Kesalahan
seorang pemimpin seperti gerhana, dimana secara luas semua orang dapat
melihatnya. Pemimpin yang berani meminta maaf dan terbuka atas kesalahannya,
pasti akan mendapat simpati luas dari masyarakat. Dan yang paling penting, akan
menginspirasi banyak orang untuk berani bersikap jujur”
Di negeri ini, banyak orang
berlomba-lomba ingin menjadi pemimpin, sampai ngotot dan menempuh segala cara.
Apa yang sesungguhnya mereka cari, apa motivasinya, dan apa tujuan mereka
habis-habisan merebut kepemimpinan tersebut?
Padahal mereka semua pasti mengetahui, menjadi
pemimpin memang tidaklah mudah, apalagi kalau memimpin sebuah institusi besar,
seperti Negara atau Provinsi dll. Ia tidak lagi punya kehidupan pribadi/private. Apa saja yang menimpa dirinya selalu dikait-kaitkan dengan
jabatannya. Ada teman yang salah, pasti dihubungkan dengan dirinya. Gaduh, di
tengah-tengah keramaian, bagi diri seorang pemimpin, sejatinya ia amat
kesepian. Seperti rajawali yang hidup menyendiri, demikian juga dengan
kehidupan seorang pemimpin.
Semakin tinggi sebuah jabatan, semakin
berat beban yang dipikul. Secara logika, tentu semakin besar kemungkinan
jasa dan atau kesalahan yang mungkin diperbuatnya. Seorang yang
bertanggungjawab membawa seratus butir telur, resiko kesalahan terbesarnya
adalah pecahnya seratus telur. Namun jika tanggungjawabnya meningkat menjadi satu
truk telur, resikonya akan semakin besar pula, demikian seterusnya.
Oleh karena itu, cara paling objektif
menilai seorang pemimpin, jangan hanya melihat kesalahan dan dosanya saja.
Karena kemungkinan kesalahan dan dosa yang diperbuatnya pastilah berskala besar.
Penilaian harus seimbang dan memperhatikan kondisi objektif pada saat tindakan
yang mengakibatkan kesalahan itu terjadinya. Seba bisa saja, pada saat itu,
kondisinya sangat sulit.
Sekarang bagaimana sikap terbaik jika seorang pemimpin berbuat salah? Secara objektif dan jujur ia harus berani
bertanggungjawab. Dengan hati yang lapang, ia meminta maaf secara tulus dan
terbuka, menjelaskan duduk perkara secara gamblang, namun bukan untuk membela
diri. Seperti gerhana yang bisa dilihat banyak orang secara luas, demikian
halnya dengan kesalahan seorang pemimpin. Semua orang bisa melihat, namun kalau
ia berani meminta maaf secara terbuka pula, rakyat pun akan menerimanya dengan
baik, selama kesalahan itu memang tidak disengaja dan atau tidak terkait dengan
kepentingan pribadinya.
Apakah nasehat ini dapat diterapkan
secara efektif untuk kondisi saat ini? Hanya waktulah yang dapat membutikannya.
Sebab masyarakat saat ini telah mengalami pergeseran nilai-nilai yang amat
signifikan. Namun sejatinya, orang baik dan jujur jumlahnya tetap lebih banyak.
Untuk membuktikan hal itu dapat kita cermati dari tiga contoh kasus yang
mungkin pernah kita alami.
Pertama,
coba kita perhatikan warung-warung makan kecil di pinggir jalan. Sesekali
datanglah berkunjung dan pilih warung yang paling ramai, sambil menikmati
makanan yang disajikan. Lalu coba kita amati perilaku para pembeli. Ada berapa
banyak yang tidak jujur? Makan tiga mengaku dua, makan lima mengaku tiga? Pasti
ada, tapi tidak banyak! Dan kalau kita hitung kerugian yang ditimbulkannya
tentu masih relative kecil, jika dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh.
Sebab jika kerugiannya lebih besar, dapat dipastikan warung makan itu telah
lama tutup alias bangkrut. Apa artinya itu, bahwa orang yang baik dan jujur
masih lebih banyak.
Kedua,
saat jalan-jalan tentu kita pernah tersesat dan tidak tahu posisi alamat yang
dicari, lalu kita bertanya beberapa kali untuk menemukan alamat tersebut. Dari
jawaban-jawaban yang diberikan orang yang kita tanya, dapat diambil kesimpulan
bahwa masih lebih banyak orang yang baik hati mau menjawab dengan
sungguh-sungguh dan jujur, ketimbang yang tidak. Bahkan seringkali, orang yang
kita tanya menyempatkan diri untuk menuntun ke alamat yang dituju tanpa pamrih,
disaat kita keliru menuju arah yang ditunjukkannya.
Ketiga,
saat kita melakukan transaksi tentu pernah membayar lebih tanpa kita ketahui,
baik di pusat perbelanjaan, jalan tol, restoran, pada supir taksi dan lain
sebagainya. Mereka dengan jujur mengembalikan kelebihan pembayaran kita, bahkan
ada yang mengembalikannya beberapa waktu kemudian saat bertemu. Inilah
bukti-bukti yang menunjukkan kesimpulan dan kenyakinan kita bahwa orang baik
dan jujur masih lebih banyak jumlahnya.
Atas dasar itu, saya yakin bahwa bila
seorang pemimpin secara terbuka berani menyampaikan kekeliruan dan
kekurangannya, dia justru akan semakin mendapat simpati dari yang dipimpinnya,
maupun orang lain di luar komunitas dan kelompoknya. Selain itu, tindakan ini
akan menginspirasi banyak orang untuk berani jujur dan berperilaku positif.
Memang tak dapat dipungkiri, tindakan
semacam ini itu bisa ‘dibakar’, dikobar-kobarkan secara negative dan luas oleh
orang-orang yang punya kepentingan lain. Apalagi kalau menggunakan media massa.
Namun sejarah telah membuktikan bahwa tidak ada kebohongan yang bisa
berlangsung lama; tidak ada kebohongan yang bisa membohongi orang banyak.
Faktanya sifat jujur dan kesatria pasti akan memperoleh simpati luas.
Oleh karena itu, mulai saat ini kita
semua harus terus memupuk dan menumbuhkan jiwa kesatria, jujur, berani dan
terbuka. Tidak ada manusia yang sempurna dan kekeliruan itu adalah sesuatu yang
lumrah. Namun keberanian untuk mengakui kesalahan dan memperbaikinya, itu nilai
dasar yang mutlak harus dimiliki orang perorang dan atau bangsa yang ingin
bergerak maju.
Rasa takut bersalah akan menghambat laju
langkah kita ke depan, sementara rasa takut untuk mengakui kesalahan akan
menjebak kita pada kesalahan-kesalahan lain yang justru jauh lebih besar.
Sesungguhnya kesalahan adalah ketika kita berbuat salah namun tak berani
mengakui dan mengoreksinya.
Al Qur’an telah mengajarkan kepada kita
bahwa setiap kesalahan harus dibarengi dengan perbuatan yang baik, sebab memang
manusia adalah tempatnya salah dan lupa. Selain itu, setiap perbuatan ada
nilainya di mata Allah, “Famayya’mal
mistqola dzarrotin khoiroyyaroh, wamayya’mal mistqola dzarrotin sarroyyaroh” (maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat
zarrah, niscaya ia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa mengerjakan
kejahatan seberat zarrah, niscara ia akan melihat (balasan)nya. (QS : al
Zalzalah ; 7-8). (Budi S.Tanuwibowo, bertambah bijak setiap hari…/Mursal
Harahap).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar