Jumat, 14 Juli 2017

PANDANGAN YUSRIL IHZA MAHENDRA TENTANG PERPU NO. 2 TAHUN 2017

PERPU NO. 2 TAHUN 2017 LEBIH LEBIH KEJAM DARI PENJAJAH BELANDA, ORLA DAN ORBA
Oleh Yusril Ihza Mahendra
Masih banyak warga masyarakat dan bahkan pimpinan Ormas Islam yang gembira dengan terbitnya Perpu No 2 Tahun 2017.

Mereka mengira Perpu ini adalah Perpu tentang Pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia.

Padahal Perpu No. 2 Tahun 2017 ini adalah Perpu tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang isinya norma atau aturan tentang berbagai hal tentang organisasi kemasyarakatan. Perpu ini berlaku umum terhadap ormas apun juga di negara kita ini.
Perpu No. 2 Tahun 2017 ini memberikan peluang seluas-luasnya kepada Pemerintah, khususnya Mendagri dan Menkumham untuk menilai apakah suatu ormas itu antara lain "menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila" sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat (4) huruf c Perpu ini.
Terhadap ormas yang melanggar pasal di atas dijatuhi sanksi administratif dan/atau sanksi pidana. Jadi bisa dikenakan salah satu atau kedua-duanya. Sanksi administratif bagi ormas berbadan hukum yang terdaftar di Kemenhumkam sebagaimana diatur dalam Pasal 61 ayat (1) Perpu ini adalah "pencabutan status badan hukum" oleh Menkumham. Pencabutan status badan hukum tersebut, menurut Pasal 80A Perpu ini sekaligus disertai dengan pernyataan pembubaran ormas tersebut.
Semua proses di atas berlangsung cukup dilakukan oleh Menkumham, baik sendiri ataupun meninta pendapat pihak lain. Tetapi proses pembubaran ormas tersebut dilakukan Menkumham tanpa proses pengadilan. Inilah esensi perbedaan isi Perpu ini dengan UU No. 17 Tahun 2013, yang mewajibkan Menkumham untuk lebih dulu meminta persetujuan pengadilan jika ingin membubarkan ormas. Ormas yang akan dibubarkan itu berhak untuk membela diri di pengadilan.
Dengan Perpu yang baru ini, Menhumkam dapat membubarkan ormas semaunya sendiri. Ini adalah ciri pemerintahan otoriter. Dalam praktiknya nanti, Presiden bisa secara diam-diam memerintahkan Menkumham untuk membubarkan ormas, tanpa Menkumham bisa menolak kemauan Presiden.
Selain sanksi administratif seperti di atas, diberi sanksi pidana dapat dikenakan kepada "setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas yang dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung menganut faham yang bertentangan dengan Pancasila dan melanggar ketentuan Pasal 59 ayat (4) tadi dapat "dipidana seumur hidup atau pidana penjara penjara paling singkat 5 (lima tahun) dan paling lama 20 (dua puluh) tahun" dan dapat pula dikenai dengan pidana tambahan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ini diatur dalam Pasal 82A ayat (2) dan ayat (3). Ketentuan seperti ini sebelumnya tidak ada dalam UU No. 17 Tahun 2014 tentang Ormas.
Jadi kalau ormas itu punya anggota 1 juta orang, maka karena organisasinya dianggap bertentangan dengan Pancasila dan melanggar ketentuan Pasal 59 ayat (4) Perpu ini, maka 1 juta orang itu semuanya bisa dipenjara seumur hidup atau paling minimal penjara 5 tahun dan maksimal 20 tahun. Ketentuan seperti ini sepanjang sejarah hukum di negeri kita sejak zaman penjajahan Belanda sampai zaman Orla, Orba dan Reformasi belum pernah ada, kecuali di zaman Presiden Jokowi ini.
Terhadap parpol yang dibubarkan di zaman Orla seperti Masyumi dan PSI, atau PKI yang dibubarkan di awal zaman Orba, ketentuan untuk memenjarakan semua anggota parpol yang bertentangan dengan dasar negara Pancasila itu, tidak pernah ada. Kalau kepada partai yang dibubarkan saja, anggota-anggotanya tidak otomatis dipidana, apalagi terhadap anggota ormas yang dibubarkan di zaman Orla dan Orba.
Karena itulah saya mengingatkan ormas-ormas Islam yang sangat antusias dengan lahirnya Perpu ini, karena mengira Perpu ini adalah Perpu pembubaran HTI atau ormas-ormas Islam "radikal" agar hati-hati dalam mengambil sikap. Sebab, dengan Perpu ini, ormas manapun yang dibidik, bisa saja diciptakan opini negatif, lantas kemudian diberi stigma sebagai ormas "anti Pancasila" untuk kemudian secara sepihak dibubarkan oleh Pemerintah.
Ormas-ormas Islam dan juga ormas-ormas lain, termasuk yayasan dan LSM, justru harus bersatu melawan kehadiran Perpu yang bersifat otoriter ini, tentu dengan tetap menggunakan cara-cara yang sah dan konstitusional. Kepada partai-partai politik yang punya wakil di DPR, saya berharap mereka akan bersikap kritis terhadap Perpu ini. Telaah dengan mendalam isi beserta implikasi-implikasinya jika Perpu ini disahkan DPR menjadi undang-undang.
Belitung, 14 Juli 2017.

Kamis, 13 Juli 2017

TINGGI & RENDAH (Cara Melihat, Pemaknaan serta Perspektif)

Seringkali kita silang sengketa pendapat tentang sesuatu hal dalam kehidupan. Lajim pula bagi kita langsung menerjemahkan serta menjustifikasi sesuai selera dan keinginan kita. Juga terlalu sering 'memaksakan' pemahaman dan keinginan kita tentang sesuatu kepada orang lain. Termasuk mempropaganda dan mengagitasi orang lain untuk ikut serta manut dengan apa yang kita pahami.
Cara-cara seperti itu lumrah terjadi diberbagai sudut kehidupan, politik, ekonomi, sosial, budaya bahkan pada hal yang sangat sensitif seperti agama. 
Tentu kondisi ini memunculkan banyak tanya, misalkan kenapa orang melakukannya, apakah itu sikap kebanyakan masyarakat, apa yang melatarbelakangan sikap-sikap itu tumbuh subur. Dan Big Question-nya, bahwa Indonesia adalah negara beragama sebagaimana amanah dari nilai pancasila pertama - Ketuahanan Yang Maha Esa - apakah nilai keagamaan masyarakat Indonesia sudah luntur?

Bila melihat gambar ini, Apa Yang Anda Pikirkan? Mungkin saja anda mengatakan, "Ada gedung yang tinggi dan ada yang rendah", atau "Gedung yang ditengah tampak rendah dibanding gedung lain" atau "Seharusnya gedung yang di tengah ditinggikan agar sama dengan disebelahnya" atau justru ada melihat dari arsitekturnya "Kalau pun tidak terlalu tinggi, tapi gedung di tengah tampah lebih indah" atau dilihat dari penghuninya, "Gedung di tengah ditempat para pejabat penting daerah ini, sementara gedung lain masyarakat biasa" atau melihat dari fungsinya, "Gedung di tengah adalah pusat pemerintah daerah, sementara gedung lain ada pusat perbelanjaan, hotel, apartemen, dan lainnya".
Ternyata semua yang anda pikirkan tentang gambar tersebut memiliki kebenaran, tapi bukan kebenaran mutlak. Artinya kalau kita berangkat dan cara melihat, pemaknaan dan perspektif yang anda bangun. Namun kalau menggunakan cara melihat, pemaknaan dan perspektif orang lain, bisa saja anda benar atau malah salah besar. Oleh karena itu, anda harus memiliki daya kompromi luar biasa agar tidak mengatakan orang lain ini itu dan itu ini. 
Begitu jugalah kita dalam melakoni kehidupan. Tentu kita harus mampu menahan diri sembari mempernyakan ilmu pengetahuan, meningkatkan wawasan serta menyuburkan baik sangka (khusnu zon), tidak hanya kepada sesama makhluk tapi juga kepada Sang Maha Pencipta Allah Swt.
Ketika bertemu seorang pengemis dan gelandangan misalnya, jangan buru-buru mengatakan "Dasar pemalas, taunya hanya minta-minta padahal badannya sehat dan kekar". Ada baiknya anda teliti dan selidiki dahulu, kenapa dia sampai menjadi pengemis dan gelandangan. Demikian hal ketika melihat seorang buruh kasar, lalu berkata, "Itulah akibat kalau tidak mau sekolah, melawan pada orangtua dan lain sebagainya" atau saat bertemu seorang pekerja seks komersial (PSK), tahan diri anda agar tidak mengatakan, "Dasar tidak bermoral, lemah agama, malas mencari pekerjaan lain, dan lain sebagainya".
Sebelum melontarkan itu semua, tentu sangat lebih arif dan bijaksana anda menjalan kemunikasi dengan yang bersangkutan, tanya kenapa menjadi seperti itu, dan lebih baiknya lagi berikan solusi dan jalan keluar. 
Kan bukan tidak mungkin, dia menjadi pengemis dan gelandangan karena keluarga sudah tidak ada lagi, dan belum ada yang rela membantunya (cara melihat, pemaknaan dan perspektif pengemis dan gelandangan, boleh jadi). Kan menjadi buruh kasar, bukan karena tidak berpendidikan atau tak punya skil. Tapi karena sempitnya lapangan pekerjaan di tengah kerasnya persaingan kehidupan (cara melihat, pemaknaan dan perspektif buruh kasar, boleh jadi). Menjadi PSK, bukan karena tak bermoral, bukan lemah agama dan malas mencari pekerjaan lain. Tapi itu terjadi karena terjebak, tuntutan ekonomi, tidak ada perusahaan yang bersedia menerima dan demi kelangsungan hidup, (lagi-lagi cara melihat, pemaknaan dan perspektif PSK, boleh jadi).  
Intinya tinggi dan rendahnya sesuatu, sangat tergantung dari mana kita melihatnya, seperti apa kita memaknainya dan perspektif apa yang kita bangun. Apalagi kalau kita melakukan pendekatan nilai-nilai agama Islam. Sebuah hadis yang diriwayatkan Muslim menjelaskan : 

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: (إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ). رواه مسلم
Artinya: Dari Abu Hurairah  ia berkata, Rasulullah  bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa kalian dan harta kalian akan tetapi Dia melihat kepada hati-hati kalian dan perbuatan-perbutan kalian.” (HR. Muslim)
Hadis ini mengajarkan kita, bahwa kemuliaan seseorang tidak ditentukan tinggi rendahnya (baik harta, jabatan, status, pekerjaan atau paras rupawan dan cantik jelita-nya seseorang). Tapi justru yang dilihat adalah hati dan perbuatan kita.
So...mari bersikap lebih arif, bijaksana dan tentu adil, sehingga kita tidak saja pandai melihat, memaknai dan membangun perspektif tentang sesuatu, tapi juga pandai melihat, memaknai serta menghargai perspektif yang dibangun orang lain. Semoga bermanfaat dan tulisan ini tidak dibuat untuk menyinggung apalagi mendeskriditkan orang atau kelempok tentu. wallau a'lam bishawaf.