Jumat, 29 Desember 2017

IBU ADALAH SAHABAT

SETIAP manusia memilik faktor–faktor pembawa keberuntungan dalam dirinya. Namun tidak jarang ada faktor–taktor indefinit yang tidak bisa diuraikan menjadi sebuah alasan konkrit kenapa seorang manusia bisa berjalan tegak menghadapi hidup.
Terkadang di dalam menjalani hidup, kita memerlukan sesorang yang mampu memberikan dukungan. Mampu menjadi pasak dalam mengokohkan fondasi. Banyak yang sepakat bahwa sahabat adalah salah satu faktor pembentuk karakter, pembantu dalam kesusahan atau bahkan sebagai faktor keberuntungannya dalam mendapatkan gol-gol dalam hidupnya.
Dewasa kini, banyak kaula muda yang salah dalam menumbuhkan persepsi dibenak pikiran mereka. Mereka hanya mengira sahabat adalah seseorang atau sekelompok orang yang berasal dari lingkungan luar keluarga, lingkungan pendidikan atau lingkungan pergaulan.
Padahal, secara praktis mereka melupakan suatu sosok magis multi fungsional yang berasal dari ruang lingkup terdekat dalam diri mereka. Dialah sesosok perempuan yang tak pernah menghitung berapa besar keuntungan maupun kerugian dalam berinvestasi tenaga, pikiran maupun finansial dalam menyokong, membantu maupun berinvestasi demi kebaikan orang yang dia bela.
Tidak lain dan tidak bukan, dialah Ibu, sosok yang rela menahan air mata demi dapat memberikan kebahagiaan kepada anak-anaknya, sosok yang mampu menahan bau keringat yang keluar dari badannya demi memprioritaskan kebutuhan anak-anaknya, sosok yang rela menjadi pendengar gratis demi buah hati tercintanya.
Tiada sepeser imbalan pun yang ia fikirkan ketika ia membuang waktunya hanya untuk mendengar keluh kesah anak-anaknya. Tiada sedetik waktupun ia anggap percuma ketika membiarkan anak-anaknya mengeluarkan keluh kesah dan gunda gulana yang mereka tumpahkan di depan Ibunya. Karena seorang Ibu hanya memikirkan satu prinsip jitu dalam hidupnya, ia hanya menginginkan kebahagian untuk anak-anaknya, walau nyawa menjadi taruhannya.
Terkadang saya sebagai seorang perempuan merasa iba dikala melihatnya telah terbangun dikala ayam belum berkokok dan tertidur dikala larut malam. Ia terlihat gesit menyiapkan segala hal yang menjadi kebutuhan dankeperluan keluarga, belum lagi melihat tingkah laku adik-adik yang suka membuat Ibu kesal dengan tingkah mereka.
Tapi apa yang kudapat darinya, ia hanya berkata, Ibu seperti ini demi kalian, ayo bantu ibu, tingkatkan kedisiplinan kalian dalam mengatur hidup. Malam itu ketika adik-adik sudah tertidur, kupandangi sesosok wanita yang mulai tua, kulihat rambut-rambut dikepalanya yang tidak lagi putih semua.
Kulihat kulit yang tak lagi kencang, kulihat kantung mata yang terlihat menahan kantuk, kudatangi ia dan kutanya, “kenapa Ibu belum juga tidur?”, jawabnya hanya singkat, “sudahkamu tidur saja, jangan pedulikan Ibu. Ibu sedang memiliki banyak pekerjaan yang harus segera diselesaikan”.
Spontan, kupeluk ia, sambil kuelus punggungnya, “sabar ya Bu, Purnama akan belajar yang lebih baik lagi agar bisa membantu Ibu dan adik-adik”. Kerap kali diriku tak kuasa melihat kondisi dan rutinitas yang selalu Ibu lalui tiap harinya, selalu letih, lelah, dan penat terlihat dari wajahnya, namun tak sepatah katapun yang berirama lelah, ia hanya mengucapkan Ibu harus bisa, ini semua demi kalian.
Lantas pantaskah Ibu disebut sebagai sahabat? Tentu, kalian sudah dapat menerka jawabannya, Ia lebih darisekedar sahabat, Ia bagaikan perpanjangan tangan Tuhan yang diturunkan ke Bumi untuk kami, rela bernafas terengah-engah hanya demi membuat anak-anaknya tersenyum disuatu hari yang kita tidak tahu kapan datang, satu yang aku ketahui di dalam hidup, semua akan indah bila waktunya telah tiba. (tulisan Khofifah Purnama Fasya, Mahasiswa Fakultas Syairah dan Hukum UIN Sumut)   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar