Rabu, 04 Januari 2017

MEMAKNAI HARLAH KE- 44 TAHUN PPP


Berdasarkan catatan sejarah, hari ini 5 Januari 1973 merupakan hari dibentuknya Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebagai partai politik. Partai yang merupakan hasil fusi (gabungan) empat partai politik Islam ketika itu. Hari ini juga dibangun tonggak dan pondasi perjuangan PPP di ranah politik nasional. Hari ini, umat Islam Indonesia memiliki satu saluran aspirasi politik dalam membangun agama, bangsa dan Negara.
Sekarang, PPP –satu-satunya partai tersisa yang tetap konsisten menggunakan Agama Islam sebagai azas– memasuki usia 44 tahun. Dalam  rentang waktu tersebut, PPP dan seluruh atribut serta pengurusnya telah melalui pasang surut, dinamika naik dan turun serta telah mengorbankan banyak hal. Dari sisi lain, PPP juga telah menorehkan sejumlah prestasi, partispasi serta peran aktifnya sebagai bagian dari komponen bangsa.
Namun, dalam beberapa decade terakhir, PPP dengan seluruh factor yang mempengaruhinya, terus tergerus, dan itu dapat dilihat dari tingkat kepercayaan yang diperoleh PPP di setiap perhelatan politik nasional (pemilu). Fakta lain, tidak sedikit survey dan analisis para pakar yang memprediksi PPP akan tinggal sejarah, kalaupun kemudian prediksi itu terbantahkan dengan tetap survive-nya PPP hingga di usia 44 tahun.
Namun melihat kondisi PPP di usia 44 tahun ini, tentu ada rasa khawatir atau mungkin menjurus kepada rasa takut akan eksistensi partai berlambang ka’bah ini. Tidak saja disebabkan konflik ditubuh PPP yang belum tuntas 100 persen, tapi juga mengingat kuatnya poros yang mengingingkan partai Islam ‘hilang’ dari Indonesia.
Padahal, rasa itu berbanding terbalik bila dihubungkan dengan proses kehidupan seorang manusia yang berusia 40 tahun. Hamba Allah yang diberi nama manusia pada usai 40 tahun, adalah masa paripurna dengan kedewasaan yang matang.   
Mari kita renungkan do'a yang ditampilkan pada ayat al Qur’an di bawah ini :




Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri".(Q.S. al-Ahqâf: 15)
Al-Qur’an memberikan apresiasi tersendiri terhadap manusia kala mencapai usia 40 tahun yang disebutkan dalam surat di atas. Pastilah bukan hal yang main-main, Allah menyebutkan secara jelas usia manusia yang dimaksud. Sebenarnya apa maksud Allah menyuruh manusia untuk berdo’a pada usia tersebut.
Menurut para mufassir, usia 40 tahun merupakan usia dimana manusia mencapai puncak kehidupannya baik dari segi fisik, intelektual, emosional, karya, maupun spiritualnya. Orang yang berusia 40 tahun benar-benar telah meninggalkan usia mudanya dan beralih menapaki usia dewasa penuh. Apa yang dialami pada usia ini sifatnya stabil, mapan, kokoh. Perilaku di usia ini akan menjadi barometer pada langkah usia selanjutnya.
Dari kacamata psikologi, usia 40 tahun sering disebut masa dewasa madya. Orang-orang yang berada di usia ini lebih popular disebut setengah baya, dari sudut posisi usia dan terjadinya perubahan fisik maupun psikologis, memiliki banyak kesamaan dengan masa remaja. Bila masa remaja merupakan masa peralihan, dalam arti bukan lagi masa kanak-kanak namun belum bisa disebut dewasa, maka pada setengah baya, tidak dapat lagi disebut muda, namun juga belum bisa dikatakan tua.
Secara fisik, pada masa remaja terjadi perubahan yang demikian pesat (menuju ke arah kesempurnaan/kemajuan) yang berpengaruh pada kondisi psikologisnya, sedangkan individu setengah baya juga mengalami perubahan kondisi fisik, namun dalam pengertian terjadi penurunan/kemun-duran, yang juga akan mempengaruhi kondisi psikologisnya. Selain itu, perilaku dan perasaan yang menyertai terjadinya perubahan-perubahan tersebut adalah sama, yaitu salah tingkah/ canggung, bingung, dan kadang-kadang over acting.
Lalu jika ada yang mengatakan bahwa: Life began at forty, saya cenderung berpendapat bahwa kehidupan yang dimaksud adalah kehidupan religius, kehidupan yang berfokus dan konsentrasi untuk persiapan menuju negeri akhirat. Karena bagaimanapun, statemen Helen Rowland itu belum selesai. Lanjutnya, … but so do fallen arches, rheumatism, faulty eyesight, and the tendency to tell a story to the same person, three or four times. Kehidupan memang dimulai umur 40 tahun, tetapi pada saat itu kita juga mulai sakit-sakitan, reumatik, rabun, dan kecenderungan pikun.
Dari uraian singkat di atas, ada pertanyaan mendasarnya yang ditujukan bagi seluruh fungsionaris, kader dan simpatisan PPP terkhusus umat Islam Indonesia, bagaimana memaknai 44 tahun usia PPP? Atau bagaimana sikap kita terhadap usia PPP yang sudah 44 tahun? Saya tidak terlalu mahir merangkai pertanyaan yang apik, namun saya yakin hakikatnya bisa kita tangkap.
Hemat saya, jika momentum 44 tahun usia PPP ini dimaknai hal yang biasa dalam putaran kehidupan politik, maka pemaknaan itu tidak akan membawa perubahan signifikan untuk kemajuan dan kebesaran PPP di masa yang akan datang. Kenapa? Ini beberapa analisis sederhananya.
Pertama, pemaknaan usia 44 tahun adalah hal biasa, maka kemungkinan besar propaganda selama ini dilancarkan dengan menjustifikasi semua partai sama, akan semakin terkokohkan di tengah masyarakat Islam Indonesia. Dampak berikutnya, akan hilang ‘keistimewaan’ partai politik Islam dimata umat Islam.
Kedua, dengan pemaknaan seperti itu, maka akan sulit terjadi perubahan mindset pengurus terhadap partainya. Bahwa partai hanya alat dan sarana, kemenangan partai hanya ditentukan materi, rintangan dan halangan yang tak pernah putus, kecemburuan, pragmatisme dan sejumlah persoalan yang secara massif melemahkan ghiroh dan komitmen perjuangan. Pada posisi seperti ini, PPP akan menjelma menjadi sebuah partai ‘apa adanya’.
Ketiga, bila ghiroh dan komitmen perjuangan pengurus partai lemah, tentu kinerjanya juga akan lemah. Pengurus partai tidak lagi bangga dengan partainya, bahkan cenderung cuek dan bukan tidak mungkin terjadi pembiaran. Mudah-mudahan jangan sampai terjadi.
***
Sekarang, mari kita beri makna sebaliknya dalam artian usai 44 tahun Partai Persatuan Pembangunan adalah momentum kebangkitan umat Islam dan Politik Islam Indonesia. Bolehlah, kita berkaca dengan mengambil pelajaran dari semangat aksi bela Islam 411 dan 212.
Berkumpulnya 5 atau 7 juta lebih umat Islam pada satu momentum adalah panggilan rasa cinta. Cinta kepada Allah, Rasul, Al Qur’an, Agama dan cinta pada ulama. Cinta inilah yang mampu menggerakkan hati jutaan umat Islam untuk meretas segala bentuk perbedaan mazhabiah.
Cinta inilah yang memberi kekuatan kaki para santri menempuh jarak yang jauh, cinta inilah yang menggerakkan tangan para aghniya untuk mengeluarkan uang tanpa merasa takut miskin. Cinta itu pulalah yang menguatkan setiap hati umat Islam untuk melawan dan cinta itu memiliki nilai IBADAH, KEBERSAMAAN, PERSAMAAN, PERSATUAN, PERSAUDARAAN, MUSAWARAH DAN KEADILAN.
Intinya, di usia 44 tahun ini, PPP harus melakukan re-orientasi ber-PPP bagi pengurusnya, atau bahasa sederhana saya “Mem-PPP-kan kembali para pengurus dan kader PPP”. Caranya dengan melakukan Dekrit PPP, yakni kembali kepada 6 prinsif perjuangan partai.
Misalkan prinsif pertama adalah Ibadah. Maka seluruh pengurus PPP dalam setiap ibadah (mahdhah dan ghoiru mahdhah) yang dilakukannya, harus mencerminkan bahwa ia adalah PPP, dan dalam setiap program PPP wajib dimaknai ibadah. Dengan mindset seperti itu, akan lahir gelombang besar yang menghantarkan PPP ke setiap hati umat Islam. Akan lahir gerakan bersama untuk menunjukkan PPP adalah partai Islam yang dilahirkan para ulama, tumbuh dan besar juga bersama umat Islam.
Apa argumentasi menyakinkan gerakan itu bisa terwujud, tidak lain adalah ber-PPP adalah dalam rangka beribadah. Beribadah tidak perlu menunggu orang lain, beribadah adalah kewajiban pribadi dan urusannya dengan Sang Maha Pencipta, ibadah zakat infaq, sedekah tidak tergantung duit orang lain dan ibadah tidak menunggu waktu tertentu. Beribadah adalah kebutuhan agar kita mencapai derajat taqwa dan orang-orang bertaqwa akan meraih kemenangan dunia akhirat.
Coba banyangkan, bila setiap pengurus PPP melakukan hal yang sama di tengah-tengah umat, saya yakin kepercayaan umat Islam kepada PPP akan lahir. Anggota legislative PPP beribadah dengan kekuasaaanya, ulama PPP beribadah dengan ilmunya, pengusaha PPP beribadah dengan kekayaannya, pengurus dan anggota STM dari PPP, beribadah dengan kafasitasnya dan lainya beribadah sesuai kemampuannya.
Sungguh kondisi itu akan sangat indah dan membanggakan. Inilah yang menurut saya, makna yang harus kita sematkan diusia ke-44 tahun PPP tahun ini. Semoga tulisan sederhana ini bermnafaat dan menginspirasi kita semua dan menjadi ladang kebajikan bagi kita semua, amin yang robbal alami. “SELAMAT HARLAH KE 44 PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN, SEMOGA PPP MAJU DAN BERMANFAAT BAGI UMAT ISLAM”. #pppbergerakbersamaumat, #PPPtigabesar, #sayabanggapengurusppp
(Penulis adalah Wakil Sekretaris BAPILU DWP PPP Sumut)