal 19 Februari 1917, dimakamkan di Begraafplaats Groenesteeg di Leiden dengan nomor makam 769.
Prof. Van Ophuysen bukan hanya ahli bahasa dan sastra Melayu dan Mandailing, tetapi ia juga tercatat sebagai kolektor tumbuhan. Ia memiliki 157 spesimen dengan nama tumbuhan bahasa daerah (1906). Pengetahuannya yang luas tentang berbagai ragam tumbuhan di Mandailing telah memantapkan karangannya tentang bahasa daun dalam Bahasa Mandailing. Ia menyebutkan bahwa Bahasa Mandailing adalah satu-satunya bahasa di dunia yang memiliki bahasa daun.
Jadi sudah pasti Charles Adriaan van Ophuysen tak pernah bertemu dengan Willem Iskander, apatah lagi sebagai guru bagi Willem Iskander. Yang benar adalah, ada murid Willem Iskander yang sejawat Charles Adriaan van Ophuysen sebagai sesama guru di Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers Padangsidimpuan, seperti Pangulu Lubis yang dikenal juga sebagai Guru Batak.

Menapak Karier
Setelah Willem Iskander memperoleh ijazah guru bantu dari Oefenschool pimpinan D. Hekker Jr. di Amsterdam, ia bertolak dari Bandar Amsterdam dengan kapal Petronella Catarina pada tanggal 2 Juli 1861. Setibanya di Batavia pada bulan Desember 1861, Willem Iskander menghadap Gubernur Jenderal, Mr. Ludolf Anne Jan Wilt Baron Sloet van den Beele.
Willem Iskander mengutarakan maksudnya mendirikan sekolah guru di Mandailing, dan memohon bantuan Gubernur Jenderal agar cita-citanya itu terlaksana. Gubernur Jenderal Gubernur Pantai Barat Sumatera ketika itu, Van den Bosche, agar membantu Willem Iskander. Acara pertama Willem Iskander ketika tiba di Padang, adalah menghadap Van den Bosche untuk menyerahkan surat Gubernur Jenderal, sekaligus melaporkan dialognya dengan Gubernur Jenderal di Batavia.
Dalam perjalanan kembali ke Mandailing melalui pelabuhan Natal, Willem Iskander berlayar bersama Asisten Residen Mandailing Angkola ketika itu, Jellinghaus, yang sedang berada di Padang. Mereka singgah dua hari di rumah kerabat Willem Iskander, Tuanku Natal. Setelah Willem Iskander tiba kembali di Mandailing pada awal 1862, ia melakukan persiapan pendirian sekolah guru di Mandailing. Tempat yang ia pilih adalah Tanobato, 526 meter di atas permukaan laut, desa yang ketika itu berhawa sejuk rata-rata 22°C, berada di pinggir jalan ekonomi ke pelabuhan Natal. Bangunan sekolah pun didirikan bersama masyarakat setempat. Bangunan empat ruangan, ialah tiga ruang kelas, satu tempat tinggal Willem Iskander. Bahan bangunan itu terbuat dari kayu, bambu dan atap daun rumbia. Ada dua bangunan lagi di sebelah gedung sekolah ini, ialah Gudang Kopi (Pakhuis) dan Pasanggrahan.
Dalam usia 22 tahun, Willem Iskander melakukan terobosan besar gerakan pencerahan (Aufklärung) melalui pendidikan di Mandailing Angkola, khususnya di Mandailing. Orientasi, cakrawala, penalaran, idealisme, kearifan, dan semangat pembaharuan telah membekali Willem Iskander untuk melakukan gerakan pencerahan di Tapanuli.
Semboyan revolusi Prancis: Liberté, Egalité, dan Fraternité (Kebebasan, Persamaan, dan Persaudaraan) telah merasuk benar ke dalam jiwanya. Willem Iskander menyaksikan bagaimana semboyan kemanusiaan yang universal itu disosialisasikan dan diamalkan oleh Godon, atasan dan mentornya yang berdarah Prancis itu.
Willem Iskander menerima beslit bertanggal 5 Maret 1862, yang mengizinkannya mendirikan Kweekschool di Mandailing. Beslit kedua bertarikh 24 Oktober 1862 yang menetapkannya sebagai guru pada Kweekschool Tanobato.
Perjuangannya sangat berat. Sedikit sekali orang yang mau menyekolahkan anaknya di sekolah guru itu. Kesulitan itu dapat diatasinya dengan (habisukon) kearifan, ketekunan, kesabaran dan kegigihannya terus menerus mensosialisasikan gagasan pembaharuannya dari rumah ke rumah. Maka kelangkaan murid itu pun dapat diatasinya. Lagi pula, masyarakat mengetahui bahwa Yang Dipertuan sangat mendukung gerakan pembaharuan melalui pendidikan yang dilakukan oleh Willem Iskander. Dengan demikian ia berhasil menempatkan sekolah guru ini sebagai tumpuan harapan kemajuan masa depan.
Baru satu tahun usia Kweekschool Tanobato, pada bulan September 1863, Gubernur Van den Bosche datang dari Padang melakukan inspeksi ke sekolah ini. Gubernur Pantai Barat Sumatera ini melaporkan kunjungannya kepada Gubernur Jenderal dalam suratnya tanggal 13 September 1863. Ia menyatakan kekagumannya terhadap kepiawaian Willem Iskander. Kesannya ia tulis dengan kata-kata zeer ontwikkeld, hoogst ijverig, artinya sangat cerdik, terpelajar, dan sangat rajin dan tekun.
Gubernur Van den Bosche mengusulkan kepada Gubernur Jenderal di Batavia supaya dibangun satu Kweekschool saja di Padang untuk wilayah Pantai Barat Sumatera, yang akan dipimpin oleh Willem Iskander. Ia yakin Willem Iskander mampu memimpin sekolah itu, karena Willem Iskander fasih berbahasa Melayu dan Belanda. Jika usul ini disetujui, maka Kweekschool Fort de Kock (Bukittinggi) yang didirikan 1856 dan Kweekschool Tanobato yang didirikan 1862 harus ditutup. Gubernur Jenderal membahas usul ini dalam sidang Raad van Indië, Dewan Hindia. Ternyata usul Van den Bosch itu ditolak oleh Raad van Indië.
Empat tahun setelah Willem Iskander mendirikan Kweekschool Tanobato, Mr. J.A. van der Chijs, Inspektur Pendidikan Bumiputera, datang dari Batavia ke Tanobato selama tiga hari pada bulan Juni 1866. Kedua tokoh pendidikan itu mendiskusikan cara-cara terbaik yang harus ditempuh untuk memajukan pendidikan bumiputera. Willem Iskander menyampaikan beberapa gagasan kepada Van der Chijs, di antaranya agar pemerintah mendidik guru sebanyak-banyaknya dengan cara memberikan beasiswa kepada murid-murid untuk mendapat pendidikan keguruan di Negeri Belanda. Sebagai langkah pertama ia mengusulkan agar beasiswa itu diberikan kepada 8 orang, masing-masing dua orang dari Mandailing, Jawa, Sunda dan Manado.
Selama di Tanobato Van der Chijs menyaksikan penyelenggaraan pendidikan di sekolah guru ini. Ia mengagumi kebolehan Willem Iskander mengajarkan konsep-konsep ilmu pengetahuan dalam bahasa Mandailing dan bahasa Melayu. Van der Chijs juga mengagumi kemampuan berbahasa Belanda para murid Willem Iskander. Van der Chjis menyaksikan Willem Iskander mengajarkan dasar-dasar fisika dalam bahasa Mandailing dengan metode sendiri, memakai alat peraga lokal yang dikenal baik oleh murid-muridnya.
Van der Chijs menulis di dalam laporan tahunan pendidikan bumiputera tentang kekagumannya terhadap tiga kemampuan murid-murid Willem Iskander, ialah dalam bidang matematika, bahasa Melayu dan bahasa Belanda. Van der Chijs menyaksikan mereka membuat esai dan surat menyurat dalam dua bahasa itu.
Willem Iskander bekerja keras memenuhi cita-citanya mendidik murid-murid agar memiliki kreativitas yang tinggi, agar menjadi cendekiawan kelak di kemudian hari. Oleh karena itu, ketika ia diangkat menjadi anggota komisi penerjemahan karya-karya berbahasa Melayu ke dalam bahasa Mandailing, ia langsung melibatkan murid-muridnya.
Tingginya kualitas murid-murid Willem Iskander terbukti dengan kesalahan beslit pemberian honorarium kepada Willem Iskander yang seharusnya diberikan kepada muridnya Si Mangantar gelar Raja Baginda. Kesalahan itu merepotkan banyak pihak di Batavia, karena perbaikan kesalahan itu menyangkut begitu banyak tanda tangan. Murid-murid Willem Iskander bukan saja tersebar di Tapanuli, tetapi juga ke Singkil, Nias dan Sulit Air di Sumatera Barat.
Willem Iskander sadar, bahwa kemampuan berbahasa Melayu dan bahasa Belanda, adalah kunci gerbang ilmu pengetahuan ketika itu. Bahasa Mandailing diajarkan sesuai kaidah-kaidah bahasa. Sedangkan bahasa Belanda diajarkannya empat kali seminggu. Kemampuan berbahasa itulah yang mengantarkan para muridnya menjadi pengarang, penerjemah dan penyadur. Willem Iskander pun bekerja keras meningkatkan wibawa sekolah sebagai pusat kemajuan.
Pertemuan Willem Iskander selama tiga hari dengan Inspektur Pendidikan Bumiputera, Mr. J.A. van der Chijs di Tanobato telah membuahkan banyak hasil. Gagasan Willem Iskander agar pemerintah memberikan beasiswa kepada guru-guru muda untuk belajar di Negeri Belanda, menjadi pemikiran pemerintah pusat.
Ada peristiwa yang luar biasa ketika Willem Iskander melaksanakan EBTA pada bulan Juni 1871. Pelaksanaan ujian itu sangat istimewa, karena dihadiri petinggi pemerintah ketika itu, ialah: Gubernur Pantai Barat Sumatera, Residen Tapanuli, Asisten Residen Mandailing-Angkola dan Kontrolir wilayah itu.
Ujian dimulai dengan menyuruh murid-murid menulis esai, dilanjutkan dengan pertanyaan tentang ilmu alam, lembaga-lembaga pemerintahan Hindia Belanda. Kemampuan berbahasa Belanda dan bahasa Melayu diuji dengan cara membaca dan berbicara. Ujian berhitung dilakukan dengan menjawab soal-soal dengan menulis pada batu tulis dan papan tulis.
Usai melakukan inspeksi itu, Gubernur menyampaikan kepuasannya kepada Willem Iskander
terhadap kemampuan murid-murid Willem Iskander berbahasa Belanda. Gubernur mengharapkan agar Willem Iskander lebih meningkatkan lagi mutu pendidikan di sekolah ini.
Pada kesempatan lain setelah inspeksi itu, Asisten Residen Mandailing Angkola nengunjungi sekolah ini yang kemudian diikuti oleh pejabat-pejabat lain. Para pejabat itu berdialog dengan murid-murid sambil mengajukan berbagai pertanyaan. Para murid memberikan jawaban atau penjelasan secara memuaskan (Verslag, 1871:56-57).

Sidang Tweede Kamer
Sementara itu, berbagai upaya terus dilakukan oleh Willem Iskander agar gagasan itu menjadi kenyataan. Ia menulis surat pribadi kepada seorang anggota parlemen, Tweede Kamer, Willem Adriaan Viruly Verbrugge (1830-1908), seorang yang menguasai permasalahan pendidikan di Hindia Belanda. Surat itu dibahas dalam sidang Tweede Kamer pada tanggal 11 November 1869, 138 tahun yang lalu. Sidang ini dihadiri 71 orang termasuk ketua Tweede Kamer, Mr. Willem Hendrik Dullert (1817-1881) dan Menteri Urusan Jajahan, De Waal.
Beberapa tokoh terkenal lainnya yang sudah menjadi anggota Tweede Kamer yang hadir dalam sidang itu adalah mantan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Mr. Ludolf Anne Jan Wilt Baron Sloet van den Beele (1806-1890), Fransen van de Putte, Van der Linden dll.
Viruly Verbrugge menyampaikan perihal surat Willem Iskander itu kepada para anggota Tweede Kamer. Ia menyebutkan, bahwa surat itu ditulis dalam bahasa yang sangat sopan dan bijaksana. Viruly Verbrugge juga menjelaskan bahwa dahulu Willem Iskander pernah mendapat pendidikan di Negeri Belanda atas biaya Kerajaan. Kemudian, Kerajaan mengangkatnya menjadi guru kepala di Kweekschool Tanobato di Sumatera.
Berhubung surat Willem Iskander itu adalah surat pribadi kepadanya, maka ia tidak dapat memperbanyaknya untuk para anggota Tweede Kamer. Surat itu berisi usul Willem Iskander agar pemerintah memberikan beasiswa kepada siswa dari Jawa, Sumatera dan Sulawesi untuk mengikuti pendidikan di Belanda seperti yang dialaminya sendiri. Willem Iskander menyebutkan, bahwa peranan guru-guru itu sangat besar dalam memajukan pendidikan bumiputera.
Viruly Verbrugge prihatin terhadap ketidak adilan kebijakan pemerintah dalam pembiayaan pendidikan di Hindia Belanda. Pemerintah menyediakan biaya pendidikan bagi 25.000 orang Eropa setara dengan 7 ton emas per tahun, tetapi hanya setara 3 ton emas bagi 13 juta penduduk Pulau Jawa, tidak termasuk bumiputera di luar Jawa. Penduduk Pati yang 235.000 jiwa yang sama dengan jumlah penduduk Amsterdam, hanya 81 orang yang memasuki sekolah. Demikian juga Sumedang dengan penduduk 200.000 orang, hanya 53 orang yang menikmati pendidikan. Berdasarkan fakta-fakta itu Viruly Verbrugge mengajukan amandemen terhadap anggaran pendidikan, agar Menteri Urusan Jajahan, De Waal, menambah anggaran pendidikan untuk bumiputera Hindia Belanda. Dalam hal ini Viruly Verbrugge juga menyinggung peningkatan anggaran pembangunan Kweekschool Tanobato.
Usul amandemen Viruly Verbrugge dan anggota Moens itu, didukung anggota Tweede Kamer Jonckbloet, Bots, van Blom, Fransen van de Putte, Stieltjes, dan Fokker.
Menarik sekali, Mr. Ludolf Anne Jan Wilt Baron Sloet van den Beele yang pada bulan Desember 1861 ditemui Willem Iskander di Batavia ketika menjabat Gubernur Jenderal, hadir dalam sidang ini sebagai anggota Tweede Kamer. Ia turut memberi tanggapan terhadap pidato Viruly
Verbrugge tentang situasi pendidikan di Hindia Belanda ketika itu. Mantan Gubernur Jenderal itu juga menceritakan bahwa ia mengetahui benar telah lama ada sekolah-sekolah desa yang dikelola oleh masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran membaca (veele kampongs en dessa’s kleine scholen bestaan om de inlanders te ontwikkelen en te leeren lezen).
Ini bukan pertama kali Willem Iskander dibicarakan di dalam sidang-sidang Tweede Kamer. Sembilan tahun sebelumnya, pada sidang ke-6 tanggal 25 Sepetember 1860, Willem Iskander dan Multatuli menjadi bahan pembicaraan yang hangat sekali. Hadir dalam sidang itu Duymaer van Twist mantan Gubernur Jenderal yang memecat Eduard Douwes Dekker dari jabatan Asisten Residen Lebak. Ada 65 orang yang hadir di dalam sidang ini, 62 anggota, ketua Tweede Kamer, Reenen dan dua menteri, Menteri Urusan Jajahan J.J. Rochussen dan Menteri Keuangan Van Hall. Tokoh terkenal lainnya yang hadir adalah Thorbecke, Elout van Soeterwoude dan Van Hoëvell. Anggota parlemen membahas dampak terbitnya buku Max Havelaar karya Multatuli yang sangat mengguncangkan dan mempermalukan pemerintah kerajaan Belanda ketika itu.
Sedangkan pembahasan tentang Willem Iskander adalah seputar beasiswa yang diberikan oleh kerajaan melalui Menteri Urusan Jajahan, J.J. Rochussen.
Gagasan pembaharuan pendidikan guru bumiputera yang disampaikan oleh Willem Iskander kepada Van der Chijs di Tanobato, 1866, dan pembahasan suratnya di Tweede Kamer, November 1869, telah membuahkan hasil.
Van der Chjis membuat rencana jangka panjang dan jangka pendek peningkatan mutu pendidikan guru bumiputera. Satu yang penting, adalah pemberitahuannya kepada Willem Iskander, 1869, bahwa ia ditugaskan membawa dan membimbing delapan guru muda untuk meneruskan pendidikan di Negeri Belanda. Delapan guru muda itu masing-masing dua orang dari Manado, Mandailing, Sunda dan Jawa.
Sementara itu, pada tahun 1871, Van der Chijs mendekritkan pembaruan sekolah guru bumiputera. Ia membuat sejumlah syarat yang harus dipenuhi setiap sekolah guru bumiputera. Dekrit itu berkaitan dengan gagasan-gagasan Willem Iskander. Tiga syarat penting ialah:
1.Sekolah guru harus menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
2.Guru sekolah guru harus mampu menulis buku pelajaran.
3.Bahasa daerah harus dikembangkan sesuai kaidah-kaidah bahasa.
Pada tahun 1873, telah diketahui hanya tiga orang guru muda yang berangkat ke Negeri Belanda bersama Willem Iskander. Mereka adalah Banas Lubis murid Willem Iskander di sekolah guru Tanobato, Raden Mas Surono dari Kweekschool Surakarta, dan Mas Ardi Sasmita guru sekolah rendah di Majalengka lulusan Kweekschool Bandung.

Ke Belanda Lagi
Mr. J.A. van der Chijs sangat kecewa melihat mutu pendidikan di Kweekschool Fort de Kock yang sangat rendah, tidak lebih dari sekolah setingkat sekolah dasar. Sekolah yang didirrikan tahun 1856 ini dikelola oleh Abdul Latip Sutan Dinegeri, anak bangsawan Kota Gedang, yang bekerja sebagai pegawai di kantor pemerintah di Bukittinggi. Perbandingan kualitas pendidikan dan kurikulum Kweekschool Tanobato dan Kweekschool Fort de Kock pada tahun ajaran 1867 dan 1870 dapat dibaca di dalam buku saya Greget Tuanku Rao pada halaman 193 s.d. 199.
Mungkin inilah sebabnya, kenapa Willem Iskander tidak mengusulkan calon dari Minangkabau untuk mendapatkan beasiswa belajar di sekolah guru di Negeri Belanda. Reorganisasi sekolah guru di Bukittinggi itu baru dirancang pada tahun 1873, yang kelak dikenal sebagai Sekolah Raja.
Pada bulan April 1874 Willem Iskander bersama Banas Lubis, Ardi Sasmita dan Raden Mas Surono betolak dari Tanjung Priok ke Negeri Belanda dengan kapal Prins van Oranje.
Mereka tiba di Bandar Amsterdam pada tanggal 30 Mei 1874. Sejak hari itu sampai dengan bulan Desember 1874, Willem Iskander tinggal bersama mereka di bekas pemondokan Willem Iskander, 1859-1861, di Prinsengracht 239, Amsterdam. Ini adalah alamat Oefenschool sekaligus tempat tinggal keluarga Dirk Hekker Jr., Direktur Oefenschool tempat Willem Iskander memondok dan belajar dahulu. Kemudian setelah tiga pemuda Mandailing, Sunda dan Jawa itu cukup beradaptasi dengan cuaca, lingkungan, kehidupan sosial dan sekolah, maka Willem Iskander pun pindah ke tempat lain yang tidak jauh dari pemondokan mereka.
Proyek ini gagal. Tiga orang calon guru itu meninggal pada tahun 1875. Banas Lubis dan Ardi Sasmita meninggal di Amsterdam karena kesehatan mereka menurun disebabkan berbagai hal, antara lain rindu tanah air, cuaca buruk, dan masalah lain-lain yang menyebabkan mereka bertiga stres berat. Ketika Raden Mas Surono jatuh sakit, pemerintah mengambil keputusan untuk memulangkannya ke Tanah Air. Ada harapan Raden Mas Surono akan sembuh dalam perjalanan. Tetapi takdir menentukan lain. Raden Mas Surono meninggal dalam pelayaran ke Tanah Air. Nakhoda dan kelasi melarungkan jenazah Raden Mas Surono ke laut.
Kematian tiga pemuda pilihan bangsa itu sangat memukul perasaan Willem Iskander. Cita-citanya yang luhur untuk mencerdaskan bangsa melalui pendidikan, ternyata gagal. Willem Iskander sangat murung. Dalam keadaan berduka itu, Godon memberikan nasihat kepada Willem Iskander untuk menikah. Kehadiran seorang isteri pastilah akan meringankan beban pikiran, karena ada teman berbagi duka.
Willem Iskander menuruti nasihan Godon itu. Willem Iskander pun menikah dengan Maria Christina Jacoba Winter pada tanggal 27 Januari 1876 di Amsterdam. Berita pernikahan ini dibuat oleh Willem Iskander dan Maria Jacoba Christina Winter. Keesokan harinya mereka memasang iklan lagi untuk mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang hadir pada acara pernikahan itu. Ternyata pernikahan ini tidak berumur panjang. Willem Iskander wafat tanggal 8 Mei 1876, kemudian dimakamkan di Zorgvlied Begraafplaats, Amsterdam. Maria Jacoba Christina Iskander-Winter menjanda dengan identitas sebagai Janda Willem Iskander. Sampai usia lanjut ia bekerja di rumah sakit Witte Kruis. Maria wafat 25 April 1920 dalam usia 69 tahun, jasadnya dimakamkan di pekuburan Nieuwe Oosterbegraafplaats, Amsterdam.
Dokumen-dokumen tentang pernikahannya dan kematiannya ada pada saya. Maria memasang iklan tentang kematian Willem Iskander dengan identitas yang sejak pernikahan mereka dipakainya, ialah Maria Christina Jacoba Iskander-Winter.
Sebelum naskah Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk dikirimkan ke Batavia, Willem Iskander sudah yakin akan berangkat ke Negeri Belanda untuk kedua kalinya. Itu sebabnya ia memberi nasihat pada bait 15 dan 16 sajak Mandailing:

Tinggal ma ho jolo ale
Anta piga taon ngada uboto
Muda uida ho mulak muse
Ulang be nian sai maoto

Lao ita marsarak
Marsipaingot dope au dio
Ulang lupa paingot danak
Manjalai bisuk na peto

Terjemahan bebas dalam bahasa Indonesia:

Tinggallah sayang
Entah berapa tahun aku tidak tahu
Jika aku melihat engkau kembali
Janganlah lagi masih bodoh

Ketika kita berpisah
Aku masih berpesan kepadamu
Jangan lupa menasihati anak
Mencari ilmu yang benar

Terjemahan bebas dalam bahasa Inggris, sbb.:

I leave you darling
I do not know for how many years
If I saw you again
Do not still be foolish

When we separated
I was still advising you
Do not forget to advise children
To seek the true knowledge

Para Murid
Saya mencatat di sini nama (sesuai EYD) lulusan Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers Tanobato dengan posisi mereka di dalam masyarakat:
1.Alimuda, Kepala Kampung Tanobato.
2.Jabarani, guru kepala di Panyabungan dan Tanobato.
3.Janatun gelar Jatimor, guru di Tanobato, Muarasoma, Kotanopan dan Gunung Sitoli.
4.Philippus Siregar, guru di Sipirok dan Simapilapil.
5.Si Bajora gelar Sutan Kulipa, guru di Muarasoma.
6.Si Bortung gelar Raja Sojuangon, guru di Kotanopan, kemudian pada bulan Februari 1866 berangkat ke Batavia untuk melanjutkan pelajaran di Sekolah Tenaga Medis.
7.Si Along gelar Jawirusin, guru di Natal.
8.Si Brahim gelar Sutan Mangayang, guru di Panyabungan.
9.Si Godung gelar Ja Pandapotan, guru di Padangsidimpuan.
10.Badukun gelar Sutan Kinali, guru di Sibolga dan Singkil.
11.Alimuda, Kepala Kampung Tanobato.
12.Jabarani, guru kepala di Panyabungan dan Tanobato.
13.Janatun gelar Jatimor, guru di Tanobato, Muarasoma, Kotanopan dan Gunung Sitoli.
14.Philippus Siregar, guru di Sipirok dan Simapilapil.
15.Si Bajora gelar Sutan Kulipa, guru di Muarasoma.
16.Si Bortung gelar Raja Sojuangon, guru di Kotanopan, kemudian pada bulan Februari 1866 berangkat ke Batavia untuk melanjutkan pelajaran di Sekolah Tenaga Medis.
17.Si Along gelar Jawirusin, guru di Natal.
18.Si Brahim gelar Sutan Mangayang, guru di Panyabungan.
19.Si Godung gelar Ja Pandapotan, guru di Padangsidimpuan.
20.Si Badukun gelar Sutan Kinali, guru di Sibolga dan Singkil.
21.Si Pangiring gelar Ja Manghila, guru di Barus.
22.Si Dagar, guru di Panyabungan.
23.Si Gulut, guru di Kotanopan.
24.Si Gumba Arun, guru di Muarasipongi.
25.Si Gurunpade gelar Ja Naguru, guru di Simapilapil.
26.Si Jakin gelar Ja Bolat, guru di Tanobato.
27.Si Manahan gelar Ja Rendo, guru di Sipirok.
28.Si Mangantar gelar Raja Baginda, guru di Hutaimbaru, Sipirok dan Muarasipongi. Ia adalah murid Willem Iskander yang paling cemerlang.
29.Si Pangulu gelar Ja Parlindungan, guru di Sipirok, Kotanopan dan Padangsidimpuan.
30.Si Sampur gelar Raja Laut, guru di Pargarutan dan Batunadua.
31.Simon Petrus, guru di Bunga Bondar.
32.Sutan Galangan, guru di Hutaimbaru.
33.Si Gori gelar Mangaraja Nasution, guru di Tuka, Lumut dan Sibolga.

Ada sebagian murid-murid Willem Iskander yang mengikuti jejaknya sebagai pengarang, penerjemah dan penyadur. Nama-nama mereka (sesuai EYD) dan judul karya mereka adalah, sbb.:
1.Ja Lembang Gunung Doli, Soerat Parsipodaan. – Batavia, 1889.
2.Ja Manambin, Si Djahidin. – Batavia, 1883.
3.Ja Parlindungan, Kitab Pengadjaran. – Batavia, 1883.
4.Ja Sian, Sutan Kulipa dan Ja Rendo, Mandhelingsche rekenboekje voor hoogste klasse. – Batavia, 1868.
5.Mangaraja Gunung Pandapotan, On ma sada parsipodaan toe parbinotoan taporan parsapoeloean. – Batavia, 1885.
6.Mangaraja Gunung Pandapotan, Parsipodaan taringot toe parbinotoan tano on. – Batavia, 1884.
7.Philippus Siregar dan Sutan Kinali, Barita na denggan-denggan basaon ni dakdanak. – Batavia, 1872, 1904.
8.Si Mangantar gelar Raja Baginda, On ma barita tingon binatang-binatang bahatna lima poeloe pitoe. –Batavia, 1868.
9.Philippus Siregar dan Sutan Kinali, Boekoe basaon ni dakdanak di sikola. Boekoe pasadaon. Batavia, 1873.
10.Raja Laut, Barita sipaingot. – Batavia, 1873.
11.Si Pangiring dan Si Mengah, Boekoe basaon ni dakdanak di sikola. Boekoe padoeaon. – Batavia, 1873.
12.Si Saridin, Sada barita ambaen parsipodaan. – Batavia, 1872.
13.Sutan Kulipa, Dalanna anso binoto oemoer ni koedo.
Pemuatan daftar nama murid Willem Iskander yang menjadi guru, kepala kampung dan pengarang ini dimaksudkan untuk memberi kesan betapa Willem Iskander telah berhasil mendidik agen-agen pembaharuan di Tapanuli, termasuk Nias. Daftar nama ini juga merupakan informasi kepada para keturunan mereka yang tersebar di mana-nama, bahwa leluhur mereka itu dahulu adalah murid-murid Willem Iskander yang dididik untuk menjadi pembaharu meneruskan jejak Willem Iskander.
Kweekschool Tanobato ditutup tahun 1874 karena akan dibangun sekolah guru yang lebih baik di Padangsidimpuan yang sekaligus akan menjadi Pusat Studi Batak. Sekolah itu direncanakan akan dipimpin oleh Willem Iskander, 1876, setelah menyelesaikan lanjutan studinya dalam bidang kebudayaan di Negeri Belanda, 1874-1876. Tetapi sayang, Willem Iskander wafat di Amsterdam tanggal 8 Mei 1876. Pembangunan sekolah guru Padangsidimpuan itu pun ditunda sampai tahun 1879. Seperti telah disebutkan terdahulu, Charles Adriaan van Ophuysen ahli bahasa dan sastra Mandailing dan Melayu kelak pernah memimpin sekolah guru ini selama tujuh tahun.
Willem Iskander telah berhasil membawa pencerahan di Tapanuli, khususnya di Tapanuli bagian Selatan (Tabagsel). Dr. H. Kroeskamp menulis: Tapanuli had every right to be proud of its talented teachers’ school master, one of the first who proved that an Indonesian could shoulder the responsibility of running of an important educational institution (Kroeskamp, 1974:233).

Penerus Gerakan Pencerahan Willem Iskander
Sudah barang tentu, banyak orang Tapanuli yang telah mengikuti gerakan pencerahan Willem Iskander baik sebagai pendidik maupun sebagai tokoh pergerakan kebangsaan. Ketika ia wafat, timbul kegemparan luar biasa. Ia menjadi topik pembicaraan dan polemik di surat-surat kabar yang terbit di Batavia, Semarang, Surabaya dan Padang.
Sekedar menyebut dua nama, saya menampilkan Rajiun Harahap gelar Sutan Casayangan Soripada dan Ja Endar Muda Harahap. Keduanya murid Van Ophuysen di Kweekschool Padangsidimpuan.
Pada tahun 1904, Van Ophuysen dikukuhkan sebagai Profesor di Universiteit Leiden. Menarik sekali, seorang muridnya di Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers Padangsidimpuan, Rajiun Harahap gelar Sutan Casayangan Soripada, yang lahir di Batunadua pada tahun 1874, kemudian menjadi asistennya dalam mata kuliah Bahasa Melayu di Universiteit Leiden.
Willem Iskander telah berhasil membawa pencerahan di Tapanuli, khususnya di Tapanuli bagian Selatan (Tabagsel). Dr. H. Kroeskamp menulis: Tapanuli had every right to be proud of its talented teachers’ school master, one of the first who proved that an Indonesian could shoulder the responsibility of running of an important educational institution (Kroeskamp, 1974:233).
Menarik sekali, seorang muridnya di Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers Padangsidimpuan, Rajiun Harahap gelar Sutan Casayangan Soripada, yang lahir di Batunadua pada tahun 1874, kemudian menjadi asistennya dalam mata kuliah Bahasa Melayu di Universiteit Leiden.
Rajiun Harahap gelar Sutan Casayangan Soripada (baca Kasayangan), adalah penggagas Indische Vereeniging tanggal 25 Oktober 1908 di Leiden. Organisasi ini menjadi cikal bakal Perhimpoenan Indonesia yang menjadi perkumpulan intelektual muda Indonesia yang kelak tampil sebagai pemimpin bangsa Indonesia. Selanjutnya baca BAB XI buku Greget Tuanku Rao.
Seorang lagi murid Van Ophuysen di Kweekschool Padangsidimpuan yang berkiprah di tingkat nasional yang mengawali kariernya sebagai guru di Air Bangis, Batahan dan Singkil, kemudian menjadi raja surat kabar Sumatera, ialah Ja Endar Muda Harahap, yang mendirikan surat kabar di Sumatera Barat, Sibolga, Medan dan Aceh. Ja Endar Muda berpendapat, bahwa ruang lingkup gerakan pencerdasan bangsa lebih luas melalui surat kabar, karena surat kabar dapat menembus ruang dan waktu. Selanjutnya baca buku saya Greget Tuanku Rao halaman 258 s.d. 261.

Itulah sekedar contoh, dua orang yang telah menjadi penerus gerakan pencerahan Willem Iskander.

Karya Willem Iskander
Willem Iskander bukan hanya seorang guru sekolah guru, tetapi ia juga seorang pengarang, penerjemah dan penyadur. Ia telah menghasilkan sejumlah karya, antara lain.
1. Si Hendrik na Denggan Roa
Buku ini merupakan terjemahan dari De Brave Hendrik, buku bacaan anak-anak yang paling popular di Belanda pada masa itu. Terjemahan ini diterbitkan di Padang pada tahun 1865. Isi buku tentang etika untuk anak-anak dalam pergaulan sehari-hari.
2. Barita na marragam
Bacaan anak-anak tentang budi pekerti, merupakan saduran dari karya J.R.P.F. Gongrijp, diterbitkan di Batavia pada tahun 1868 dalam bahasa Mandailing aksara Latin.
3. Buku basaon
Buku bacaan anak-anak terjemahan dalam bahasa Mandailing dari karya W.C. Thurn. Batavia, 1871 cetak ulang 1884.
4. Si Boeloes Boeloes Si Roemboek-Roemboek: Boekoe Basaon
Naskah Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk sudah sampai di Batavia pada tahun 1870. Pemerintah pusat mengeluarkan beslit (besluit), surat keputusan, nomor 27 bertarikh 23 Februari 1871 tentang penerbitan buku ini yang menetapkan tiras buku ini 3.015 dan sebanyak 50 eksemplar di antaranya harus disimpan di lembaga-lembaga dan perpustakaan. Pada tahun 1872 kumpulan prosa dan puisi ini diterbitkan di Batavia oleh ‘s Landsdrukkerij (Percetakan Negara) pada tahun 1872.
Buku ini dicetak ulang di Batavia pada tahun 1903, 1906, dan 1915. Kemudian sesudah merdeka diterbitkan kembali oleh beberapa penerbit, antara lain oleh Penerbit dan Percetakan Saksama di Jakarta tahun 1954 atas anjuran Bagian Bahasa Djawatan Kebudajaan Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan, P.T. Campusiana di Jakarta, Puisi Indonesia di Jakarta, Casso di Medan, Pustaka Timur dan Toko Buku Islamijah di Padangsidimpuan.
Pada tahun 1975 saya menemukan edisi pertama, 1872, setelah 103 tahun disimpan di dalam koleksi perpustakaan kantor saya Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV) di Leiden. Edisi sesudahnya mengalami perubahan. Ada kata-kata yang diubah oleh redaksi atau penerbit dari dialek Mandailing menjadi dialek ASPAL. Saya tidak setuju perubahan itu. Itu sebabnya saya menerjemahkan edisi pertama 1872 yang masih asli dari Willem Iskander.
Penerbit P.T. Campusiana, yang saya dirikan tahun 1976, pertama kali menerbitkan edisi dua bahasa, Mandailing dan Indonesia. Saya sudah tiga kali mengusahakan penerbitan edisi dua bahasa ini, ialah yang diterbitkan oleh P.T. Campusiana 1976, P.T. Puisi Indonesia 1987 dan Sanggar Willem Iskander 2002.
Saya biasa menjadi ghost writer untuk karangan yang ditandatangani oleh orang lain. Contohnya dua Kata Sambutan di dalam edisi dua bahasa Si Bulus-Bulus Si Rumbuk, ialah Kata Sambutan yang ditandatangani oleh Buyung Siregar untuk edisi dua bahasa terbitan tahun 1976, dan Kata Sambutan yang ditandatangani oleh Mayjed. TNI R.I. Siregar untuk edisi dua bahasa terbitan tahun 1987. Sedangkan edisi dua bahasa terbitan tahun 2002 tanpa Kata Sambutan. Saya menulis Kata Pengantar untuk semua edisi dua bahasa itu yang isinya merupakan cuplikan hasil penelitian saya tentang biografi dan karya Willem Iskander. Isi tiga Kata Pengantar itu berbeda sesuai dengan hasil-hasil penelitian mutakhir pada saat buku itu diterbitkan.
Buku ini merupakan karya klasik yang bernilai tinggi. Isinya menjadi perbendaharaan nasihat orang tua, bahkan masuk dalam perbendaharaan nilai-nilai luhur budaya Madina dan Angkola, Sipirok, Padang Lawas (ASPAL). Buku ini merupakan sumber inspirasi bagi kemajuan orang Tapanuli, khususnya Madina dan ASPAL, sejak pertama kali terbit tahun 1872.

Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk pernah dilarang beredar pada tahun 1933 menyusul penangkapan tiga orang pejuang kebangsaan, Buyung Siregar, Muhiddin Nasution, dan Abul Kosim. Mereka bertiga ditahan dua tahun di Tarutung, kemudian dibuang ke Digul selama 9 tahun, 1935-1944. Sedangkan Kamaludin Nasution hijrah ke Semenanjung Malaya untuk menghindari penangkapan polisi kolonial.
Pelarangan buku Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk hanya berlangsung beberapa tahun. Aktivitas pergerakan kebangsaan di Mandailing menjadi lemah setelah penangkapan Buyung Siregar, Muhiddin Nasution dan Abul Kosim, dan kepergian Kamaluddin Nasution ke Semenanjung.
Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk kembali beredar di masyarakat. Bahkan kemudian menjadi buku bacaan wajib di sekolah-sekolah. Murid-murid dianjurkan menghafal sebanyak mungkin isi Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk. Siapa yang berhasil menghafal semua sajak Willem Iskander, kepadanya diberikan hadiah yang sangat berharga, ialah foto asli Willem Iskander. Foto Willem Iskander dicetak di dalam lingkaran oval dengan tulisan di bagian bawahnya t. W. Iskander. Foto ini dicetak menjadi post card. Bagian belakang atas foto itu tercantum tulisan dalam bahasa Prancis Carte Postale, artinya Post Card, Kartu Pos.
Bagian kiri ada kolom berita, bagian kiri bawah ada kolom alamat pengirim, pojok kanan atas ada tanda tempat menempelkan perangko, dan bagian bawah kanan ada kolom alamat tujuan. Bagian kiri dan kanan itu dipisahkan oleh garis vertikal. Itulah kartu pos foto Willem Iskander yang menjadi hadiah utama bagi murid-murid yang berhasil menghafal sajak-sajak Willem Iskander.
Foto Willem Iskander yang saya siarkan sejak tahun 1975 adalah hadiah yang diraih paman saya Koddam Daulae. Ia adalah salah seorang pemenang sayembara deklamasi sajak-sajak Willem Iskander di sekolahnya pertengahan tahun 1930-an. Foto itu merupakan salah satu penemuan dalam rangkaian penelitian Willem Iskander. Saya meminjam foto itu untuk direproduksi di Jakarta. Foto asli dan satu lembar hasil reproduksinya saya kirimkan kepadanya di Sihepeng. Sampai sekarang, foto asli itu dipajang di rumahnya seperti kebiasaan orang memajang foto wisuda anaknya.
Penelusuran tokoh-tokoh pergerakan kebangsaan di Mandailing, Buyung Siregar, Muhiddin Nasution, Abul Kosim dan Kamaluddin Nasution, adalah merupakan bagian dari penelitian Willem Iskander. Pasalnya, para tokoh pergerakan itu adalah penghayat sejati sajak-sajak Willem Iskander. Mereka mampu memetik butir-butir nilai universal dari sajak-sajak Willem Iskander, ialah kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan. Mutiara-mutiara yang terpendam itulah yang mereka angkat dalam rapat-rapat raksasa anti penjajahan di Mandailing.
Dua tokoh yang berhasil saya wawancarai adalah Buyung Siregar di kediamannya di bilangan Tanah Tinggi, Jakarta Pusat, dan Muhiddin Nasution di kediamannya di Ciluar, Bogor. Ketika itu, ia adalah salah seorang anggota DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dari Fraksi Murba.
Sedangkan dua orang lagi sudah wafat ketika penelitian ini dimulai, ialah Abul Kosim meninggal di Yogyakarta karena penyakit kolera pada tahun 1947, dan Kamaluddin Nasution yang kemudian terkenal sebagai wartawan senior Malaysia, sepuluh tahun sebagai penulis Tajuk Rencana Utusan Melayu, 1961-1971, dengan nama Abdurrahman Rahim, juga telah meninggal di Kuala Lumpur pada bulan Januari 1971.
Walaupun demikian, saya terus mencari jejak Kamaluddin Nasution di Kuala Lumpur pada bulan Juni 1978. Saya menemui sahabat seperjuangannya, Ishak bin Haji Muhammad di Utusan Melayu, Kuala Lumpur. Ishak bin Haji Muhammad yang lebih dikenal dengan nama Pak Sakoh adalah seorang politikus, sastrawan dan budayawan yang pernah mengasuh acara pembinaan Bahasa Melayu di televisi Malaysia.
Pak Sakoh, membantu saya memperoleh sejumlah dokumen tentang Abdurrahman Rahim dalam arsip Utusan Melayu di Kuala Lumpur, termasuk telegram Jenderal A.H. Nasution yang berisi berita turut berduka cita atas wafatnya Abdurrahman Rahim, dan sebuah buku karya Abdurrahman Rahim bertajuk Jatoh-nya Sa-orang Presiden ialah tentang impeachment Presiden Sukarno. Saya juga berhasil mewawancarai anak-anak Abdurrahman Rahim di bilangan Datuk Keramat, Kuala Lumpur. Patut disebutkan, bahwa Muhiddin Nasution dan Kamaluddin Nasution adalah kerabat dekat Jenderal A.H. Nasution, termasuk Laksamana Mohammad Zain Salleh, mantan Panglima Angkatan Laut Diraja Malaysia, dan Dubes Kerajaan Malaysia di Australia.
Kamaluddin Nasution selain menjadi koresponden Pewarta Deli yang terbit di Medan, meneruskan kegiatannya dalam pergerakan politik di Semenanjung. Ia mendirikan Angkatan Pemuda Insyaf (API) ialah organisasi pemuda Islam militan untuk menentang penjajahan Inggris di Semenanjung.
Kelak Abdurrahman Rahim hadir di Departemen Luar Negeri di Pejambon, Jakarta Pusat ketika penandatanganan rujuk Indonesia Malaysia mengakhiri Konfrontasi Indonesia Malaysia yang ditandatangani Adam Malik dari pihak Indonesia dan Tun Abul Razak dari pihak Malaysia, 1966. Tampak dua orang Mandailing pada foto dokumen peristiwa bersejarah itu, ialah Adam Malik dan Abdurrahman Rahim yang berasal dari satu kampung, Hutapungkut di Mandailing.
Pelarangan Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk pada tahun 1933 itu disebabkan tokoh-tokoh pergerakan itu menjadikan sajak-sajak Willem Iskander, sebagai bahan pidato pada rapat-rapat umum anti penjajahan di Mandailing. Sajak tanah air berjudul Mandailing membuat panas telinga polisi kolonial ketika itu. Bait 12 sajak ini berbunyi:

Adong alak ruar
Na mian di Panyabungan
Tibu ia aruar
Baon ia madung busungan

Ada orang luar
Yang berdiam di Panyabungan
Cepat ia keluar
Karena perutnya sudah buncit

Orang luar itu diartikan sebagai penjajah yang berdiam di pusat pemerintahan Mandailing Angkola di Panyabungan. Mereka cepat pergi setelah mengeruk kekayaan Mandailing.
Saya beruntung pernah mewawancarai salah seorang anggota Politieke Inlichtingen Dienst (PID) yang sering dijuluki orang sebagai polisi rahasia kolonial, yang terlibat dalam penangkapan tiga orang pejuang kebangsaan itu. Benar, mantan polisi rahasia itu mengaku, bahwa sajak-sajak Willem Iskander membuat resah pemerintah kolonial. Saya juga menemukan dokumen di dalam arsip PID yang menamakan orang-orang Partai Indonesia (Partindo) pimpinan Buyung Siregar c.s. sebagai Groep Si Roemboek-Roemboek Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk berisi 12 sajak, satu dialog dan 7 prosa. Untuk menyegarkan ingatan pembaca, saya catat di sini judul karangan tersebut sebagai berikut: Sikola, Ajar ni amangna di anakna na kehe tu sikola, Di danak na mompas godang, Mandailing, Mataniari, Olo-olo, Di amateon ni boruna, Na mananom na mate, Siakkak dohot landuk, Undan dohot ura-ura, Ama ni Marpuli Odong, Marburu di bagasan bilik, Angkana dohot angina, Si Baroar, Na binuat tingon barita ni tuan Colombus, Tiruan ni olong ni roa marangka maranggi, Sada alak pulonta on na mabiar di ahaila, Na dangol muda na so binoto, Amamate ni alak na lidang dan Pidong garudo bosar.
5. Taringot di ragam-ragam ni parbinotoan dohot sinaloan ni alak Eropa
Buku ini diterjemahkan oleh Willem Iskander kemudian diterbitkan di Batavia pada tahun 1873. Isinya tentang teknologi Eropa pada abad XIX. Pengaruh buku ini sangat besar dalam memperluas cakrawala berpikir agar jangan terkurung bagaikan katak di bawah tempurung.
Beberapa uraian yang menarik adalah tentang penerbitan surat kabar, penulisan buku dan pengelolaan perpustakaan. Seluk beluk penerbitan surat kabar antara lain mencakup cara mencari berita, manfaat berita, mencetak dan mendistribusikan surat kabar kepada pelanggan dan pembaca lainnya.
Bagaimana cara menulis buku? Jawabannya ada di dalam buku ini, antara lain diawali dengan penelusuran literatur di perpustakaan, penelitian lapangan dan pengujian data yang ditemukan di lapangan. Cara pengelolaan perpustakaan kecil sebagai sarana pendidikan di luar sekolah juga diuraikan di dalam buku ini.
Buku memaparkan teknologi Eropa tentang perkeretaapian, kapal api, penyaluran air minum dan gas ke rumah-rumah dan industri perkayuan. Selain itu ada uraian tentang astronomi tentaang kejadian tata surya. Tidak kurang menarik adalah peranan bank dalam memajukan kesejahteraan rakyat, misalnya tentang manfaat menabung.
6. Soerat otoeran ni porkaro toe oehoeman di bagasan ni goebernemen ni Topi Pastima ni Soematara
Buku ini adalah terjemahan dalam bahasa dan aksara Mandailing dari buku Reglement tot regeling van het regwezen in het gouvernement Sumatra’s Westkust, diterbitkan di Batavia, 1873, tebalnya 278 halaman. Isi buku ini tentang peraturan perundang-undangan yang mengatur ketertiban dan keadilan di dalam masyarakat yang berlaku di wilayah Pantai Barat Sumatera.
7. Ponggol 1a dohot Va ni Soerat otoeran toe pangotoeran saro oehoem dohot parenta ni oehoeman di Tano Indi Nederland
Buku ini merupakan terjemahan dalam bahasa dan aksara Mandailing dari buku 1ste en Vde Hoofdstuk van het Reglement op de regterlijke organisatie en het beleid der Justitie tentang administrasi peradilan, termasuk personalianya di tiap daerah. Buku ini diterbitkan di Batavia, 1874, tebalnya 115 halaman.
Honorarium penerjemahan dua buku hukum itu sebesar 1.700 gulden diterima oleh Willem Iskander di Amsterdam, pada tahun 1875. Uang sebanyak itu cukup untuk belanja dua tahun. Willem Iskander memiliki banyak uang, karena selain honorarium itu, ia juga menerima gaji yang cukup besar sebagai guru kepala Kweekschool.
  
Para Mentor
Saya menilai Willem Iskander adalah seorang guru yang terlempar jauh ke masa depannya. Karyanya tak pernah usang, karena ia berbicara tentang perjalanan hidup lahir batin manusia yang universal (Harahap, 1996:185-227). Orang bertanya, siapa saja gerangan mentor dan inspirator yang telah menempa Willem Iskander sehingga ia tampil sehebat itu.
Untuk menjawab pertanyaan itu saya catat di bawah ini nama sejumlah orang yang menjadi guru langsung dan guru spiritual Willem Iskander, ialah:
Alexander Philippus Godon (1816-1899) seorang humanis, liberalis, penganut semboyan Revolusi Prancis Liberté, Egalité dan Fraternité, Asisten Residen Mandailing Angkola (1848-1857) yang mengangkat Willem Iskander menjadi guru pada usia 15 tahun dan sekaligus sebagai sekretaris Asisten Residen Mandailing Angkola di Panyabungan. Godon membawa Willem Iskander ke Negeri Belanda pada bulan Februari 1857. Godon menyerahkan pendidikan awal Willem Iskander kepada seorang guru bernama Dapperen di Vreeswijk (1857). Pendidikan ini lebih pada sosialisasi nilai-nilai budaya dan gaya hidup orang Belanda ketika itu, termasuk etika, cara berpakaian, dll. Pendidikan selanjutnya diserahkan kepada Guillaume Groen van Prinsterer di Arnhem (1858). Godon menjadi mentor sejati Willem Iskander sampai akhir hayatnya.
Guillaume Groen van Prinsterer (1801-1876), pemikir besar dalam pendidikan Belanda abad XIX yang menyusun draft Undang-Undang Pendidikan Belanda 1857. Ia penganut warisan pemikiran politik zaman kecerahan, Aufklärung di Jerman.
Semboyan perjuangan Groen adalah semboyan Revolusi Prancis Liberté, Egalité dan Fraternité. Groen seorang liberalis sahabat kental Thorbecke, pejuang hak-hak asasi yang terkenal itu.
Pada usia 22 tahun Groen lulus dengan judisium summa cum laude di Universitas Leiden, untuk dua disertasi sekaligus. Disertasi pertama, hasil studinya di Fakultas Sastra dan Filsafat tentang prosografi, ialah uraian tentang tokoh-tokoh sejarah dan pemikirannya yang hidup di sekitar filsuf Yunani, Plato. Disertasi kedua, hasil studinya di Fakultas Hukum tentang kodifikasi Justinianus.
Jasa paling besar Groen adalah dalam pembenahan arsip Dinasti Oranje berjudul Archives de la maison d’Oranje-Nassau yang jilid pertamanya terbit 1835. Salah satu perjuangannya ialah berusaha keras menyadarkan pemerintahnya untuk membebaskan Indonesia dari belenggu penjajahan.
Karier politiknya sebagai negarawan bermula pada usia 26 tahun ketika Willem I mengangkatnya menjadi anggota kabinet, kemudian sebagai sekretaris kabinet. Setelah empat tahun menduduki jabatan itu, Willem I mengangkatnya menduduki jabatan yang sangat bergengsi, menjadi anggota Raad van State, Dewan Negara, di mana ayahnya Dr. Petrus Jacobus Groen, juga duduk sebagai anggota. Ini merupakan satu-satunya peristiwa dalam sejarah Belanda, seorang ayah dan anaknya menjadi anggota Raad van State.
Dr. Petrus Jacobus Groen, seorang cendekiawan Belanda yang diangkat oleh Willem I menjadi Komisaris Kesehatan Republik Bataaf, 1804, kemudian Inspektur Kesehatan. Dr. Petrus adalah dokter pribadi raja Willem I. Sesudah Belanda merdeka dari Prancis, Dr. Petrus menjadi dokter pribadi raja Lodewijk Napoleon.
Berkat jasa-jasa baik Groen, maka Raja Willem III pada bulan Januari 1859 mengeluarkan beslit pemberian beasiswa kerajaan kepada Willem Iskander untuk meneruskan pendidikan guru di Amsterdam. Seterusnya, setelah melakukan pembicaraan antara Godon, Prof. Millies dan Menteri Urusan Jajahan, J.J. Rochussen, maka ditetapkan pengaturan administrasi pemberian beasiswa itu dengan melibatkan Menteri Urusan Jajahan, J.J. Rochussen, Menteri Keuangan Van Hall dan Prof. Milllies.
Prof. Henricus Christiaan Millies (1810-1868) guru besar filsafat, bahasa dan sastra Timur di Universitas Utrecht yang mengurus biaya hidup dan pendidikan Willem Iskander (1859-1861), dengan cara terlebih dahulu mengeluarkan uang pribadinya yang dapat ditagihnya kembali di kas negara setiap triwulan. Prof. Millies lah yang menggagas pengiriman Herman Neubronner van der Tuuk ke Tanah Batak dan Dr. B.F. Matthes ke Tanah Bugis di Sulawesi Selatan, untuk mempelajari kedua bahasa dan aksara suku bangsa itu.
Sutan Kumala Yang Dipertuan Hutasiantar, raja ulama yang kharismatik primus inter pares raja-raja Mandailing (wafat 1866), keluarga dekat Willem Iskander. Tokoh ini banyak disebut-sebut oleh Multatuli di dalam karya monumentalnya Max Havelaar.
Multatuli (1820- 1887) menjadi inspirator Willem Iskander dalam penulisan sajak dan prosa satiris, dan aforisme, ialah pernyataan yang padat dan ringkas tentang sikap hidup atau kebenaran umum, yang khas dalam karya-karya Multatuli. Multatuli kembali ke Negeri Belanda tahun 1855 dan wafat di desa kecil Nieder-Ingelheim, dekat Wiesbaden, Jerman, tanggal 19 Februari 1887.
Dirk Hekker Jr. (1823-1906) dianggap oleh Willem Iskander sebagai kawan, guru dan orang tua. Dirk Hekker Jr. adalah guru kepala Oefenschool di Amsterdam. Willem Iskander tinggal hidup di dalam keluarga Dirk Hekker Jr. selama 3 tahun, awal 1859 s.d. Juli 1861. Willem Iskander belajar mengelola sekolah guru kepada tokoh pendidikan guru Belanda abad XIX itu.
Mr. J.A. van der Chijs (1831-1905), Inspektur Pendidikan Bumiputera yang menjadi sahabat Willem Iskander dalam pengembangan pendidikan guru bumiputera. Van der Chijs mengunjungi Willem Iskander di Tanobato selama tiga hari bulan Juni 1866. Kekentalan persahabatan mereka dapat dilihat dalam beberapa polemik tentang Willem Iskander yang melibatkan juga Van der Chijs. Ia menulis nama samaran Vriend van Iskander pada akhir tulisan-tulisannya dalam berbagai surat kabar pada tahun 1876.
Joost van den Vondel (1587-1679) penyair Belanda abad XVII sebagai inspirator penulisan karya bertema perjalanan hidup manusia. Van den Vondel adalah penyair legendaris Belanda abad XVII. Sampai kini tak seorang pun penyair Belanda yang menandinginya. Karya-karyanya berupa naskah drama dan puisi sampai kini masih dikenal oleh orang Belanda.
Jacob van Oosterwijk Bruyns (1794-1876) penyair Belanda abad XIX, seorang penyair yang sangat kuat dalam penulisan karya-karya bersifat parodi. Penyair ini adalah inspirator bagi Willem Iskander dalam penulisan prosa dan puisi bersifat parodi, misalnya Marburu di bagasan bilik yang saya terjemahkan menjadi “Berburu di Dalam Bilik” yang gagasannya sama dengan Kamerjacht karya Jacob van Ooterwijk Bruyns.
Jika disimak nama para mentor dan inspirator Willem Iskander, maka layaklah Willem Iskander tampil sebagai orang yang luar biasa dalam sejarah pencerahan bangsa Indonesia.
Adalah tepat penilaian Pramudya Ananta Toer pada catatan kaki bukunya Panggil Aku Kartini Saja, bahwa Willem Iskander adalah satu keajaiban Indonesia abad XIX.
Willem Iskander menerima Piagam Hadiah Seni ad postuum dari Pemerintah Pusat melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Dr. Daoed Joesoef, pada tanggal 15 Agustus 1978. Teks Piagam Hadiah Seni itu menyebutkan bahwa pemberian Piagam Hadiah Seni ini sebagai penghargaan Pemerintah atas jasanya terhadap Negara sebagai sastrawan Mandailing, Sumatera Utara.(http://basyral-hamidy-harahap.com/MH)