Berdasarkan catatan sejarah, hari ini 5
Januari 1973 merupakan hari dibentuknya Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
sebagai partai politik. Partai yang merupakan hasil fusi (gabungan) empat
partai politik Islam ketika itu. Hari ini juga dibangun tonggak dan pondasi perjuangan
PPP di ranah politik nasional. Hari ini, umat Islam Indonesia memiliki satu
saluran aspirasi politik dalam membangun agama, bangsa dan Negara.
Sekarang, PPP –satu-satunya partai tersisa
yang tetap konsisten menggunakan Agama Islam sebagai azas– memasuki usia 44
tahun. Dalam rentang waktu tersebut, PPP
dan seluruh atribut serta pengurusnya telah melalui pasang surut, dinamika naik
dan turun serta telah mengorbankan banyak hal. Dari sisi lain, PPP juga telah
menorehkan sejumlah prestasi, partispasi serta peran aktifnya sebagai bagian dari
komponen bangsa.
Namun, dalam beberapa decade terakhir, PPP
dengan seluruh factor yang mempengaruhinya, terus tergerus, dan itu dapat
dilihat dari tingkat kepercayaan yang diperoleh PPP di setiap perhelatan
politik nasional (pemilu). Fakta lain, tidak sedikit survey dan analisis para
pakar yang memprediksi PPP akan tinggal sejarah, kalaupun kemudian prediksi itu
terbantahkan dengan tetap survive-nya PPP hingga di usia 44 tahun.
Namun melihat kondisi PPP di usia 44 tahun
ini, tentu ada rasa khawatir atau mungkin menjurus kepada rasa takut akan
eksistensi partai berlambang ka’bah ini. Tidak saja disebabkan konflik ditubuh
PPP yang belum tuntas 100 persen, tapi juga mengingat kuatnya poros yang
mengingingkan partai Islam ‘hilang’ dari Indonesia.
Padahal, rasa itu berbanding terbalik bila
dihubungkan dengan proses kehidupan seorang manusia yang berusia 40 tahun. Hamba
Allah yang diberi nama manusia pada usai 40 tahun, adalah masa paripurna dengan
kedewasaan yang matang.
Mari kita renungkan do'a yang ditampilkan
pada ayat al Qur’an di bawah ini :
Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat
baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah,
dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya
adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai
empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri
nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan
supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan
kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku
bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah
diri".(Q.S.
al-Ahqâf: 15)
Al-Qur’an memberikan apresiasi tersendiri
terhadap manusia kala mencapai usia 40 tahun yang disebutkan dalam surat di
atas. Pastilah bukan hal yang main-main, Allah menyebutkan secara jelas usia
manusia yang dimaksud. Sebenarnya apa maksud Allah menyuruh manusia untuk
berdo’a pada usia tersebut.
Menurut para mufassir, usia 40 tahun
merupakan usia dimana manusia mencapai puncak kehidupannya baik dari segi
fisik, intelektual, emosional, karya, maupun spiritualnya. Orang yang berusia
40 tahun benar-benar telah meninggalkan usia mudanya dan beralih menapaki usia
dewasa penuh. Apa yang dialami pada usia ini sifatnya stabil, mapan, kokoh.
Perilaku di usia ini akan menjadi barometer pada langkah usia selanjutnya.
Dari kacamata psikologi, usia 40 tahun
sering disebut masa dewasa madya. Orang-orang yang berada di usia ini lebih
popular disebut setengah baya, dari sudut posisi usia dan terjadinya perubahan
fisik maupun psikologis, memiliki banyak kesamaan dengan masa remaja. Bila masa
remaja merupakan masa peralihan, dalam arti bukan lagi masa kanak-kanak namun
belum bisa disebut dewasa, maka pada setengah baya, tidak dapat lagi disebut
muda, namun juga belum bisa dikatakan tua.
Secara fisik, pada masa remaja terjadi perubahan
yang demikian pesat (menuju ke arah kesempurnaan/kemajuan) yang berpengaruh
pada kondisi psikologisnya, sedangkan individu setengah baya juga mengalami
perubahan kondisi fisik, namun dalam pengertian terjadi penurunan/kemun-duran,
yang juga akan mempengaruhi kondisi psikologisnya. Selain itu, perilaku dan
perasaan yang menyertai terjadinya perubahan-perubahan tersebut adalah sama,
yaitu salah tingkah/ canggung, bingung, dan kadang-kadang over acting.
Lalu jika ada yang mengatakan bahwa: Life began at forty, saya cenderung
berpendapat bahwa kehidupan yang dimaksud adalah kehidupan religius, kehidupan
yang berfokus dan konsentrasi untuk persiapan menuju negeri akhirat. Karena
bagaimanapun, statemen Helen Rowland itu belum selesai. Lanjutnya, … but so do fallen arches, rheumatism, faulty
eyesight, and the tendency to tell a story to the same person, three or four
times. Kehidupan memang dimulai umur 40 tahun, tetapi pada saat itu kita
juga mulai sakit-sakitan, reumatik, rabun, dan kecenderungan pikun.
Dari uraian singkat di atas, ada pertanyaan
mendasarnya yang ditujukan bagi seluruh fungsionaris, kader dan simpatisan PPP
terkhusus umat Islam Indonesia, bagaimana memaknai 44 tahun usia PPP? Atau bagaimana
sikap kita terhadap usia PPP yang sudah 44 tahun? Saya tidak terlalu mahir merangkai
pertanyaan yang apik, namun saya yakin hakikatnya bisa kita tangkap.
Hemat saya, jika momentum 44 tahun usia PPP
ini dimaknai hal yang biasa dalam putaran kehidupan politik, maka pemaknaan itu
tidak akan membawa perubahan signifikan untuk kemajuan dan kebesaran PPP di
masa yang akan datang. Kenapa? Ini beberapa analisis sederhananya.
Pertama, pemaknaan usia 44 tahun adalah hal
biasa, maka kemungkinan besar propaganda selama ini dilancarkan dengan menjustifikasi
semua partai sama, akan semakin terkokohkan di tengah masyarakat Islam Indonesia.
Dampak berikutnya, akan hilang ‘keistimewaan’ partai politik Islam dimata umat
Islam.
Kedua, dengan pemaknaan seperti itu, maka akan
sulit terjadi perubahan mindset pengurus terhadap partainya. Bahwa partai hanya
alat dan sarana, kemenangan partai hanya ditentukan materi, rintangan dan
halangan yang tak pernah putus, kecemburuan, pragmatisme dan sejumlah persoalan
yang secara massif melemahkan ghiroh dan komitmen perjuangan. Pada posisi
seperti ini, PPP akan menjelma menjadi sebuah partai ‘apa adanya’.
Ketiga, bila ghiroh dan komitmen perjuangan
pengurus partai lemah, tentu kinerjanya juga akan lemah. Pengurus partai tidak
lagi bangga dengan partainya, bahkan cenderung cuek dan bukan tidak mungkin
terjadi pembiaran. Mudah-mudahan jangan sampai terjadi.
***
Sekarang, mari kita beri makna sebaliknya
dalam artian usai 44 tahun Partai Persatuan Pembangunan adalah momentum kebangkitan
umat Islam dan Politik Islam Indonesia. Bolehlah, kita berkaca dengan mengambil
pelajaran dari semangat aksi bela Islam 411 dan 212.
Berkumpulnya 5 atau 7 juta lebih umat Islam
pada satu momentum adalah panggilan rasa cinta. Cinta kepada Allah, Rasul, Al
Qur’an, Agama dan cinta pada ulama. Cinta inilah yang mampu menggerakkan hati
jutaan umat Islam untuk meretas segala bentuk perbedaan mazhabiah.
Cinta inilah yang memberi kekuatan kaki
para santri menempuh jarak yang jauh, cinta inilah yang menggerakkan tangan
para aghniya untuk mengeluarkan uang
tanpa merasa takut miskin. Cinta itu pulalah yang menguatkan setiap hati umat Islam
untuk melawan dan cinta itu memiliki nilai IBADAH, KEBERSAMAAN, PERSAMAAN, PERSATUAN,
PERSAUDARAAN, MUSAWARAH DAN KEADILAN.
Intinya, di usia 44 tahun ini, PPP harus
melakukan re-orientasi ber-PPP bagi pengurusnya, atau bahasa sederhana saya “Mem-PPP-kan
kembali para pengurus dan kader PPP”. Caranya dengan melakukan Dekrit PPP, yakni kembali kepada 6 prinsif
perjuangan partai.
Misalkan prinsif pertama adalah Ibadah. Maka
seluruh pengurus PPP dalam setiap ibadah (mahdhah dan ghoiru mahdhah) yang
dilakukannya, harus mencerminkan bahwa ia adalah PPP, dan dalam setiap program
PPP wajib dimaknai ibadah. Dengan mindset
seperti itu, akan lahir gelombang besar yang menghantarkan PPP ke setiap hati
umat Islam. Akan lahir gerakan bersama untuk menunjukkan PPP adalah partai Islam
yang dilahirkan para ulama, tumbuh dan besar juga bersama umat Islam.
Apa argumentasi menyakinkan gerakan itu
bisa terwujud, tidak lain adalah ber-PPP adalah dalam rangka beribadah.
Beribadah tidak perlu menunggu orang lain, beribadah adalah kewajiban pribadi
dan urusannya dengan Sang Maha Pencipta, ibadah zakat infaq, sedekah tidak
tergantung duit orang lain dan ibadah tidak menunggu waktu tertentu. Beribadah
adalah kebutuhan agar kita mencapai derajat taqwa dan orang-orang bertaqwa akan
meraih kemenangan dunia akhirat.
Coba banyangkan, bila setiap pengurus PPP melakukan
hal yang sama di tengah-tengah umat, saya yakin kepercayaan umat Islam kepada
PPP akan lahir. Anggota legislative PPP beribadah dengan kekuasaaanya, ulama
PPP beribadah dengan ilmunya, pengusaha PPP beribadah dengan kekayaannya,
pengurus dan anggota STM dari PPP, beribadah dengan kafasitasnya dan lainya
beribadah sesuai kemampuannya.
Sungguh kondisi itu akan sangat indah dan
membanggakan. Inilah yang menurut saya, makna yang harus kita sematkan diusia ke-44
tahun PPP tahun ini. Semoga tulisan sederhana ini bermnafaat dan menginspirasi
kita semua dan menjadi ladang kebajikan bagi kita semua, amin yang robbal
alami. “SELAMAT HARLAH KE 44 PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN, SEMOGA PPP MAJU DAN
BERMANFAAT BAGI UMAT ISLAM”. #pppbergerakbersamaumat, #PPPtigabesar, #sayabanggapengurusppp
(Penulis adalah Wakil Sekretaris BAPILU DWP
PPP Sumut)