Seringkali kita silang sengketa pendapat tentang sesuatu hal dalam kehidupan. Lajim pula bagi kita langsung menerjemahkan serta menjustifikasi sesuai selera dan keinginan kita. Juga terlalu sering 'memaksakan' pemahaman dan keinginan kita tentang sesuatu kepada orang lain. Termasuk mempropaganda dan mengagitasi orang lain untuk ikut serta manut dengan apa yang kita pahami.
Cara-cara seperti itu lumrah terjadi diberbagai sudut kehidupan, politik, ekonomi, sosial, budaya bahkan pada hal yang sangat sensitif seperti agama.
Tentu kondisi ini memunculkan banyak tanya, misalkan kenapa orang melakukannya, apakah itu sikap kebanyakan masyarakat, apa yang melatarbelakangan sikap-sikap itu tumbuh subur. Dan Big Question-nya, bahwa Indonesia adalah negara beragama sebagaimana amanah dari nilai pancasila pertama - Ketuahanan Yang Maha Esa - apakah nilai keagamaan masyarakat Indonesia sudah luntur?
Bila melihat gambar ini, Apa Yang Anda Pikirkan? Mungkin saja anda mengatakan, "Ada gedung yang tinggi dan ada yang rendah", atau "Gedung yang ditengah tampak rendah dibanding gedung lain" atau "Seharusnya gedung yang di tengah ditinggikan agar sama dengan disebelahnya" atau justru ada melihat dari arsitekturnya "Kalau pun tidak terlalu tinggi, tapi gedung di tengah tampah lebih indah" atau dilihat dari penghuninya, "Gedung di tengah ditempat para pejabat penting daerah ini, sementara gedung lain masyarakat biasa" atau melihat dari fungsinya, "Gedung di tengah adalah pusat pemerintah daerah, sementara gedung lain ada pusat perbelanjaan, hotel, apartemen, dan lainnya".
Ternyata semua yang anda pikirkan tentang gambar tersebut memiliki kebenaran, tapi bukan kebenaran mutlak. Artinya kalau kita berangkat dan cara melihat, pemaknaan dan perspektif yang anda bangun. Namun kalau menggunakan cara melihat, pemaknaan dan perspektif orang lain, bisa saja anda benar atau malah salah besar. Oleh karena itu, anda harus memiliki daya kompromi luar biasa agar tidak mengatakan orang lain ini itu dan itu ini.
Begitu jugalah kita dalam melakoni kehidupan. Tentu kita harus mampu menahan diri sembari mempernyakan ilmu pengetahuan, meningkatkan wawasan serta menyuburkan baik sangka (khusnu zon), tidak hanya kepada sesama makhluk tapi juga kepada Sang Maha Pencipta Allah Swt.
Ketika bertemu seorang pengemis dan gelandangan misalnya, jangan buru-buru mengatakan "Dasar pemalas, taunya hanya minta-minta padahal badannya sehat dan kekar". Ada baiknya anda teliti dan selidiki dahulu, kenapa dia sampai menjadi pengemis dan gelandangan. Demikian hal ketika melihat seorang buruh kasar, lalu berkata, "Itulah akibat kalau tidak mau sekolah, melawan pada orangtua dan lain sebagainya" atau saat bertemu seorang pekerja seks komersial (PSK), tahan diri anda agar tidak mengatakan, "Dasar tidak bermoral, lemah agama, malas mencari pekerjaan lain, dan lain sebagainya".
Sebelum melontarkan itu semua, tentu sangat lebih arif dan bijaksana anda menjalan kemunikasi dengan yang bersangkutan, tanya kenapa menjadi seperti itu, dan lebih baiknya lagi berikan solusi dan jalan keluar.
Kan bukan tidak mungkin, dia menjadi pengemis dan gelandangan karena keluarga sudah tidak ada lagi, dan belum ada yang rela membantunya (cara melihat, pemaknaan dan perspektif pengemis dan gelandangan, boleh jadi). Kan menjadi buruh kasar, bukan karena tidak berpendidikan atau tak punya skil. Tapi karena sempitnya lapangan pekerjaan di tengah kerasnya persaingan kehidupan (cara melihat, pemaknaan dan perspektif buruh kasar, boleh jadi). Menjadi PSK, bukan karena tak bermoral, bukan lemah agama dan malas mencari pekerjaan lain. Tapi itu terjadi karena terjebak, tuntutan ekonomi, tidak ada perusahaan yang bersedia menerima dan demi kelangsungan hidup, (lagi-lagi cara melihat, pemaknaan dan perspektif PSK, boleh jadi).
Intinya tinggi dan rendahnya sesuatu, sangat tergantung dari mana kita melihatnya, seperti apa kita memaknainya dan perspektif apa yang kita bangun. Apalagi kalau kita melakukan pendekatan nilai-nilai agama Islam. Sebuah hadis yang diriwayatkan Muslim menjelaskan :
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: (إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ). رواه مسلم
Artinya: Dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa kalian dan harta kalian akan tetapi Dia melihat kepada hati-hati kalian dan perbuatan-perbutan kalian.” (HR. Muslim)
Hadis ini mengajarkan kita, bahwa kemuliaan seseorang tidak ditentukan tinggi rendahnya (baik harta, jabatan, status, pekerjaan atau paras rupawan dan cantik jelita-nya seseorang). Tapi justru yang dilihat adalah hati dan perbuatan kita.
So...mari bersikap lebih arif, bijaksana dan tentu adil, sehingga kita tidak saja pandai melihat, memaknai dan membangun perspektif tentang sesuatu, tapi juga pandai melihat, memaknai serta menghargai perspektif yang dibangun orang lain. Semoga bermanfaat dan tulisan ini tidak dibuat untuk menyinggung apalagi mendeskriditkan orang atau kelempok tentu. wallau a'lam bishawaf.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar