SETIAP manusia memilik
faktor–faktor pembawa keberuntungan dalam dirinya. Namun tidak jarang ada
faktor–taktor indefinit yang tidak bisa diuraikan menjadi sebuah alasan konkrit
kenapa seorang manusia bisa berjalan tegak menghadapi hidup.
Terkadang di dalam
menjalani hidup, kita memerlukan sesorang yang mampu memberikan dukungan. Mampu
menjadi pasak dalam mengokohkan fondasi. Banyak yang sepakat bahwa sahabat
adalah salah satu faktor pembentuk karakter, pembantu dalam kesusahan atau
bahkan sebagai faktor keberuntungannya dalam mendapatkan gol-gol dalam
hidupnya.
Dewasa kini, banyak kaula
muda yang salah dalam menumbuhkan persepsi dibenak pikiran mereka. Mereka hanya
mengira sahabat adalah seseorang atau sekelompok orang yang berasal dari
lingkungan luar keluarga, lingkungan pendidikan atau lingkungan pergaulan.
Padahal, secara praktis
mereka melupakan suatu sosok magis multi fungsional yang berasal dari ruang
lingkup terdekat dalam diri mereka. Dialah sesosok perempuan yang tak pernah
menghitung berapa besar keuntungan maupun kerugian dalam berinvestasi tenaga,
pikiran maupun finansial dalam menyokong, membantu maupun berinvestasi demi kebaikan
orang yang dia bela.
Tidak lain dan tidak
bukan, dialah Ibu, sosok yang rela menahan air mata demi dapat memberikan
kebahagiaan kepada anak-anaknya, sosok yang mampu menahan bau keringat yang
keluar dari badannya demi memprioritaskan kebutuhan anak-anaknya, sosok yang
rela menjadi pendengar gratis demi buah hati tercintanya.
Tiada sepeser imbalan pun
yang ia fikirkan ketika ia membuang waktunya hanya untuk mendengar keluh kesah
anak-anaknya. Tiada sedetik waktupun ia anggap percuma ketika membiarkan anak-anaknya
mengeluarkan keluh kesah dan gunda gulana yang mereka tumpahkan di depan Ibunya.
Karena seorang Ibu hanya memikirkan satu prinsip jitu dalam hidupnya, ia hanya
menginginkan kebahagian untuk anak-anaknya, walau nyawa menjadi taruhannya.
Terkadang saya sebagai
seorang perempuan merasa iba dikala melihatnya telah terbangun dikala ayam
belum berkokok dan tertidur dikala larut malam. Ia terlihat gesit menyiapkan
segala hal yang menjadi kebutuhan dankeperluan keluarga, belum lagi melihat
tingkah laku adik-adik yang suka membuat Ibu kesal dengan tingkah mereka.
Tapi apa yang kudapat
darinya, ia hanya berkata, Ibu seperti ini demi kalian, ayo bantu ibu,
tingkatkan kedisiplinan kalian dalam mengatur hidup. Malam itu ketika adik-adik
sudah tertidur, kupandangi sesosok wanita yang mulai tua, kulihat rambut-rambut
dikepalanya yang tidak lagi putih semua.
Kulihat kulit yang tak
lagi kencang, kulihat kantung mata yang terlihat menahan kantuk, kudatangi ia
dan kutanya, “kenapa Ibu belum juga tidur?”, jawabnya hanya singkat, “sudahkamu
tidur saja, jangan pedulikan Ibu. Ibu sedang memiliki banyak pekerjaan yang
harus segera diselesaikan”.
Spontan, kupeluk ia,
sambil kuelus punggungnya, “sabar ya Bu, Purnama akan belajar yang lebih baik
lagi agar bisa membantu Ibu dan adik-adik”. Kerap kali diriku tak kuasa melihat
kondisi dan rutinitas yang selalu Ibu lalui tiap harinya, selalu letih, lelah,
dan penat terlihat dari wajahnya, namun tak sepatah katapun yang berirama
lelah, ia hanya mengucapkan Ibu harus bisa, ini semua demi kalian.
Lantas pantaskah Ibu
disebut sebagai sahabat? Tentu, kalian sudah dapat menerka jawabannya, Ia lebih
darisekedar sahabat, Ia bagaikan perpanjangan tangan Tuhan yang diturunkan ke
Bumi untuk kami, rela bernafas terengah-engah hanya demi membuat anak-anaknya
tersenyum disuatu hari yang kita tidak tahu kapan datang, satu yang aku ketahui
di dalam hidup, semua akan indah bila waktunya telah tiba. (tulisan Khofifah Purnama Fasya, Mahasiswa
Fakultas Syairah dan Hukum UIN Sumut)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar