"Orang bijak itu harus mampu menjadikan orang menjadi bermartabat,
dan orang bermartabat harus bisa membuat orang menjadi lebih bijak"
(Willem Iskandar).
Baginda Mangaraja Enda, generasi III Dinasti
Nasution, mempunyai tiga orang isteri yang melahirkan raja-raja Mandailing.
Isteri pertama boru Lubis dari Roburan yang melahirkan putera mahkota Sutan
Kumala Sang Yang Dipertuan Hutasiantar. Baginda Mangaraja Enda menobatkan Sutan
Kumala Sang Yang Dipertuan Hutasiantar menjadi raja di Hutasiantar dengan
kedudukan yang sama dengan dirinya.
Isteri kedua, boru Hasibuan dari Lumbanbalian yang
melahirkan empat orang putera yang kelak menjadi raja. Mereka adalah Sutan
Panjalinan raja di Lumbandolok, Mangaraja Lobi raja di Gunung Manaon, Mangaraja
Porkas raja di Manyabar dan Mangaraja Upar atau Mangaraja Sojuangon raja di
Panyabungan Jae.
Isteri ketiga, boru Pulungan dari Hutabargot yang
melahirkan dua orang putera, ialah: Mangaraja Somorong raja di Panyabungan Julu
dan Mangaraja Sian raja di Panyabungan Tonga.
Sutan Kumala Sang Yang Dipertuan Hutasiantar
menobatkan tiga orang puteranya menjadi raja, masing-masing Baginda Soalohon
raja di Pidoli Lombang, Batara Guru raja di Gunungtua, dan Mangaraja Mandailing
raja di Pidoli Dolok.
Penobatan tiga putera Sutan Kumala Sang Yang
Dipertuan Hutasiantar itu dilakukan menyusul pemberontakan yang dilancarkan
raja-raja di tiga daerah tersebut terhadap Baginda Mangaraja Enda. Sutan Kumala
Sang Yang Dipertuan Hutasiantar berhasil memadamkan pemberontakan terhadap
ayahandanya itu. Sementara itu raja-raja yang berontak eksodus bersama sebagian
rakyatnya ke daerah pantai dan pedalaman Pasaman.
Ada tiga tokoh penting dalam generasi XI Dinasti
Nasution. Pertama, Sutan Kumala Yang Dipertuan Hutasiantar, yang biasa
disingkat menjadi Yang Dipertuan. Tokoh ini dikenal sebagai raja ulama yang
namanya banyak disebutkan oleh Multatuli di dalam karyanya Max Havelaar.
Belanda menjulukinya Primaat Mandailing. Yang Dipertuan membantu kompeni
melawan pasukan Paderi. Tokoh inilah yang bekerjasama dengan Asisten Residen
Mandailing Angkola, 1848-1857, Alexander Philippus Godon (1816-1899), merancang
dan membangun mega proyek jalan ekonomi dari Panyabungan ke pelabuhan Natal
sepanjang kl. 90 kilometer.
Kedua, Sutan Muhammad Natal, yang banyak disebut
Multatuli di dalam Max Havelaar dengan nama Tuanku Natal, seorang raja Natal
yang muda dan cerdas, sahabat karib Multuli ketika menjabat Kontrolir Natal
(1842-1843).
Ketiga, Sati gelar Sutan Iskandar ialah tokoh kita,
Willem Iskander, yang lahir di Pidoli Lombang pada bulan Maret 1840.
Tuanku Natal dan Willem Iskander adalah cucu
langsung dari Sutan Kumala Porang, raja Pidoli Lombang.
Pada usia 13 tahun, 1853, Sati masuk sekolah rendah
dua tahun yang didirikan Godon di Panyabungan. Begitu lulus, 1855, Sati
diangkat menjadi guru di sekolahnya. Barangkali Willem Iskander lah guru formal
termuda, 15 tahun, dalam sejarah pendidikan Indonesia.
Pada saat yang sama ia juga diangkat oleh Godon
menjadi juru tulis bumiputera (adjunct inlandsch schrijfer) di kantor Asisten
Residen Mandailing Angkola di Panyabungan. Jabatan guru dan juru tulis itu
dijabatnya dua tahun, menggantikan Haji Nawawi yang berasal dari Natal, sampai
menjelang keberangkatannya ke Negeri Belanda bersama Godon, Februari 1857.
Salah satu penemuan saya tentang riwayat hidup
Willem Iskander adalah Acte van bekenheid, ialah Surat Kenal sebagai pengganti
Akte Kelahiran. Dokumen inilah antara lain yang saya pamerkan pada acara
peringatan 100 tahun wafatnya Willem Iskander tanggal 8 Mei 1976 di Geliga
Restaurant, Jln. Wahid Hasyim 77C, Jakarta Pusat.
Sejak itu masyarakat mengetahui tarikh kelahiran
Willem Iskander, ialah pada bulan Maret 1840 di Pidoli Lombang, Mandailing
Godang. Ibunya Si Anggur boru Lubis dari Rao-rao dan ayahnya Raja Tinating,
Raja Pidoli Lombang.
Akte ini dibuat oleh sejumlah orang yang memberikan
kesaksian tentang kelahiran Willem Iskander, ialah Arnoldus Johannes Pluggers
amtenar di Onderafdeeling Groot Mandailing en Batang Natal, Johannes Hendrik
Kloesman berusia 50 tahun amtenar yang berdiam di Tanobato, dan Philippus
Brandon usia 40 tahun amtenar yang berdiam di Muarasoma. Akte bertanggal 28
Februari tahun 1874 ini ditandatangani oleh tiga amtenar tersebut, kemudian
dilegalisasi oleh Residen Tapanuli, H.D. Canne, di Sibolga. Seterusnya akte ini
dilegalisasi lagi oleh Sekretaris Ministerie van Kolonien, Henney, di Den Haag
pada tanggal 7 Juni tahun 1876.
Nama Sati Nasution gelar Sutan Iskandar adalah nama
yang dicantumkan di dalam teks Acte van Bekenheid. Nama Willem Iskander
diberikan kepadanya ketika dia masuk Kristen di Arnhem pada tahun 1858, setahun
sebelum ia belajar di Oefenschool di Amsterdam.
Seterusnya, nama Willem Iskander dipakainya di
dalam karyanya, surat-surat, beslit, piagam, surat nikah dll. Jadi adalah salah
kalau orang menulis namanya menjadi Willem Iskandar, yang benar adalah Willem
Iskander.
Bias-bias Tentang Willem Iskander
Kekeliruan informasi tentang Willem Iskander selama
ini terdapat di dalam berbagai tulisan yang terbit di Indonesia, antara lain
seperti yang ditulis oleh Mangaraja Onggang Parlindungan di dalam bukunya
Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao: Terror Agama Islam Mazhab
Hambali di Tanah Batak 1816-1833. Saya temukan juga kesalahan di dalam buku
Pusaka Indonesia yang disusun oleh Tamar Djaja. Penulis ini menyebutkan, bahwa
pujangga Muhammad Kasim adalah murid langsung Willem Iskander. Bagaimana mungkin?
Muhammad Kasim lahir di Muarasipongi pada tahun 1886, sepuluh tahun setelah
Willem Iskander wafat di Amsterdam 8 Mei 1876.
Lebih seru lagi tulisan Bismar Siregar yang dimuat
oleh Harian Sinar Harapan edisi 31 Mei 1986. Tulisan bertajuk Sekedar Catatan Soal
“Si Bulus-bulus Si Rumbuk-rumbuk” sebagai reaksi terhadap tiga tulisan
bersambung Dr. Daoed Joesoef gelar Iskandar Muda Nasution tentang tiga hal
ialah: Willem Iskander, Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk dan tentang aktivitas
saya meneliti Willem Iskander. Tulisan Dr. Daoed Joesoef gelar Iskandar Muda
Nasution yang dikomentari Bismar Siregar itu dimuat Harian Sinar Harapan dua
minggu sebelumnya.
Gelar Iskandar Muda Nasution itu ditabalkan oleh
raja-raja adat Mandailing kepada Dr. Daoed Joesoef selaku Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan yang sedang mengunjungi Tanobato di Mandailing pada tahun 1981.
Maksud kunjungannya adalah untuk melihat lokasi Kweekschool voor Inlandsche
Onderwijzers yang didirikan oleh Willem Iskander pada tahun 1862.
Dr. Daoed Joesoef tiga kali mengunjungi lokasi ini:
Pertama, melihat bekas pertapakan sekolah guru itu pada tahun 1981. Kedua,
meletakkan batu pertama pembangunan SMA Negeri Willem Iskander di lokasi itu
pada tahun 1982. Ketiga, meresmikan SMA Negeri Willem Iskander itu pada tahun
1983. Saya hadir pada tiga kali kunjungan itu sebagai rombongan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan. Kami berdua adalah pengagum berat Willem Iskander.
Barangkali itu sebabnya saya selalu diajak oleh Dr. Daoed Joesoef selaku
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ikut dalam rombongannya, atas biaya negara
dengan SK Staf Ahli Menteri.
Sepanjang yang saya ketahui, belum ada desa
terpencil di pedalaman yang sampai tiga kali dikunjungi oleh Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan sepanjang sejarah Negara Republik Indonesia, kecuali yang
dilakukan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Dr. Daoed Joesoef, di Tano
Bato. Ini benar-benar kunjungan yang spektakuler.
Tiga artikel Dr. Doed Joesoef itu adalah: Pertama,
"Si Bulus-bulus Si Rumbuk-rumbuk (I): Ditemukan Sebuah Buku Tua"
dimuat oleh Harian Sinar Harapan 14 Mei 1986. Kedua, "Si Bulus-bulus Si
Rumbuk-rumbuk (II): O, Mandailing Godang" dimuat oleh Harian Sinar Harapan
15 Mei 1986, dan Ketiga, "Si Bulus-bulus Si Rumbuk-rumbuk (III Habis): Meninggalnya
Orang Jujur" dimuat oleh Harian Sinar Harapan 16 Mei 1986.
Artikel Bismar Siregar itu sudah saya jawab pada
tanggal 6 Juni 1986. Sesuai pesan Samuael Pardede, Redaksi Harian Sinar
Harapan, agar saya menulis setuntas mungkin di bawah tajuk "Catatan Atas
Bismar Siregar: Mayat Willem Iskander Tertembus Peluru." Orang bertanya,
apa gerangan isi artikel Bismar Siregar yang bertajuk Sekedar Catatan Soal “Si
Bulus-bulus Si Rumbuk-rumbuk” itu? Jawabannya ada pada buku saya Greget Tuanku
Rao yang diterbitkan oleh Penerbit Komunitas Bambu di Depok, bulan September
2007 yang lalu.
Ada lagi tulisan orang lain yang menyebutkan, bahwa
Charles Adriaan van Ophuysen, ahli bahasa Melayu dan Mandailing yang terkenal
namanya melalui nama Ejaan Van Ophuysen, adalah guru Willem Iskander. Bagaimana
mungkin? Charles Adriaan van Ophuysen itu lahir di Solok tahun 1854. Ia masih
balita ketika Willem Iskander dan Asisten Residen Mandailing Angkola, Alexander
Philippus Godon, meninggalkan Mandailing menuju Negeri Belanda pada bulan
Februari 1857.
Ayah Charles Adriaan van Ophuysen, J.A.W. van
Ophuysen adalah seorang amtenar legendaris di Pantai Barat Sumatera. Kariernya
antara lain: Kontrolir Kelas Satu di Afdeeling XIII Kota dan IX Kota, 1852.
Kontrolir Kelas Satu di Natal, Mandailing Natal, 1853, sepuluh tahun setelah
Eduard Douwes Dekker (Multatuli) meninggalkan Natal. Assisten Residen Afdeeling
XIII Kota dan IX Kota, 1855-1856. Asisten Residen Bengkulu, 1858-1861,
merangkap Presiden Residentie-Raad dan Presiden Pangeran Raad.
Kelak Charles Adriaan van Ophuysen, yang ahli
Bahasa Melayu dan Bahasa Mandailing itu, selama delapan tahun menjadi guru di
Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers di Padangsidimpuan, 1882-1890. Bahkan
ia menjadi direktur sekolah guru yang didirikan tahun 1879 itu, antara
1885-1890. Pada tanggal 1 Juli 1893 ia diangkat sebagai Inspektur Pendidikan
Bumiputera Pantai Barat Sumatera berkedudukan di Bukittinggi.
Prof. Van Ophuysen wafat di Leiden tanggal 19
Februari 1917, dimakamkan di Begraafplaats Groenesteeg di Leiden dengan nomor
makam 769.
Prof. Van Ophuysen bukan hanya ahli bahasa dan
sastra Melayu dan Mandailing, tetapi ia juga tercatat sebagai kolektor
tumbuhan. Ia memiliki 157 spesimen dengan nama tumbuhan bahasa daerah (1906).
Pengetahuannya yang luas tentang berbagai ragam tumbuhan di Mandailing telah
memantapkan karangannya tentang bahasa daun dalam Bahasa Mandailing. Ia
menyebutkan bahwa Bahasa Mandailing adalah satu-satunya bahasa di dunia yang
memiliki bahasa daun.
Jadi sudah pasti Charles Adriaan van Ophuysen tak
pernah bertemu dengan Willem Iskander, apatah lagi sebagai guru bagi Willem
Iskander. Yang benar adalah, ada murid Willem Iskander yang sejawat Charles
Adriaan van Ophuysen sebagai sesama guru di Kweekschool voor Inlandsche
Onderwijzers Padangsidimpuan, seperti Pangulu Lubis yang dikenal juga sebagai
Guru Batak.
Menapak Karier
Setelah Willem Iskander memperoleh ijazah guru
bantu dari Oefenschool pimpinan D. Hekker Jr. di Amsterdam, ia bertolak dari
Bandar Amsterdam dengan kapal Petronella Catarina pada tanggal 2 Juli 1861.
Setibanya di Batavia pada bulan Desember 1861, Willem Iskander menghadap
Gubernur Jenderal, Mr. Ludolf Anne Jan Wilt Baron Sloet van den Beele.
Willem Iskander mengutarakan maksudnya mendirikan
sekolah guru di Mandailing, dan memohon bantuan Gubernur Jenderal agar
cita-citanya itu terlaksana. Gubernur Jenderal Gubernur Pantai Barat Sumatera
ketika itu, Van den Bosche, agar membantu Willem Iskander. Acara pertama Willem
Iskander ketika tiba di Padang, adalah menghadap Van den Bosche untuk
menyerahkan surat Gubernur Jenderal, sekaligus melaporkan dialognya dengan
Gubernur Jenderal di Batavia.
Dalam perjalanan kembali ke Mandailing melalui
pelabuhan Natal, Willem Iskander berlayar bersama Asisten Residen Mandailing
Angkola ketika itu, Jellinghaus, yang sedang berada di Padang. Mereka singgah
dua hari di rumah kerabat Willem Iskander, Tuanku Natal. Setelah Willem
Iskander tiba kembali di Mandailing pada awal 1862, ia melakukan persiapan
pendirian sekolah guru di Mandailing. Tempat yang ia pilih adalah Tanobato, 526
meter di atas permukaan laut, desa yang ketika itu berhawa sejuk rata-rata
22°C, berada di pinggir jalan ekonomi ke pelabuhan Natal. Bangunan sekolah pun
didirikan bersama masyarakat setempat. Bangunan empat ruangan, ialah tiga ruang
kelas, satu tempat tinggal Willem Iskander. Bahan bangunan itu terbuat dari
kayu, bambu dan atap daun rumbia. Ada dua bangunan lagi di sebelah gedung
sekolah ini, ialah Gudang Kopi (Pakhuis) dan Pasanggrahan.
Dalam usia 22 tahun, Willem Iskander melakukan
terobosan besar gerakan pencerahan (Aufklärung) melalui pendidikan di Mandailing
Angkola, khususnya di Mandailing. Orientasi, cakrawala, penalaran, idealisme,
kearifan, dan semangat pembaharuan telah membekali Willem Iskander untuk
melakukan gerakan pencerahan di Tapanuli.
Semboyan revolusi Prancis: Liberté, Egalité, dan Fraternité
(Kebebasan, Persamaan, dan Persaudaraan) telah merasuk benar ke dalam jiwanya.
Willem Iskander menyaksikan bagaimana semboyan kemanusiaan yang universal itu
disosialisasikan dan diamalkan oleh Godon, atasan dan mentornya yang berdarah
Prancis itu.
Willem Iskander menerima beslit bertanggal 5 Maret
1862, yang mengizinkannya mendirikan Kweekschool di Mandailing. Beslit kedua
bertarikh 24 Oktober 1862 yang menetapkannya sebagai guru pada Kweekschool
Tanobato.
Perjuangannya sangat berat. Sedikit sekali orang
yang mau menyekolahkan anaknya di sekolah guru itu. Kesulitan itu dapat
diatasinya dengan (habisukon) kearifan, ketekunan, kesabaran dan kegigihannya
terus menerus mensosialisasikan gagasan pembaharuannya dari rumah ke rumah.
Maka kelangkaan murid itu pun dapat diatasinya. Lagi pula, masyarakat
mengetahui bahwa Yang Dipertuan sangat mendukung gerakan pembaharuan melalui
pendidikan yang dilakukan oleh Willem Iskander. Dengan demikian ia berhasil
menempatkan sekolah guru ini sebagai tumpuan harapan kemajuan masa depan.
Baru satu tahun usia Kweekschool Tanobato, pada
bulan September 1863, Gubernur Van den Bosche datang dari Padang melakukan
inspeksi ke sekolah ini. Gubernur Pantai Barat Sumatera ini melaporkan
kunjungannya kepada Gubernur Jenderal dalam suratnya tanggal 13 September 1863.
Ia menyatakan kekagumannya terhadap kepiawaian Willem Iskander. Kesannya ia
tulis dengan kata-kata zeer ontwikkeld, hoogst ijverig, artinya sangat cerdik,
terpelajar, dan sangat rajin dan tekun.
Gubernur Van den Bosche mengusulkan kepada Gubernur
Jenderal di Batavia supaya dibangun satu Kweekschool saja di Padang untuk
wilayah Pantai Barat Sumatera, yang akan dipimpin oleh Willem Iskander. Ia
yakin Willem Iskander mampu memimpin sekolah itu, karena Willem Iskander fasih
berbahasa Melayu dan Belanda. Jika usul ini disetujui, maka Kweekschool Fort de
Kock (Bukittinggi) yang didirikan 1856 dan Kweekschool Tanobato yang didirikan
1862 harus ditutup. Gubernur Jenderal membahas usul ini dalam sidang Raad van
Indië, Dewan Hindia. Ternyata usul Van den Bosch itu ditolak oleh Raad van
Indië.
Empat tahun setelah Willem Iskander mendirikan
Kweekschool Tanobato, Mr. J.A. van der Chijs, Inspektur Pendidikan Bumiputera,
datang dari Batavia ke Tanobato selama tiga hari pada bulan Juni 1866. Kedua
tokoh pendidikan itu mendiskusikan cara-cara terbaik yang harus ditempuh untuk
memajukan pendidikan bumiputera. Willem Iskander menyampaikan beberapa gagasan
kepada Van der Chijs, di antaranya agar pemerintah mendidik guru sebanyak-banyaknya
dengan cara memberikan beasiswa kepada murid-murid untuk mendapat pendidikan
keguruan di Negeri Belanda. Sebagai langkah pertama ia mengusulkan agar
beasiswa itu diberikan kepada 8 orang, masing-masing dua orang dari Mandailing,
Jawa, Sunda dan Manado.
Selama di Tanobato Van der Chijs menyaksikan
penyelenggaraan pendidikan di sekolah guru ini. Ia mengagumi kebolehan Willem
Iskander mengajarkan konsep-konsep ilmu pengetahuan dalam bahasa Mandailing dan
bahasa Melayu. Van der Chijs juga mengagumi kemampuan berbahasa Belanda para
murid Willem Iskander. Van der Chjis menyaksikan Willem Iskander mengajarkan
dasar-dasar fisika dalam bahasa Mandailing dengan metode sendiri, memakai alat
peraga lokal yang dikenal baik oleh murid-muridnya.
Van der Chijs menulis di dalam laporan tahunan
pendidikan bumiputera tentang kekagumannya terhadap tiga kemampuan murid-murid
Willem Iskander, ialah dalam bidang matematika, bahasa Melayu dan bahasa
Belanda. Van der Chijs menyaksikan mereka membuat esai dan surat menyurat dalam
dua bahasa itu.
Willem Iskander bekerja keras memenuhi cita-citanya
mendidik murid-murid agar memiliki kreativitas yang tinggi, agar menjadi
cendekiawan kelak di kemudian hari. Oleh karena itu, ketika ia diangkat menjadi
anggota komisi penerjemahan karya-karya berbahasa Melayu ke dalam bahasa
Mandailing, ia langsung melibatkan murid-muridnya.
Tingginya kualitas murid-murid Willem Iskander
terbukti dengan kesalahan beslit pemberian honorarium kepada Willem Iskander
yang seharusnya diberikan kepada muridnya Si Mangantar gelar Raja Baginda.
Kesalahan itu merepotkan banyak pihak di Batavia, karena perbaikan kesalahan
itu menyangkut begitu banyak tanda tangan. Murid-murid Willem Iskander bukan
saja tersebar di Tapanuli, tetapi juga ke Singkil, Nias dan Sulit Air di
Sumatera Barat.
Willem Iskander sadar, bahwa kemampuan berbahasa
Melayu dan bahasa Belanda, adalah kunci gerbang ilmu pengetahuan ketika itu.
Bahasa Mandailing diajarkan sesuai kaidah-kaidah bahasa. Sedangkan bahasa
Belanda diajarkannya empat kali seminggu. Kemampuan berbahasa itulah yang
mengantarkan para muridnya menjadi pengarang, penerjemah dan penyadur. Willem
Iskander pun bekerja keras meningkatkan wibawa sekolah sebagai pusat kemajuan.
Pertemuan Willem Iskander selama tiga hari dengan
Inspektur Pendidikan Bumiputera, Mr. J.A. van der Chijs di Tanobato telah
membuahkan banyak hasil. Gagasan Willem Iskander agar pemerintah memberikan
beasiswa kepada guru-guru muda untuk belajar di Negeri Belanda, menjadi
pemikiran pemerintah pusat.
Ada peristiwa yang luar biasa ketika Willem
Iskander melaksanakan EBTA pada bulan Juni 1871. Pelaksanaan ujian itu sangat
istimewa, karena dihadiri petinggi pemerintah ketika itu, ialah: Gubernur
Pantai Barat Sumatera, Residen Tapanuli, Asisten Residen Mandailing-Angkola dan
Kontrolir wilayah itu.
Ujian dimulai dengan menyuruh murid-murid menulis
esai, dilanjutkan dengan pertanyaan tentang ilmu alam, lembaga-lembaga
pemerintahan Hindia Belanda. Kemampuan berbahasa Belanda dan bahasa Melayu
diuji dengan cara membaca dan berbicara. Ujian berhitung dilakukan dengan
menjawab soal-soal dengan menulis pada batu tulis dan papan tulis.
Usai melakukan inspeksi itu, Gubernur menyampaikan
kepuasannya kepada Willem Iskander
terhadap kemampuan murid-murid Willem Iskander
berbahasa Belanda. Gubernur mengharapkan agar Willem Iskander lebih
meningkatkan lagi mutu pendidikan di sekolah ini.
Pada kesempatan lain setelah inspeksi itu, Asisten
Residen Mandailing Angkola nengunjungi sekolah ini yang kemudian diikuti oleh
pejabat-pejabat lain. Para pejabat itu berdialog dengan murid-murid sambil
mengajukan berbagai pertanyaan. Para murid memberikan jawaban atau penjelasan
secara memuaskan (Verslag, 1871:56-57).
Sidang Tweede Kamer
Sementara itu, berbagai upaya terus dilakukan oleh
Willem Iskander agar gagasan itu menjadi kenyataan. Ia menulis surat pribadi
kepada seorang anggota parlemen, Tweede Kamer, Willem Adriaan Viruly Verbrugge
(1830-1908), seorang yang menguasai permasalahan pendidikan di Hindia Belanda.
Surat itu dibahas dalam sidang Tweede Kamer pada tanggal 11 November 1869, 138
tahun yang lalu. Sidang ini dihadiri 71 orang termasuk ketua Tweede Kamer, Mr.
Willem Hendrik Dullert (1817-1881) dan Menteri Urusan Jajahan, De Waal.
Beberapa tokoh terkenal lainnya yang sudah menjadi
anggota Tweede Kamer yang hadir dalam sidang itu adalah mantan Gubernur
Jenderal Hindia Belanda Mr. Ludolf Anne Jan Wilt Baron Sloet van den Beele
(1806-1890), Fransen van de Putte, Van der Linden dll.
Viruly Verbrugge menyampaikan perihal surat Willem
Iskander itu kepada para anggota Tweede Kamer. Ia menyebutkan, bahwa surat itu
ditulis dalam bahasa yang sangat sopan dan bijaksana. Viruly Verbrugge juga
menjelaskan bahwa dahulu Willem Iskander pernah mendapat pendidikan di Negeri
Belanda atas biaya Kerajaan. Kemudian, Kerajaan mengangkatnya menjadi guru
kepala di Kweekschool Tanobato di Sumatera.
Berhubung surat Willem Iskander itu adalah surat
pribadi kepadanya, maka ia tidak dapat memperbanyaknya untuk para anggota
Tweede Kamer. Surat itu berisi usul Willem Iskander agar pemerintah memberikan
beasiswa kepada siswa dari Jawa, Sumatera dan Sulawesi untuk mengikuti
pendidikan di Belanda seperti yang dialaminya sendiri. Willem Iskander
menyebutkan, bahwa peranan guru-guru itu sangat besar dalam memajukan
pendidikan bumiputera.
Viruly Verbrugge prihatin terhadap ketidak adilan
kebijakan pemerintah dalam pembiayaan pendidikan di Hindia Belanda. Pemerintah
menyediakan biaya pendidikan bagi 25.000 orang Eropa setara dengan 7 ton emas
per tahun, tetapi hanya setara 3 ton emas bagi 13 juta penduduk Pulau Jawa,
tidak termasuk bumiputera di luar Jawa. Penduduk Pati yang 235.000 jiwa yang
sama dengan jumlah penduduk Amsterdam, hanya 81 orang yang memasuki sekolah.
Demikian juga Sumedang dengan penduduk 200.000 orang, hanya 53 orang yang
menikmati pendidikan. Berdasarkan fakta-fakta itu Viruly Verbrugge mengajukan
amandemen terhadap anggaran pendidikan, agar Menteri Urusan Jajahan, De Waal,
menambah anggaran pendidikan untuk bumiputera Hindia Belanda. Dalam hal ini
Viruly Verbrugge juga menyinggung peningkatan anggaran pembangunan Kweekschool
Tanobato.
Usul amandemen Viruly Verbrugge dan anggota Moens
itu, didukung anggota Tweede Kamer Jonckbloet, Bots, van Blom, Fransen van de
Putte, Stieltjes, dan Fokker.
Menarik sekali, Mr. Ludolf Anne Jan Wilt Baron
Sloet van den Beele yang pada bulan Desember 1861 ditemui Willem Iskander di
Batavia ketika menjabat Gubernur Jenderal, hadir dalam sidang ini sebagai
anggota Tweede Kamer. Ia turut memberi tanggapan terhadap pidato Viruly
Verbrugge tentang situasi pendidikan di Hindia
Belanda ketika itu. Mantan Gubernur Jenderal itu juga menceritakan bahwa ia
mengetahui benar telah lama ada sekolah-sekolah desa yang dikelola oleh
masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran membaca (veele
kampongs en dessa’s kleine scholen bestaan om de inlanders te ontwikkelen en te
leeren lezen).
Ini bukan pertama kali Willem Iskander dibicarakan
di dalam sidang-sidang Tweede Kamer. Sembilan tahun sebelumnya, pada sidang
ke-6 tanggal 25 Sepetember 1860, Willem Iskander dan Multatuli menjadi bahan
pembicaraan yang hangat sekali. Hadir dalam sidang itu Duymaer van Twist mantan
Gubernur Jenderal yang memecat Eduard Douwes Dekker dari jabatan Asisten
Residen Lebak. Ada 65 orang yang hadir di dalam sidang ini, 62 anggota, ketua
Tweede Kamer, Reenen dan dua menteri, Menteri Urusan Jajahan J.J. Rochussen dan
Menteri Keuangan Van Hall. Tokoh terkenal lainnya yang hadir adalah Thorbecke,
Elout van Soeterwoude dan Van Hoëvell. Anggota parlemen membahas dampak
terbitnya buku Max Havelaar karya Multatuli yang sangat mengguncangkan dan
mempermalukan pemerintah kerajaan Belanda ketika itu.
Sedangkan pembahasan tentang Willem Iskander adalah
seputar beasiswa yang diberikan oleh kerajaan melalui Menteri Urusan Jajahan,
J.J. Rochussen.
Gagasan pembaharuan pendidikan guru bumiputera yang
disampaikan oleh Willem Iskander kepada Van der Chijs di Tanobato, 1866, dan
pembahasan suratnya di Tweede Kamer, November 1869, telah membuahkan hasil.
Van der Chjis membuat rencana jangka panjang dan
jangka pendek peningkatan mutu pendidikan guru bumiputera. Satu yang penting,
adalah pemberitahuannya kepada Willem Iskander, 1869, bahwa ia ditugaskan
membawa dan membimbing delapan guru muda untuk meneruskan pendidikan di Negeri
Belanda. Delapan guru muda itu masing-masing dua orang dari Manado, Mandailing,
Sunda dan Jawa.
Sementara itu, pada tahun 1871, Van der Chijs
mendekritkan pembaruan sekolah guru bumiputera. Ia membuat sejumlah syarat yang
harus dipenuhi setiap sekolah guru bumiputera. Dekrit itu berkaitan dengan
gagasan-gagasan Willem Iskander. Tiga syarat penting ialah:
1.Sekolah guru harus menjadi pusat kebudayaan dan
ilmu pengetahuan.
2.Guru sekolah guru harus mampu menulis buku
pelajaran.
3.Bahasa daerah harus dikembangkan sesuai
kaidah-kaidah bahasa.
Pada tahun 1873, telah diketahui hanya tiga orang
guru muda yang berangkat ke Negeri Belanda bersama Willem Iskander. Mereka
adalah Banas Lubis murid Willem Iskander di sekolah guru Tanobato, Raden Mas
Surono dari Kweekschool Surakarta, dan Mas Ardi Sasmita guru sekolah rendah di
Majalengka lulusan Kweekschool Bandung.
Ke Belanda Lagi
Mr. J.A. van der Chijs sangat kecewa melihat mutu
pendidikan di Kweekschool Fort de Kock yang sangat rendah, tidak lebih dari
sekolah setingkat sekolah dasar. Sekolah yang didirrikan tahun 1856 ini
dikelola oleh Abdul Latip Sutan Dinegeri, anak bangsawan Kota Gedang, yang
bekerja sebagai pegawai di kantor pemerintah di Bukittinggi. Perbandingan
kualitas pendidikan dan kurikulum Kweekschool Tanobato dan Kweekschool Fort de
Kock pada tahun ajaran 1867 dan 1870 dapat dibaca di dalam buku saya Greget
Tuanku Rao pada halaman 193 s.d. 199.
Mungkin inilah sebabnya, kenapa Willem Iskander
tidak mengusulkan calon dari Minangkabau untuk mendapatkan beasiswa belajar di
sekolah guru di Negeri Belanda. Reorganisasi sekolah guru di Bukittinggi itu
baru dirancang pada tahun 1873, yang kelak dikenal sebagai Sekolah Raja.
Pada bulan April 1874 Willem Iskander bersama Banas
Lubis, Ardi Sasmita dan Raden Mas Surono betolak dari Tanjung Priok ke Negeri
Belanda dengan kapal Prins van Oranje.
Mereka tiba di Bandar Amsterdam pada tanggal 30 Mei
1874. Sejak hari itu sampai dengan bulan Desember 1874, Willem Iskander tinggal
bersama mereka di bekas pemondokan Willem Iskander, 1859-1861, di Prinsengracht
239, Amsterdam. Ini adalah alamat Oefenschool sekaligus tempat tinggal keluarga
Dirk Hekker Jr., Direktur Oefenschool tempat Willem Iskander memondok dan
belajar dahulu. Kemudian setelah tiga pemuda Mandailing, Sunda dan Jawa itu
cukup beradaptasi dengan cuaca, lingkungan, kehidupan sosial dan sekolah, maka
Willem Iskander pun pindah ke tempat lain yang tidak jauh dari pemondokan
mereka.
Proyek ini gagal. Tiga orang calon guru itu
meninggal pada tahun 1875. Banas Lubis dan Ardi Sasmita meninggal di Amsterdam
karena kesehatan mereka menurun disebabkan berbagai hal, antara lain rindu
tanah air, cuaca buruk, dan masalah lain-lain yang menyebabkan mereka bertiga
stres berat. Ketika Raden Mas Surono jatuh sakit, pemerintah mengambil
keputusan untuk memulangkannya ke Tanah Air. Ada harapan Raden Mas Surono akan
sembuh dalam perjalanan. Tetapi takdir menentukan lain. Raden Mas Surono
meninggal dalam pelayaran ke Tanah Air. Nakhoda dan kelasi melarungkan jenazah
Raden Mas Surono ke laut.
Kematian tiga pemuda pilihan bangsa itu sangat
memukul perasaan Willem Iskander. Cita-citanya yang luhur untuk mencerdaskan
bangsa melalui pendidikan, ternyata gagal. Willem Iskander sangat murung. Dalam
keadaan berduka itu, Godon memberikan nasihat kepada Willem Iskander untuk
menikah. Kehadiran seorang isteri pastilah akan meringankan beban pikiran,
karena ada teman berbagi duka.
Willem Iskander menuruti nasihan Godon itu. Willem
Iskander pun menikah dengan Maria Christina Jacoba Winter pada tanggal 27
Januari 1876 di Amsterdam. Berita pernikahan ini dibuat oleh Willem Iskander
dan Maria Jacoba Christina Winter. Keesokan harinya mereka memasang iklan lagi
untuk mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang hadir pada acara
pernikahan itu. Ternyata pernikahan ini tidak berumur panjang. Willem Iskander
wafat tanggal 8 Mei 1876, kemudian dimakamkan di Zorgvlied Begraafplaats,
Amsterdam. Maria Jacoba Christina Iskander-Winter menjanda dengan identitas
sebagai Janda Willem Iskander. Sampai usia lanjut ia bekerja di rumah sakit
Witte Kruis. Maria wafat 25 April 1920 dalam usia 69 tahun, jasadnya dimakamkan
di pekuburan Nieuwe Oosterbegraafplaats, Amsterdam.
Dokumen-dokumen tentang pernikahannya dan
kematiannya ada pada saya. Maria memasang iklan tentang kematian Willem
Iskander dengan identitas yang sejak pernikahan mereka dipakainya, ialah Maria
Christina Jacoba Iskander-Winter.
Sebelum naskah Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk
dikirimkan ke Batavia, Willem Iskander sudah yakin akan berangkat ke Negeri
Belanda untuk kedua kalinya. Itu sebabnya ia memberi nasihat pada bait 15 dan
16 sajak Mandailing:
Tinggal ma ho jolo ale
Anta piga taon ngada uboto
Muda uida ho mulak muse
Ulang be nian sai maoto
Lao ita marsarak
Marsipaingot dope au dio
Ulang lupa paingot danak
Manjalai bisuk na peto
Terjemahan bebas dalam bahasa Indonesia:
Tinggallah sayang
Entah berapa tahun aku tidak tahu
Jika aku melihat engkau kembali
Janganlah lagi masih bodoh
Ketika kita berpisah
Aku masih berpesan kepadamu
Jangan lupa menasihati anak
Mencari ilmu yang benar
Terjemahan bebas dalam bahasa Inggris, sbb.:
I leave you darling
I do not know for how many years
If I saw you again
Do not still be foolish
When we separated
I was still advising you
Do not forget to advise children
To seek the true knowledge
Para Murid
Saya mencatat di sini nama (sesuai EYD) lulusan
Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers Tanobato dengan posisi mereka di dalam
masyarakat:
1.Alimuda, Kepala Kampung Tanobato.
2.Jabarani, guru kepala di Panyabungan dan
Tanobato.
3.Janatun gelar Jatimor, guru di Tanobato,
Muarasoma, Kotanopan dan Gunung Sitoli.
4.Philippus Siregar, guru di Sipirok dan
Simapilapil.
5.Si Bajora gelar Sutan Kulipa, guru di Muarasoma.
6.Si Bortung gelar Raja Sojuangon, guru di
Kotanopan, kemudian pada bulan Februari 1866 berangkat ke Batavia untuk
melanjutkan pelajaran di Sekolah Tenaga Medis.
7.Si Along gelar Jawirusin, guru di Natal.
8.Si Brahim gelar Sutan Mangayang, guru di
Panyabungan.
9.Si Godung gelar Ja Pandapotan, guru di
Padangsidimpuan.
10.Badukun gelar Sutan Kinali, guru di Sibolga dan
Singkil.
11.Alimuda, Kepala Kampung Tanobato.
12.Jabarani, guru kepala di Panyabungan dan
Tanobato.
13.Janatun gelar Jatimor, guru di Tanobato,
Muarasoma, Kotanopan dan Gunung Sitoli.
14.Philippus Siregar, guru di Sipirok dan
Simapilapil.
15.Si Bajora gelar Sutan Kulipa, guru di Muarasoma.
16.Si Bortung gelar Raja Sojuangon, guru di
Kotanopan, kemudian pada bulan Februari 1866 berangkat ke Batavia untuk
melanjutkan pelajaran di Sekolah Tenaga Medis.
17.Si Along gelar Jawirusin, guru di Natal.
18.Si Brahim gelar Sutan Mangayang, guru di
Panyabungan.
19.Si Godung gelar Ja Pandapotan, guru di
Padangsidimpuan.
20.Si Badukun gelar Sutan Kinali, guru di Sibolga
dan Singkil.
21.Si Pangiring gelar Ja Manghila, guru di Barus.
22.Si Dagar, guru di Panyabungan.
23.Si Gulut, guru di Kotanopan.
24.Si Gumba Arun, guru di Muarasipongi.
25.Si Gurunpade gelar Ja Naguru, guru di
Simapilapil.
26.Si Jakin gelar Ja Bolat, guru di Tanobato.
27.Si Manahan gelar Ja Rendo, guru di Sipirok.
28.Si Mangantar gelar Raja Baginda, guru di
Hutaimbaru, Sipirok dan Muarasipongi. Ia adalah murid Willem Iskander yang
paling cemerlang.
29.Si Pangulu gelar Ja Parlindungan, guru di
Sipirok, Kotanopan dan Padangsidimpuan.
30.Si Sampur gelar Raja Laut, guru di Pargarutan
dan Batunadua.
31.Simon Petrus, guru di Bunga Bondar.
32.Sutan Galangan, guru di Hutaimbaru.
33.Si Gori gelar Mangaraja Nasution, guru di Tuka,
Lumut dan Sibolga.
Ada sebagian murid-murid Willem Iskander yang
mengikuti jejaknya sebagai pengarang, penerjemah dan penyadur. Nama-nama mereka
(sesuai EYD) dan judul karya mereka adalah, sbb.:
1.Ja Lembang Gunung Doli, Soerat Parsipodaan. –
Batavia, 1889.
2.Ja Manambin, Si Djahidin. – Batavia, 1883.
3.Ja Parlindungan, Kitab Pengadjaran. – Batavia, 1883.
4.Ja Sian, Sutan Kulipa dan Ja Rendo,
Mandhelingsche rekenboekje voor hoogste klasse. – Batavia, 1868.
5.Mangaraja Gunung Pandapotan, On ma sada
parsipodaan toe parbinotoan taporan parsapoeloean. – Batavia, 1885.
6.Mangaraja Gunung Pandapotan, Parsipodaan taringot
toe parbinotoan tano on. – Batavia, 1884.
7.Philippus Siregar dan Sutan Kinali, Barita na
denggan-denggan basaon ni dakdanak. – Batavia, 1872, 1904.
8.Si Mangantar gelar Raja Baginda, On ma barita
tingon binatang-binatang bahatna lima poeloe pitoe. –Batavia, 1868.
9.Philippus Siregar dan Sutan Kinali, Boekoe basaon
ni dakdanak di sikola. Boekoe pasadaon. Batavia, 1873.
10.Raja Laut, Barita sipaingot. – Batavia, 1873.
11.Si Pangiring dan Si Mengah, Boekoe basaon ni
dakdanak di sikola. Boekoe padoeaon. – Batavia, 1873.
12.Si Saridin, Sada barita ambaen parsipodaan. –
Batavia, 1872.
13.Sutan Kulipa, Dalanna anso binoto oemoer ni
koedo.
Pemuatan daftar nama murid Willem Iskander yang
menjadi guru, kepala kampung dan pengarang ini dimaksudkan untuk memberi kesan
betapa Willem Iskander telah berhasil mendidik agen-agen pembaharuan di
Tapanuli, termasuk Nias. Daftar nama ini juga merupakan informasi kepada para
keturunan mereka yang tersebar di mana-nama, bahwa leluhur mereka itu dahulu
adalah murid-murid Willem Iskander yang dididik untuk menjadi pembaharu
meneruskan jejak Willem Iskander.
Kweekschool Tanobato ditutup tahun 1874 karena akan
dibangun sekolah guru yang lebih baik di Padangsidimpuan yang sekaligus akan
menjadi Pusat Studi Batak. Sekolah itu direncanakan akan dipimpin oleh Willem
Iskander, 1876, setelah menyelesaikan lanjutan studinya dalam bidang kebudayaan
di Negeri Belanda, 1874-1876. Tetapi sayang, Willem Iskander wafat di Amsterdam
tanggal 8 Mei 1876. Pembangunan sekolah guru Padangsidimpuan itu pun ditunda
sampai tahun 1879. Seperti telah disebutkan terdahulu, Charles Adriaan van
Ophuysen ahli bahasa dan sastra Mandailing dan Melayu kelak pernah memimpin
sekolah guru ini selama tujuh tahun.
Willem Iskander telah berhasil membawa pencerahan
di Tapanuli, khususnya di Tapanuli bagian Selatan (Tabagsel). Dr. H. Kroeskamp
menulis: Tapanuli had every right to be proud of its talented teachers’ school
master, one of the first who proved that an Indonesian could shoulder the
responsibility of running of an important educational institution (Kroeskamp,
1974:233).
Penerus Gerakan Pencerahan Willem Iskander
Sudah barang tentu, banyak orang Tapanuli yang
telah mengikuti gerakan pencerahan Willem Iskander baik sebagai pendidik maupun
sebagai tokoh pergerakan kebangsaan. Ketika ia wafat, timbul kegemparan luar
biasa. Ia menjadi topik pembicaraan dan polemik di surat-surat kabar yang terbit
di Batavia, Semarang, Surabaya dan Padang.
Sekedar menyebut dua nama, saya menampilkan Rajiun
Harahap gelar Sutan Casayangan Soripada dan Ja Endar Muda Harahap. Keduanya
murid Van Ophuysen di Kweekschool Padangsidimpuan.
Pada tahun 1904, Van Ophuysen dikukuhkan sebagai
Profesor di Universiteit Leiden. Menarik sekali, seorang muridnya di
Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers Padangsidimpuan, Rajiun Harahap gelar
Sutan Casayangan Soripada, yang lahir di Batunadua pada tahun 1874, kemudian
menjadi asistennya dalam mata kuliah Bahasa Melayu di Universiteit Leiden.
Willem Iskander telah berhasil membawa pencerahan
di Tapanuli, khususnya di Tapanuli bagian Selatan (Tabagsel). Dr. H. Kroeskamp
menulis: Tapanuli had every right to be proud of its talented teachers’ school
master, one of the first who proved that an Indonesian could shoulder the
responsibility of running of an important educational institution (Kroeskamp,
1974:233).
Menarik sekali, seorang muridnya di Kweekschool
voor Inlandsche Onderwijzers Padangsidimpuan, Rajiun Harahap gelar Sutan
Casayangan Soripada, yang lahir di Batunadua pada tahun 1874, kemudian menjadi
asistennya dalam mata kuliah Bahasa Melayu di Universiteit Leiden.
Rajiun Harahap gelar Sutan Casayangan Soripada
(baca Kasayangan), adalah penggagas Indische Vereeniging tanggal 25 Oktober
1908 di Leiden. Organisasi ini menjadi cikal bakal Perhimpoenan Indonesia yang
menjadi perkumpulan intelektual muda Indonesia yang kelak tampil sebagai
pemimpin bangsa Indonesia. Selanjutnya baca BAB XI buku Greget Tuanku Rao.
Seorang lagi murid Van Ophuysen di Kweekschool
Padangsidimpuan yang berkiprah di tingkat nasional yang mengawali kariernya
sebagai guru di Air Bangis, Batahan dan Singkil, kemudian menjadi raja surat
kabar Sumatera, ialah Ja Endar Muda Harahap, yang mendirikan surat kabar di
Sumatera Barat, Sibolga, Medan dan Aceh. Ja Endar Muda berpendapat, bahwa ruang
lingkup gerakan pencerdasan bangsa lebih luas melalui surat kabar, karena surat
kabar dapat menembus ruang dan waktu. Selanjutnya baca buku saya Greget Tuanku
Rao halaman 258 s.d. 261.
Itulah sekedar contoh, dua orang yang telah menjadi
penerus gerakan pencerahan Willem Iskander.
Karya Willem Iskander
Willem Iskander bukan hanya seorang guru sekolah
guru, tetapi ia juga seorang pengarang, penerjemah dan penyadur. Ia telah
menghasilkan sejumlah karya, antara lain.
1. Si Hendrik na Denggan Roa
Buku ini merupakan terjemahan dari De Brave
Hendrik, buku bacaan anak-anak yang paling popular di Belanda pada masa itu.
Terjemahan ini diterbitkan di Padang pada tahun 1865. Isi buku tentang etika
untuk anak-anak dalam pergaulan sehari-hari.
2. Barita na marragam
Bacaan anak-anak tentang budi pekerti, merupakan saduran
dari karya J.R.P.F. Gongrijp, diterbitkan di Batavia pada tahun 1868 dalam
bahasa Mandailing aksara Latin.
3. Buku basaon
Buku bacaan anak-anak terjemahan dalam bahasa
Mandailing dari karya W.C. Thurn. Batavia, 1871 cetak ulang 1884.
4. Si Boeloes Boeloes Si Roemboek-Roemboek: Boekoe
Basaon
Naskah Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk sudah sampai
di Batavia pada tahun 1870. Pemerintah pusat mengeluarkan beslit (besluit),
surat keputusan, nomor 27 bertarikh 23 Februari 1871 tentang penerbitan buku
ini yang menetapkan tiras buku ini 3.015 dan sebanyak 50 eksemplar di antaranya
harus disimpan di lembaga-lembaga dan perpustakaan. Pada tahun 1872 kumpulan
prosa dan puisi ini diterbitkan di Batavia oleh ‘s Landsdrukkerij (Percetakan
Negara) pada tahun 1872.
Buku ini dicetak ulang di Batavia pada tahun 1903,
1906, dan 1915. Kemudian sesudah merdeka diterbitkan kembali oleh beberapa
penerbit, antara lain oleh Penerbit dan Percetakan Saksama di Jakarta tahun
1954 atas anjuran Bagian Bahasa Djawatan Kebudajaan Kementerian Pendidikan,
Pengadjaran dan Kebudajaan, P.T. Campusiana di Jakarta, Puisi Indonesia di
Jakarta, Casso di Medan, Pustaka Timur dan Toko Buku Islamijah di
Padangsidimpuan.
Pada tahun 1975 saya menemukan edisi pertama, 1872,
setelah 103 tahun disimpan di dalam koleksi perpustakaan kantor saya Koninklijk
Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV) di Leiden. Edisi sesudahnya
mengalami perubahan. Ada kata-kata yang diubah oleh redaksi atau penerbit dari
dialek Mandailing menjadi dialek ASPAL. Saya tidak setuju perubahan itu. Itu
sebabnya saya menerjemahkan edisi pertama 1872 yang masih asli dari Willem
Iskander.
Penerbit P.T. Campusiana, yang saya dirikan tahun
1976, pertama kali menerbitkan edisi dua bahasa, Mandailing dan Indonesia. Saya
sudah tiga kali mengusahakan penerbitan edisi dua bahasa ini, ialah yang
diterbitkan oleh P.T. Campusiana 1976, P.T. Puisi Indonesia 1987 dan Sanggar
Willem Iskander 2002.
Saya biasa menjadi ghost writer untuk karangan yang
ditandatangani oleh orang lain. Contohnya dua Kata Sambutan di dalam edisi dua
bahasa Si Bulus-Bulus Si Rumbuk, ialah Kata Sambutan yang ditandatangani oleh
Buyung Siregar untuk edisi dua bahasa terbitan tahun 1976, dan Kata Sambutan
yang ditandatangani oleh Mayjed. TNI R.I. Siregar untuk edisi dua bahasa
terbitan tahun 1987. Sedangkan edisi dua bahasa terbitan tahun 2002 tanpa Kata
Sambutan. Saya menulis Kata Pengantar untuk semua edisi dua bahasa itu yang
isinya merupakan cuplikan hasil penelitian saya tentang biografi dan karya Willem
Iskander. Isi tiga Kata Pengantar itu berbeda sesuai dengan hasil-hasil
penelitian mutakhir pada saat buku itu diterbitkan.
Buku ini merupakan karya klasik yang bernilai
tinggi. Isinya menjadi perbendaharaan nasihat orang tua, bahkan masuk dalam
perbendaharaan nilai-nilai luhur budaya Madina dan Angkola, Sipirok, Padang
Lawas (ASPAL). Buku ini merupakan sumber inspirasi bagi kemajuan orang
Tapanuli, khususnya Madina dan ASPAL, sejak pertama kali terbit tahun 1872.
Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk pernah dilarang
beredar pada tahun 1933 menyusul penangkapan tiga orang pejuang kebangsaan,
Buyung Siregar, Muhiddin Nasution, dan Abul Kosim. Mereka bertiga ditahan dua
tahun di Tarutung, kemudian dibuang ke Digul selama 9 tahun, 1935-1944.
Sedangkan Kamaludin Nasution hijrah ke Semenanjung Malaya untuk menghindari
penangkapan polisi kolonial.
Pelarangan buku Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk
hanya berlangsung beberapa tahun. Aktivitas pergerakan kebangsaan di Mandailing
menjadi lemah setelah penangkapan Buyung Siregar, Muhiddin Nasution dan Abul
Kosim, dan kepergian Kamaluddin Nasution ke Semenanjung.
Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk kembali beredar di
masyarakat. Bahkan kemudian menjadi buku bacaan wajib di sekolah-sekolah.
Murid-murid dianjurkan menghafal sebanyak mungkin isi Si Bulus-Bulus Si
Rumbuk-Rumbuk. Siapa yang berhasil menghafal semua sajak Willem Iskander,
kepadanya diberikan hadiah yang sangat berharga, ialah foto asli Willem
Iskander. Foto Willem Iskander dicetak di dalam lingkaran oval dengan tulisan
di bagian bawahnya t. W. Iskander. Foto ini dicetak menjadi post card. Bagian
belakang atas foto itu tercantum tulisan dalam bahasa Prancis Carte Postale,
artinya Post Card, Kartu Pos.
Bagian kiri ada kolom berita, bagian kiri bawah ada
kolom alamat pengirim, pojok kanan atas ada tanda tempat menempelkan perangko,
dan bagian bawah kanan ada kolom alamat tujuan. Bagian kiri dan kanan itu
dipisahkan oleh garis vertikal. Itulah kartu pos foto Willem Iskander yang
menjadi hadiah utama bagi murid-murid yang berhasil menghafal sajak-sajak
Willem Iskander.
Foto Willem Iskander yang saya siarkan sejak tahun
1975 adalah hadiah yang diraih paman saya Koddam Daulae. Ia adalah salah
seorang pemenang sayembara deklamasi sajak-sajak Willem Iskander di sekolahnya
pertengahan tahun 1930-an. Foto itu merupakan salah satu penemuan dalam
rangkaian penelitian Willem Iskander. Saya meminjam foto itu untuk direproduksi
di Jakarta. Foto asli dan satu lembar hasil reproduksinya saya kirimkan
kepadanya di Sihepeng. Sampai sekarang, foto asli itu dipajang di rumahnya
seperti kebiasaan orang memajang foto wisuda anaknya.
Penelusuran tokoh-tokoh pergerakan kebangsaan di
Mandailing, Buyung Siregar, Muhiddin Nasution, Abul Kosim dan Kamaluddin
Nasution, adalah merupakan bagian dari penelitian Willem Iskander. Pasalnya,
para tokoh pergerakan itu adalah penghayat sejati sajak-sajak Willem Iskander.
Mereka mampu memetik butir-butir nilai universal dari sajak-sajak Willem
Iskander, ialah kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan. Mutiara-mutiara yang
terpendam itulah yang mereka angkat dalam rapat-rapat raksasa anti penjajahan
di Mandailing.
Dua tokoh yang berhasil saya wawancarai adalah
Buyung Siregar di kediamannya di bilangan Tanah Tinggi, Jakarta Pusat, dan
Muhiddin Nasution di kediamannya di Ciluar, Bogor. Ketika itu, ia adalah salah seorang
anggota DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dari Fraksi Murba.
Sedangkan dua orang lagi sudah wafat ketika
penelitian ini dimulai, ialah Abul Kosim meninggal di Yogyakarta karena
penyakit kolera pada tahun 1947, dan Kamaluddin Nasution yang kemudian terkenal
sebagai wartawan senior Malaysia, sepuluh tahun sebagai penulis Tajuk Rencana
Utusan Melayu, 1961-1971, dengan nama Abdurrahman Rahim, juga telah meninggal
di Kuala Lumpur pada bulan Januari 1971.
Walaupun demikian, saya terus mencari jejak Kamaluddin
Nasution di Kuala Lumpur pada bulan Juni 1978. Saya menemui sahabat
seperjuangannya, Ishak bin Haji Muhammad di Utusan Melayu, Kuala Lumpur. Ishak
bin Haji Muhammad yang lebih dikenal dengan nama Pak Sakoh adalah seorang
politikus, sastrawan dan budayawan yang pernah mengasuh acara pembinaan Bahasa
Melayu di televisi Malaysia.
Pak Sakoh, membantu saya memperoleh sejumlah
dokumen tentang Abdurrahman Rahim dalam arsip Utusan Melayu di Kuala Lumpur,
termasuk telegram Jenderal A.H. Nasution yang berisi berita turut berduka cita
atas wafatnya Abdurrahman Rahim, dan sebuah buku karya Abdurrahman Rahim
bertajuk Jatoh-nya Sa-orang Presiden ialah tentang impeachment Presiden
Sukarno. Saya juga berhasil mewawancarai anak-anak Abdurrahman Rahim di
bilangan Datuk Keramat, Kuala Lumpur. Patut disebutkan, bahwa Muhiddin Nasution
dan Kamaluddin Nasution adalah kerabat dekat Jenderal A.H. Nasution, termasuk
Laksamana Mohammad Zain Salleh, mantan Panglima Angkatan Laut Diraja Malaysia,
dan Dubes Kerajaan Malaysia di Australia.
Kamaluddin Nasution selain menjadi koresponden
Pewarta Deli yang terbit di Medan, meneruskan kegiatannya dalam pergerakan
politik di Semenanjung. Ia mendirikan Angkatan Pemuda Insyaf (API) ialah
organisasi pemuda Islam militan untuk menentang penjajahan Inggris di
Semenanjung.
Kelak Abdurrahman Rahim hadir di Departemen Luar
Negeri di Pejambon, Jakarta Pusat ketika penandatanganan rujuk Indonesia
Malaysia mengakhiri Konfrontasi Indonesia Malaysia yang ditandatangani Adam
Malik dari pihak Indonesia dan Tun Abul Razak dari pihak Malaysia, 1966. Tampak
dua orang Mandailing pada foto dokumen peristiwa bersejarah itu, ialah Adam
Malik dan Abdurrahman Rahim yang berasal dari satu kampung, Hutapungkut di
Mandailing.
Pelarangan Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk pada
tahun 1933 itu disebabkan tokoh-tokoh pergerakan itu menjadikan sajak-sajak
Willem Iskander, sebagai bahan pidato pada rapat-rapat umum anti penjajahan di
Mandailing. Sajak tanah air berjudul Mandailing membuat panas telinga polisi
kolonial ketika itu. Bait 12 sajak ini berbunyi:
Adong alak ruar
Na mian di Panyabungan
Tibu ia aruar
Baon ia madung busungan
Ada orang luar
Yang berdiam di Panyabungan
Cepat ia keluar
Karena perutnya sudah buncit
Orang luar itu diartikan sebagai penjajah yang berdiam
di pusat pemerintahan Mandailing Angkola di Panyabungan. Mereka cepat pergi
setelah mengeruk kekayaan Mandailing.
Saya beruntung pernah mewawancarai salah seorang
anggota Politieke Inlichtingen Dienst (PID) yang sering dijuluki orang sebagai
polisi rahasia kolonial, yang terlibat dalam penangkapan tiga orang pejuang
kebangsaan itu. Benar, mantan polisi rahasia itu mengaku, bahwa sajak-sajak
Willem Iskander membuat resah pemerintah kolonial. Saya juga menemukan dokumen
di dalam arsip PID yang menamakan orang-orang Partai Indonesia (Partindo)
pimpinan Buyung Siregar c.s. sebagai Groep Si Roemboek-Roemboek Si Bulus-Bulus
Si Rumbuk-Rumbuk berisi 12 sajak, satu dialog dan 7 prosa. Untuk menyegarkan
ingatan pembaca, saya catat di sini judul karangan tersebut sebagai berikut:
Sikola, Ajar ni amangna di anakna na kehe tu sikola, Di danak na mompas godang,
Mandailing, Mataniari, Olo-olo, Di amateon ni boruna, Na mananom na mate,
Siakkak dohot landuk, Undan dohot ura-ura, Ama ni Marpuli Odong, Marburu di bagasan
bilik, Angkana dohot angina, Si Baroar, Na binuat tingon barita ni tuan
Colombus, Tiruan ni olong ni roa marangka maranggi, Sada alak pulonta on na
mabiar di ahaila, Na dangol muda na so binoto, Amamate ni alak na lidang dan
Pidong garudo bosar.
5. Taringot di ragam-ragam ni parbinotoan dohot
sinaloan ni alak Eropa
Buku ini diterjemahkan oleh Willem Iskander
kemudian diterbitkan di Batavia pada tahun 1873. Isinya tentang teknologi Eropa
pada abad XIX. Pengaruh buku ini sangat besar dalam memperluas cakrawala
berpikir agar jangan terkurung bagaikan katak di bawah tempurung.
Beberapa uraian yang menarik adalah tentang
penerbitan surat kabar, penulisan buku dan pengelolaan perpustakaan. Seluk
beluk penerbitan surat kabar antara lain mencakup cara mencari berita, manfaat
berita, mencetak dan mendistribusikan surat kabar kepada pelanggan dan pembaca
lainnya.
Bagaimana cara menulis buku? Jawabannya ada di
dalam buku ini, antara lain diawali dengan penelusuran literatur di
perpustakaan, penelitian lapangan dan pengujian data yang ditemukan di
lapangan. Cara pengelolaan perpustakaan kecil sebagai sarana pendidikan di luar
sekolah juga diuraikan di dalam buku ini.
Buku memaparkan teknologi Eropa tentang
perkeretaapian, kapal api, penyaluran air minum dan gas ke rumah-rumah dan
industri perkayuan. Selain itu ada uraian tentang astronomi tentaang kejadian
tata surya. Tidak kurang menarik adalah peranan bank dalam memajukan
kesejahteraan rakyat, misalnya tentang manfaat menabung.
6. Soerat otoeran ni porkaro toe oehoeman di
bagasan ni goebernemen ni Topi Pastima ni Soematara
Buku ini adalah terjemahan dalam bahasa dan aksara
Mandailing dari buku Reglement tot regeling van het regwezen in het
gouvernement Sumatra’s Westkust, diterbitkan di Batavia, 1873, tebalnya 278
halaman. Isi buku ini tentang peraturan perundang-undangan yang mengatur
ketertiban dan keadilan di dalam masyarakat yang berlaku di wilayah Pantai
Barat Sumatera.
7. Ponggol 1a dohot Va ni Soerat otoeran toe
pangotoeran saro oehoem dohot parenta ni oehoeman di Tano Indi Nederland
Buku ini merupakan terjemahan dalam bahasa dan
aksara Mandailing dari buku 1ste en Vde Hoofdstuk van het Reglement op de
regterlijke organisatie en het beleid der Justitie tentang administrasi
peradilan, termasuk personalianya di tiap daerah. Buku ini diterbitkan di
Batavia, 1874, tebalnya 115 halaman.
Honorarium penerjemahan dua buku hukum itu sebesar
1.700 gulden diterima oleh Willem Iskander di Amsterdam, pada tahun 1875. Uang
sebanyak itu cukup untuk belanja dua tahun. Willem Iskander memiliki banyak
uang, karena selain honorarium itu, ia juga menerima gaji yang cukup besar
sebagai guru kepala Kweekschool.
Para Mentor
Saya menilai Willem Iskander adalah seorang guru
yang terlempar jauh ke masa depannya. Karyanya tak pernah usang, karena ia
berbicara tentang perjalanan hidup lahir batin manusia yang universal (Harahap,
1996:185-227). Orang bertanya, siapa saja gerangan mentor dan inspirator yang
telah menempa Willem Iskander sehingga ia tampil sehebat itu.
Untuk menjawab pertanyaan itu saya catat di bawah
ini nama sejumlah orang yang menjadi guru langsung dan guru spiritual Willem
Iskander, ialah:
Alexander Philippus Godon (1816-1899) seorang
humanis, liberalis, penganut semboyan Revolusi Prancis Liberté, Egalité dan
Fraternité, Asisten Residen Mandailing Angkola (1848-1857) yang mengangkat
Willem Iskander menjadi guru pada usia 15 tahun dan sekaligus sebagai
sekretaris Asisten Residen Mandailing Angkola di Panyabungan. Godon membawa
Willem Iskander ke Negeri Belanda pada bulan Februari 1857. Godon menyerahkan
pendidikan awal Willem Iskander kepada seorang guru bernama Dapperen di
Vreeswijk (1857). Pendidikan ini lebih pada sosialisasi nilai-nilai budaya dan
gaya hidup orang Belanda ketika itu, termasuk etika, cara berpakaian, dll.
Pendidikan selanjutnya diserahkan kepada Guillaume Groen van Prinsterer di
Arnhem (1858). Godon menjadi mentor sejati Willem Iskander sampai akhir
hayatnya.
Guillaume Groen van Prinsterer (1801-1876), pemikir
besar dalam pendidikan Belanda abad XIX yang menyusun draft Undang-Undang
Pendidikan Belanda 1857. Ia penganut warisan pemikiran politik zaman kecerahan,
Aufklärung di Jerman.
Semboyan perjuangan Groen adalah semboyan Revolusi
Prancis Liberté, Egalité dan Fraternité. Groen seorang liberalis sahabat kental
Thorbecke, pejuang hak-hak asasi yang terkenal itu.
Pada usia 22 tahun Groen lulus dengan judisium
summa cum laude di Universitas Leiden, untuk dua disertasi sekaligus. Disertasi
pertama, hasil studinya di Fakultas Sastra dan Filsafat tentang prosografi,
ialah uraian tentang tokoh-tokoh sejarah dan pemikirannya yang hidup di sekitar
filsuf Yunani, Plato. Disertasi kedua, hasil studinya di Fakultas Hukum tentang
kodifikasi Justinianus.
Jasa paling besar Groen adalah dalam pembenahan
arsip Dinasti Oranje berjudul Archives de la maison d’Oranje-Nassau yang jilid
pertamanya terbit 1835. Salah satu perjuangannya ialah berusaha keras
menyadarkan pemerintahnya untuk membebaskan Indonesia dari belenggu penjajahan.
Karier politiknya sebagai negarawan bermula pada
usia 26 tahun ketika Willem I mengangkatnya menjadi anggota kabinet, kemudian
sebagai sekretaris kabinet. Setelah empat tahun menduduki jabatan itu, Willem I
mengangkatnya menduduki jabatan yang sangat bergengsi, menjadi anggota Raad van
State, Dewan Negara, di mana ayahnya Dr. Petrus Jacobus Groen, juga duduk
sebagai anggota. Ini merupakan satu-satunya peristiwa dalam sejarah Belanda,
seorang ayah dan anaknya menjadi anggota Raad van State.
Dr. Petrus Jacobus Groen, seorang cendekiawan
Belanda yang diangkat oleh Willem I menjadi Komisaris Kesehatan Republik
Bataaf, 1804, kemudian Inspektur Kesehatan. Dr. Petrus adalah dokter pribadi
raja Willem I. Sesudah Belanda merdeka dari Prancis, Dr. Petrus menjadi dokter
pribadi raja Lodewijk Napoleon.
Berkat jasa-jasa baik Groen, maka Raja Willem III
pada bulan Januari 1859 mengeluarkan beslit pemberian beasiswa kerajaan kepada
Willem Iskander untuk meneruskan pendidikan guru di Amsterdam. Seterusnya,
setelah melakukan pembicaraan antara Godon, Prof. Millies dan Menteri Urusan
Jajahan, J.J. Rochussen, maka ditetapkan pengaturan administrasi pemberian
beasiswa itu dengan melibatkan Menteri Urusan Jajahan, J.J. Rochussen, Menteri
Keuangan Van Hall dan Prof. Milllies.
Prof. Henricus Christiaan Millies (1810-1868) guru
besar filsafat, bahasa dan sastra Timur di Universitas Utrecht yang mengurus
biaya hidup dan pendidikan Willem Iskander (1859-1861), dengan cara terlebih
dahulu mengeluarkan uang pribadinya yang dapat ditagihnya kembali di kas negara
setiap triwulan. Prof. Millies lah yang menggagas pengiriman Herman Neubronner
van der Tuuk ke Tanah Batak dan Dr. B.F. Matthes ke Tanah Bugis di Sulawesi
Selatan, untuk mempelajari kedua bahasa dan aksara suku bangsa itu.
Sutan Kumala Yang Dipertuan Hutasiantar, raja ulama
yang kharismatik primus inter pares raja-raja Mandailing (wafat 1866), keluarga
dekat Willem Iskander. Tokoh ini banyak disebut-sebut oleh Multatuli di dalam
karya monumentalnya Max Havelaar.
Multatuli (1820- 1887) menjadi inspirator Willem
Iskander dalam penulisan sajak dan prosa satiris, dan aforisme, ialah
pernyataan yang padat dan ringkas tentang sikap hidup atau kebenaran umum, yang
khas dalam karya-karya Multatuli. Multatuli kembali ke Negeri Belanda tahun
1855 dan wafat di desa kecil Nieder-Ingelheim, dekat Wiesbaden, Jerman, tanggal
19 Februari 1887.
Dirk Hekker Jr. (1823-1906) dianggap oleh Willem
Iskander sebagai kawan, guru dan orang tua. Dirk Hekker Jr. adalah guru kepala
Oefenschool di Amsterdam. Willem Iskander tinggal hidup di dalam keluarga Dirk
Hekker Jr. selama 3 tahun, awal 1859 s.d. Juli 1861. Willem Iskander belajar
mengelola sekolah guru kepada tokoh pendidikan guru Belanda abad XIX itu.
Mr. J.A. van der Chijs (1831-1905), Inspektur
Pendidikan Bumiputera yang menjadi sahabat Willem Iskander dalam pengembangan
pendidikan guru bumiputera. Van der Chijs mengunjungi Willem Iskander di
Tanobato selama tiga hari bulan Juni 1866. Kekentalan persahabatan mereka dapat
dilihat dalam beberapa polemik tentang Willem Iskander yang melibatkan juga Van
der Chijs. Ia menulis nama samaran Vriend van Iskander pada akhir
tulisan-tulisannya dalam berbagai surat kabar pada tahun 1876.
Joost van den Vondel (1587-1679) penyair Belanda
abad XVII sebagai inspirator penulisan karya bertema perjalanan hidup manusia.
Van den Vondel adalah penyair legendaris Belanda abad XVII. Sampai kini tak
seorang pun penyair Belanda yang menandinginya. Karya-karyanya berupa naskah
drama dan puisi sampai kini masih dikenal oleh orang Belanda.
Jacob van Oosterwijk Bruyns (1794-1876) penyair
Belanda abad XIX, seorang penyair yang sangat kuat dalam penulisan karya-karya
bersifat parodi. Penyair ini adalah inspirator bagi Willem Iskander dalam
penulisan prosa dan puisi bersifat parodi, misalnya Marburu di bagasan bilik
yang saya terjemahkan menjadi “Berburu di Dalam Bilik” yang gagasannya sama
dengan Kamerjacht karya Jacob van Ooterwijk Bruyns.
Jika disimak nama para mentor dan inspirator Willem
Iskander, maka layaklah Willem Iskander tampil sebagai orang yang luar biasa
dalam sejarah pencerahan bangsa Indonesia.
Adalah tepat penilaian Pramudya Ananta Toer pada
catatan kaki bukunya Panggil Aku Kartini Saja, bahwa Willem Iskander adalah
satu keajaiban Indonesia abad XIX.
Willem Iskander menerima Piagam Hadiah Seni ad
postuum dari Pemerintah Pusat melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Dr.
Daoed Joesoef, pada tanggal 15 Agustus 1978. Teks Piagam Hadiah Seni itu
menyebutkan bahwa pemberian Piagam Hadiah Seni ini sebagai penghargaan
Pemerintah atas jasanya terhadap Negara sebagai sastrawan Mandailing, Sumatera
Utara.(http://basyral-hamidy-harahap.com/MH)