“Ya, beban seorang
pemimpin itu seperti ban atau roda pesawat. Praktis semua beban pada akhirnya
seolah-olah ditumpukan kepadanya. Apalagi sedang ada masalah berat, ibarat
seperti pesawat mau mendarat. Kalau tidak mampu, seperti ban pesawat, ya pecah
meletus. Kalau ia pandai dan mampu, ya, akan mulus-mulus saja. Yang dipimpin
juga akan marasa nyaman, senyaman kala kita ketika mendarat dengan mulus karena
pilotnya begitu handal,”
***
Hari itu mereka bertiga;
Rubi, Herma dan Kinung hendak pergi keluar kota. Rencananya mau mengajak
keluarga, namun karena anak-anak ujian, terpaksa mereka berbagi tugas dengan
istri dan suami masing-masing. Apalagi mereka pergi cukup lama, 3-4 hari,
memenuhi undangan salah satu sahabat baik mereka, Mitha yang mau mantu,
menikahkan anak pertamanya.
Sambil menunggu naik
pesawat, mereka duduk-duduk santai di longue, sambil
berbincang dan menyantap makanan kecil. Dari kaca pembatas, sesekali mereka
bisa melihat pesawat yang takeoff maupun landing.
Tiba-tiba Herma berkata, “Coba perhatikan, ban pesawat itu begitu kecil,
jumlahnya pun cuma enam, dua di depan dan empat dibelakang. Tapi beban pesawat,
penumpang dan bagasi yang begitu berat mampu ditahannya. Sungguh hebat ban
pesawat itu!
“Itu tidak seberapa Ma,
coba perhatikan kalau sedang mendarat, betapa besar beban dan gesekan yang
terjadi. Itu bisa berlipat kali, dibanding dalam keadaan statis. Tapi ban itu
kuat dan tidak pecah. Padahal ban truk-truk gandeng yang jumlahnya belasan,
kerap kali harus diganti, hebat memang ban pesawat itu,” komentar Kinung
menimpali.
“Ya kualitas bannya
memang beda Nung, mungkin harganya juga berlipat-lipat,” Herma menyatakan
pendapatnya.
“Betul. Juga kualitas
aspal landasan beda dengan jalan raya kita yang amat banyak lubangnya disana
sini. Belum lagi dikala musim hujan,”imbuh Kinung.
“Tapi aku kepikiran
ucapanmu tadi, Nung. Ketika pesawat itu mendarat, kan bebannya jadi berlipat.
Kok ban itu begitu kuatnya ya? Hebat benar kualitasnya,” kata Herma sambil
menerawang ke atas pewasat yang sedang hilir mudik.
“Ya benar. Hebat,” jawab
Kinung.
“Ada banyak factor
penyebab,” kata Rubi yang selama ini diam saja. Pertama, benar
seperti kata Herma, kualitas ban pesawat memang istimewa. Kedua,
juga benar yang dikatakan Kinung, kualitas landasan pacu jauh lebih bagus
ketimbang jalan raya. Ketiga keahlian dari si pilot itu
sendiri ketika mendaratkan pesawatnya. Begitu terlatih, sehingga gesekan yang
terjadi paling minimal. Akibatnya berat pesawat tidak serta merta terbebankan
langsung ke bawah, namun diimbangi putaran ban yang bundar. Dengan kata lain,
berat yang ada tersebar, terbagi oleh putaran roda. Faktor keempat,
ya bentuk roda yang bundar itu, sehingga bisa berputar sempurna, membagi beban
secara sempurna dan menetralisirnya.”
“Hebat. Betul analisa mu
Rub,” kata Kinung.
“Jadi intinya
terbagi dan tersebar?!”, kata Herma setengah bertanya.
“Ya,” Jawab Rubi sambil
sedikit menganggukkan kepalanya pelan-pelan.
“Terus..?”, kata Herma
memancing Rubi seperti biasanya.
“Apa maknanya?”
“Maknanya, hahaha…, kamu
ini senangnya mengkait-kaitkan”, jawab Rubi.
“Ayo ceritakan donk, apa
yang tiba-tiba ada di kepalamu Rub. Aku kan hafal benar dengan kehebatan mu
itu.”kata Herma setengah merajuk manja.
“Ayo Rub, mumpung masih
ada waktu nih, kamu tak mungkin menghindar dari tebakan Herma,” desak Kinung.
“Terlintas di benakku
kaitan antara ban pesawat dan kepemimpinan,” kata Rubi sungguh-sungguh.
“Wah-wah-wah, sampai
sejauh itu Rub?,” kata Kinung.
“Ya, beban seorang
pemimpin itu seperti ban atau roda pesawat. Praktis semua beban pada akhirnya
seolah-olah ditumpukan kepadanya. Apalagi sedang ada masalah berat, ibarat
seperti pesawat mau mendarat. Kalau tidak mampu seperti ban pesawat, ya pecah
meletus. Kalau ia pandai dan mampu, ya, akan mulus-mulus saja. Yang dipimpin
juga akan marasa nyaman, senyaman kala kita mendarat dengan mulus karena
pilotnya begitu handal,” papar Rubi lancar seperti biasanya.
“Cek-cek-cek, Rubi,
Rubi, itulah sebabnya aku begitu kagum, cinta, hormat, saying dan sebagainya
dan sebagainya kepada mu. Jauh melewati rasa cinta seorang wanita kepada
laki-laki,”puji Herma dengan mata berbinar-binar. “Hahaha, Rub, seandainya kamu
dulu menyatakan cinta padanya, aku yakin akan diterima dengan tangan terbuka”,
canda Kinung sambil tertawa. “Bahkan jika dilakkan sekarang pun, tetap akan
diterima dengan suka cita,”sambung Kinung dengan tertawa nakal. “
Husssh, mungkin bisa
begitu, tapi jangan terjadi ya Rub. Persahabatan kita jauh melebihi itu
semua,”Herma berkata sungguh-sungguh.
Dengan tersenyum Rubi
meneruskan penjelasannya, “Pemimpin yang baik bisa belajar dari ban pesawat
itu. Ia harus bisa menahan beban dan membaginya, beban atau tanggungjawab
seberat apapun akan terasa ringan bila dibagi. Dibagi dengan memberi delegasi
wewenang dan tanggungjawab yang jelas, seperti pencapaian kinerja yang baik.
Ibaratnya seperti beban pesawat yang terbagi oleh putaran ban yang sempurna dan
laju pesawat itu sendiri. Bagaimana membaginya agar adil dan merata? Ya,
seperti ban yang bulat sempurna. Adil! Namun kenapa bisa sempurna, karena roda
atau bannya berputar.
Nah putaran itu ibarat
kerja, meski bundar kalau statis atau tidak berkinerja, ya berat dan tetap bisa
meletus. Terus, seperti kata Kinung jalannya harus baik. Ibaratnya konstitusi
kalau bicara Negara atau AD/ART kalau bicara organisasi, harus baik pula. Dan
seperti Herma, kualitas ban alias kualitas sang pemimpin itu sendiri, amat
sangat menentukan,” pungkas Rubi menutup uraiannya. (bertambah bijak setiap
hari, Tuhan sudah pindah alamat?)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar