Mulailah dari diri sendiri untuk berlaku jujur, sangat bangsa ini sedang miskin kejujuran. Lakukan
kejujuran dalam
segala hal, meski yang paling kecil, niscaya kelak kita akan menjadi insan yang
mujur
Dahulu kala di Negari Yaman, ada seorang
pemuda bernama Zabur. Sejak kecil ia sudah rajin sekolah serta tekun belajar
mengaji. Atas kesungguhan dan ketekunannya belajar, sehingga ia menjadi santri
yang segera dipercaya Kiyai menjadi lurah santri.
Si Zabur dipercaya mengajar kitab dan
terjemahannya. Oleh karena sang Kiyai tertarik dengan kepribadian dan
kepintaran santrinya itu. Zabur diambil sebagai menantu, dijodohkan dengan anak
perempuannya.
Tak berapa lama Kiayi dan Nyai pergi
melaksanakan haji untuk beberapa tahun, dan Zabur dipercaya memimpin pondok
selama ditinggal haji. Selang beberapa waktu kemudian, Zabur dikaruniai dua
orang putra. Kemudian setelah mertuanya kembali dari haji, Zabur diminta
menyerahkan kembali pondok itu kepada sang mertua. Tapi Zabur keberatan dan
tersinggung dan karena marah, si Zabur pergi dari pondok mertuanya tersebut. Perjalanan
Zabur dari pondok sudah cukup lama, ia sudah melawati beberapa negari.
Suatu hari ia sampai di Negari Maskat
dan mampir untuk istirahat di rumah Den Wedana. Zabur ditawari menjadi Carik,
asalkan berkenan belajar Bahasa Jawa. Ia berkenan, dan karena tekun, ia tidah
butuh waktu lama untuk bias menulis Jawa.
Kehadiran Zabur disukai banyak orang dan
pengabdiannya diterima dengan baik oleh Den Wedana. Suatu hari, Den Wedana
sakit dan Zabur pun mewakilinya memenuhi undangan rapat ke kantor distik.
Melihat kepintarannya, Zabur pun ditarik ke distrik dan digaji dua belas perak (rupiah). Tak lama kemudian
ia diangkat menjadi juru tulis, karena juru tulis yang lama meninggal dunia.
Namun dalam kesehariannya, Zabur tetap tekun beribadah, tidak seperti priyayi
pada umumnya.
Setelah lama Zabur bekerja di distrik
dan sering mengikuti rapat di negari itu. Lalu pejabat negari itu meminta Zabur
untuk membuat laporan kepada kerajaan tentang jumlah penduduk, hewan ternak dan
pajak bulanan. Ia diminta langsung
menyampaikannya kepada bupati dan ia segera berangkat sowan ke Ngarso sang
Raja.
Tiba di pendopo Zabur segera dipangging
Noto, dan buku laporan telah diterima juru tulis kabupaten. Ketika sang Noto
melihat laporan tersebut, tampak tulisan
yang bagus dan rapi model pesisiran gagrak anyar. Sang Noto kepranan, lalu
bertanya kepada juru tulis kabupaten tentang siapa yang menulis laporan
tersebut. Ki juru tulis matur bahwa penulis laporan itu ia adalah Zabur yang
kini sedang sowan. Karena senang, sang bupati lalu mengangkat Zabur menjadi
juru tulis kabupaten menggantikan yang lama, yang kini diangkat menjadi asisten
Den Wedana. Zabur lalu pindah ke kota dan diangkat sebagai anak angkat raja.
Namun Zabur tetap tidak meninggalkan adatnya sebagai seorang santri. Sang Nota
yang adil dan bijak itu ternyata senang beribadah, dan Zabur sering diminta
menyertai sang Noto pergi beridabah.
Suatu hari, sang Noto melakukan
perjalanan keliling negari disertai pejabat negari. Ketika itu Zabur menyambut
kepulangan sang Noto di gerbang pelataran. Sesudah sang Aji naik ke pendopo,
Zabur menemukan cincin bermata intan yang ia pikir pasti millik sang Bupati.
Zabur sgera menghadap dan menyampaikan cincin yang baru ia temukan. Sang Noto
tampak gembira dan semakin percaya bahwa Zabur anak yang baik dan dapat
dipercaya.
Sang Nota berharap Zabur tidak seperti
priyayi-pejabat umumnya, yang jika tampak dipercaya oleh sang Noto, lalu
berlaku congkak dan kumawoso. Apalagi jika sudah pegang eska, dihadapan umum
jingkrak bagaikan aning, selalu ingin menang sendiri, dan merasa paling pintar
dan tak mau dikritik. Padahal, bagaikan orang berpakaian ; iket siji wus ngrambang, jika dibeberkan robek selebar gajah, baju
satu luriknya sudah hilang, potongan model Belanda tetapi tangannya panjang
sebelah. Jika merokok bungkusnya keluaran pabrik, tapi isinya mbako dan kulit
jagung. Itupun diperoleh dari beselan orang yang minta surat ketarangan. Ketika
jabatannya dicopot atau sudah pension, orang banyak pun mencibir dan tak peduli
lagi.
Suatu hari, kehendak Sang Widipu pun
berlaku bagi hamba-Nya. Di hari Jum’at, Sang Noto pergi ke masjid disertai
Zabur, yang belakangan seperti tak bisa dipisahkan dari sang Noto. Kebetulan
tasbih sang Noto ketinggalan di Puri, dan Zabur pun diminta kembali ke istana
mengambil tasbih tersebut. Ia berangka memenuhi tugas tuannya. Setelah sampai
ke puri istana, ia langsung menuju kamar tempat tasbih sang Noto berada. Ia
terkejut ketika mendapati istri raja sedang bercinta dengan pejabat yang selam
ini dikasihi raja. Zabur bingung, apakah yang ia lihat dilaporkan kepada bupati
atau tidak?. Jika peristiwa itu dilaporkan, ia mungkin justru celaka. Zabur
memutuskan tidak menceritakan apa pun yang ia lihat di puri tersebut. Namun,
Garwo Noto ternyata marah ketika perbuatan selingkuhnya di lihat si Zabur, lalu
ia menyusun siasat.
Pulang dari masjid, sang Noto langsung
masuk puri disambut Garwo. Garwo Padmi pun melaporkan kepada sang Noto dengan
membalikkan fakta, dandang dikatakan kuntul Bahwa tadi ia diganggu oleh Zabur ketika
diutus mengambil tasbih. Ketika tasbih diberikan tangannya direngkuhkannya
dengan maksud mengajak berbuat tidak baik. Si Garwo menolak dan lebih baik mati
daripada berselingkuh. Ia mengusulkan agar Zabur diberi hukuman.
Laporan Garwo ternyata manjur sekali.
Bagaikan disambar petir ditelinganya ketika
mendengar laporan tersebut, sang Noto marah besar, walaupun tampak ia diam.
Dalam hati, ia berkata, betapa beraninya si Zabur, pegawai baru mengganggu
istrinya. Ia berniat menghukum si Zabur. Pagi harinya, sang Noto berniat
mengutus si Zabur mengirimkan buah-buahan kepada juragan gamping. Si juragan
secara khusus telah dipesan jika utusan itu datang supaya ditangkap dan
dimasukkan ke dalam tempat pembakaran gamping. Zabur pun diutus memenuhi tugas
tersebut tanpa merasa bahwa itu merupakan jebakan baginya. Ia bergegas menuju
juragan memenuhi pesan yang telah disampaikan oleh sang Noto kepadanya kemarin.
Sebelum tiba di tembat pembakaran
gamping, Zabur berhenti untuk beribadah di surau pinggir jalan, yang didahului
ibadah sunnah. Jeruk paringan sang Prabu untuk juragan gamping ia letakkan di
pinggir sumur. Karena lelah seusai beribadah, ia istirahat sebentar, tapi ia
tertidur di dalam surau itu.
Di Kedaton, sang Prabu masih menerima
beberapa pejabat. Setelah beberapa lama menunggu kepergian Zabur, sang Noto
lalu mengutus pejabat yang kemarin meniduri istrinya untuk pergi ke juragan
gamping guna meneliti apakah sudah memenuhi perintahnya kemarin. Jika belum
dipenuhi, ia diminta untuk memerintahkan agar juragan gamping segera memenuhi
perintahnya tersebut.
Si pejabat yang meniduri istri raja itu
segera berangkat. Sesampai disurau pinggir jalan, tiba-tiba ia melihat buah
jeruk dari raja dipinggir sumur tempat wudhu’, tapi ia tidak melihat Zabur.
Setelah clingak clinguk mencari Zabur tidak ketemu, jeruk diambil dan segera
dibawa kepada juragan gamping. Dalam hati ia berkata bahwa si Zabur ternyata
bukan pegawai yang baik, diutus mengirimkan buah jeruk malak ditinggal
dipinggir jalan.
Sesampai di tempat tobong gamping,
pejabat tersebut matur bahwa ia diutus raja menyampaikan buah jeruk dengan
pesan agar perintah raja kemarin segera dipenuhi. Setelah menerima buah
tersebut, si utusan segera ditangkap dan dimasukkan ke tungku pembakaran
gamping, dibakar hidup-hidup. Sudah menjadi hukum Yang Agung yang tak bisa diakali,
nasib pejabat itupun habis menadi api.
Zabur terperanjat ketika terbangun,
mengingat ia sedang diutus sang Noto menyampaikan jeruk kepada juragan gamping.
Ia keluar surau mencari jeruk yang tadi tertinggal di tempat wudhu’ tapi tidak
juga ketemu. Zabur memutuskan melanjutkan perjalanan ke kampong Pengarong
(pembuat maron) dan menyakan kepad juragan gamping apakah perintah raja sudah
dipenuhi.
Juragan gamping menjelaskan bahwa
perintah raja telah dipenuhi. Utusan pembawa jeruk telah ia masukkan ke tempat
pembakaran gamping yang kini terbakar seperti tampak pada warna hijau di dalam
api. Juragan meminta Zabur menyampaikan berita kepada sang Prabu bahwa si
pembawa jeruk kini sudah menjadi abu.
Mendengar penjelasan juragan gamping,
Zabur terkejut. Ternyata sang Prabu punya maksud menghukum bakar dirinya. Ini
tentu karena laporan sang Garwo yang memfitnah dirinya. Dalam hati, ia berkata,
ternyata Tuhan Yang Maha Melihat telah berlaku adil kepada semua orang. Si
Zabur lebih menyerahkan diri, baik-buruk nasibnya dan mati-hidupnya kepada-Nya.
Ia memantapkan hati, lalu bersyukur kepada Yang Manon.
Karena itu, hendaklah semua manusia
jangan sekali-kali lupa, setiap tingkah lakunya atas empat perkara. Pertama,
berbuat baik kepada sesama dan jangan berbuat salah kepada orang lain. Kedua,
menepati aturan agama, ketiga selalu berhati sabar dan jangan bosan
menyembah-Nya. Keempat tidak mengeluh ketika menghadapi cobaan. Manusi harus
berserah diri sepenuhnya kepada-Nya karena seluruh gerak hidup makhluk adalah
kehendak Yang Manon.
Di dunia ini, manusia bagaikan berada di
dalam sebuah kedung. Minta tolong pada priyayi malah minta bayaran. Seperti
halnya seorang dukun yang mengobati orang lain, padahal dirinya tidak bebas
dari penyakit. Priyayi yang naik pangkat hingga kedudukan pada akhirnya akan
jatuh juga. Sebodoh-bodoh orang ialah yang minta tolong kepada sesamanya. Kalau
mau mengaji, mengajilah pada yang alim. Jika mau mendapat uang kerjalah pada
orang yang kaya, dan jika ingin menjadi priyayi, maganglah di kantoran.
Pekerjaan dan kekuasaan itu berlangsung bersama usaha seseorang.
Zabur sudah tiba di Kedaton. Sang Prabu terkejut ketika melihat Zabur masih hidup.
Sesudah memberi hormat seperti layaknya, Zabur menjelaskan semua yang terjadi
diawali ia melihat perselingkuhan sang Garwo hingga terbakarnya si pembawa
jeruk. Sekarang sang Prabu mengerti bahwa Zabur berhati baik sehingga ia dijaga
oleh Tuhan, dan istrinyalah yang berperilaku buruk. Gaji Zabur dinaikkan dan
masih diberi hadiah.
Zabur sudah
merasa cukup melanglang buana menimba pengalaman, lalu memohon pamit kembali ke
anak dan istrinya kerena telah lama ia tinggal pergi. Sang Prabu hatinya
terharu sewaktu mendengar Zabur pamit pulang. Sang Prabu memenuhi kehendak
Zabur dengan harapan nanti kembali lagi dengan membawa anak dan istrinya.
Karena itu barang-barang Zabur diminta tidak usah dibawa. Zabur lalu diberi
beberapa bekal untuk keperluannya di jlan dan kebutuhan anak dan istrinya,
termasuk bekalnya nanti saat kembali lagi.
***
Bangsa kita
saat ini sedang mengalami degradasi kejujuran, tentu jujur dalam hal apapun.
Boleh dikata jujur sudah menjadi barang langka, sangkin langkanya, disana sini
susah sekali menemukan sosok-sosok yang memiliki kejujuran. Lihat saja para
pejabat kita, sudah jelas mereka menyelewengkan uang negara, tetapi malah
mengelak. Akhirnya yang yang seharusnya digunakan untuk mensejahterakan Wong
Cilik raiblah sudah. Padahal, konon, pekerjaan mereka sejatinya untuk
menjalankan aspirasi rakyat dan mensejahterakan rakyat.
Negeri kita
saat ini memang sedang dilanda kemiskikan kejujuran. Padahal, kejujuran akan
mengalahkan kemujuran. Dengan kejujuran dari semua elemen, bangsa ini akan
menuai benih-benih kemakmuran.
Albert Hendra
Wijaya pernah mengatakan bahwa jujur adalah sebentuk pengakuan, perkataan dan
perbuatan untuk memberi informasi sesuai dengan kenyataan dan kebenaran. Oleh
karena itu, mulailah dari diri kita sendiri untuk berlaku jujur sangat bangsa
ini sedang miskin kejujuran. Tentu melakukan kejujuran dalam segala hal, meski
dari hal yang paling kecil, niscaya kelak kita akan menjadi insan yang mujur.
Kisah lama
juga mengajari kita arti jujur. Seorang raja hebat ingain mengabdikan dirinya
dalam bentuk lukisan. Maka ia meminta pelukis terhebat untuk membuat lukisan
sang raja. Setelah lukisan selesai, raja itu marah-marah. Sebab dalam lukisan
itu, tergambar jelas cacat sang raja, raja tidak memiliki daun telinga kiri.
Kemudian raja meminta dicarikan pelukis lain yang lebih hebat. Pelukis kedua
ini tentu saja telah belajar dari pengalaman pelukis pertama. Setelah selesai
lukisan raja, kembali sanga raja memandangi hasil lukisan. Dari lukisan itu
tampak jelas bahwa raja memiliki dua daun telinga yang utuh. Raja lebih marah
lagi, karena lukisan ini jelas tidak jujur.
Raja meminta
lagi untuk dicarikan pelukis yang lebih hebat lagi. Kali ini hadir peluku tua
yang berharap lebih bijaksana. Setelah selesai lukisan sang raja memeriksanya.
Semua yang hadir sangat taku bila raja kembali marah. Kali ini sang raja tampak
tersenyum. Lukisan dirinya tampak gagah dengan menghadap ke samping, sehingga
daun telinga kirinya tidak tampak, sedangkan telinga kanannya tampak sempurnya
sebagaimana adanya. (Rivaldo Forteri, belajar kepada
serigala)