Rabu, 11 Mei 2016

UMPAMA GERHANA

Kesalahan seorang pemimpin seperti gerhana, dimana secara luas semua orang dapat melihatnya. Pemimpin yang berani meminta maaf dan terbuka atas kesalahannya, pasti akan mendapat simpati luas dari masyarakat. Dan yang paling penting, akan menginspirasi banyak orang untuk berani bersikap jujur”

Di negeri ini, banyak orang berlomba-lomba ingin menjadi pemimpin, sampai ngotot dan menempuh segala cara. Apa yang sesungguhnya mereka cari, apa motivasinya, dan apa tujuan mereka habis-habisan merebut kepemimpinan tersebut?
Padahal mereka semua pasti mengetahui, menjadi pemimpin memang tidaklah mudah, apalagi kalau memimpin sebuah institusi besar, seperti Negara atau Provinsi dll. Ia tidak lagi punya kehidupan pribadi/private. Apa saja yang menimpa dirinya selalu dikait-kaitkan dengan jabatannya. Ada teman yang salah, pasti dihubungkan dengan dirinya. Gaduh, di tengah-tengah keramaian, bagi diri seorang pemimpin, sejatinya ia amat kesepian. Seperti rajawali yang hidup menyendiri, demikian juga dengan kehidupan seorang pemimpin.
Semakin tinggi sebuah jabatan, semakin berat beban yang dipikul. Secara logika, tentu semakin besar kemungkinan jasa dan atau kesalahan yang mungkin diperbuatnya. Seorang yang bertanggungjawab membawa seratus butir telur, resiko kesalahan terbesarnya adalah pecahnya seratus telur. Namun jika tanggungjawabnya meningkat menjadi satu truk telur, resikonya akan semakin besar pula, demikian seterusnya.
Oleh karena itu, cara paling objektif menilai seorang pemimpin, jangan hanya melihat kesalahan dan dosanya saja. Karena kemungkinan kesalahan dan dosa yang diperbuatnya pastilah berskala besar. Penilaian harus seimbang dan memperhatikan kondisi objektif pada saat tindakan yang mengakibatkan kesalahan itu terjadinya. Seba bisa saja, pada saat itu, kondisinya sangat sulit.
Sekarang bagaimana sikap terbaik jika seorang pemimpin berbuat salah? Secara objektif dan jujur ia harus berani bertanggungjawab. Dengan hati yang lapang, ia meminta maaf secara tulus dan terbuka, menjelaskan duduk perkara secara gamblang, namun bukan untuk membela diri. Seperti gerhana yang bisa dilihat banyak orang secara luas, demikian halnya dengan kesalahan seorang pemimpin. Semua orang bisa melihat, namun kalau ia berani meminta maaf secara terbuka pula, rakyat pun akan menerimanya dengan baik, selama kesalahan itu memang tidak disengaja dan atau tidak terkait dengan kepentingan pribadinya.
Apakah nasehat ini dapat diterapkan secara efektif untuk kondisi saat ini? Hanya waktulah yang dapat membutikannya. Sebab masyarakat saat ini telah mengalami pergeseran nilai-nilai yang amat signifikan. Namun sejatinya, orang baik dan jujur jumlahnya tetap lebih banyak. Untuk membuktikan hal itu dapat kita cermati dari tiga contoh kasus yang mungkin pernah kita alami.
Pertama, coba kita perhatikan warung-warung makan kecil di pinggir jalan. Sesekali datanglah berkunjung dan pilih warung yang paling ramai, sambil menikmati makanan yang disajikan. Lalu coba kita amati perilaku para pembeli. Ada berapa banyak yang tidak jujur? Makan tiga mengaku dua, makan lima mengaku tiga? Pasti ada, tapi tidak banyak! Dan kalau kita hitung kerugian yang ditimbulkannya tentu masih relative kecil, jika dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh. Sebab jika kerugiannya lebih besar, dapat dipastikan warung makan itu telah lama tutup alias bangkrut. Apa artinya itu, bahwa orang yang baik dan jujur masih lebih banyak.
Kedua, saat jalan-jalan tentu kita pernah tersesat dan tidak tahu posisi alamat yang dicari, lalu kita bertanya beberapa kali untuk menemukan alamat tersebut. Dari jawaban-jawaban yang diberikan orang yang kita tanya, dapat diambil kesimpulan bahwa masih lebih banyak orang yang baik hati mau menjawab dengan sungguh-sungguh dan jujur, ketimbang yang tidak. Bahkan seringkali, orang yang kita tanya menyempatkan diri untuk menuntun ke alamat yang dituju tanpa pamrih, disaat kita keliru menuju arah yang ditunjukkannya.
Ketiga, saat kita melakukan transaksi tentu pernah membayar lebih tanpa kita ketahui, baik di pusat perbelanjaan, jalan tol, restoran, pada supir taksi dan lain sebagainya. Mereka dengan jujur mengembalikan kelebihan pembayaran kita, bahkan ada yang mengembalikannya beberapa waktu kemudian saat bertemu. Inilah bukti-bukti yang menunjukkan kesimpulan dan kenyakinan kita bahwa orang baik dan jujur masih lebih banyak jumlahnya.
Atas dasar itu, saya yakin bahwa bila seorang pemimpin secara terbuka berani menyampaikan kekeliruan dan kekurangannya, dia justru akan semakin mendapat simpati dari yang dipimpinnya, maupun orang lain di luar komunitas dan kelompoknya. Selain itu, tindakan ini akan menginspirasi banyak orang untuk berani jujur dan berperilaku positif.
Memang tak dapat dipungkiri, tindakan semacam ini itu bisa ‘dibakar’, dikobar-kobarkan secara negative dan luas oleh orang-orang yang punya kepentingan lain. Apalagi kalau menggunakan media massa. Namun sejarah telah membuktikan bahwa tidak ada kebohongan yang bisa berlangsung lama; tidak ada kebohongan yang bisa membohongi orang banyak. Faktanya sifat jujur dan kesatria pasti akan memperoleh simpati luas.
Oleh karena itu, mulai saat ini kita semua harus terus memupuk dan menumbuhkan jiwa kesatria, jujur, berani dan terbuka. Tidak ada manusia yang sempurna dan kekeliruan itu adalah sesuatu yang lumrah. Namun keberanian untuk mengakui kesalahan dan memperbaikinya, itu nilai dasar yang mutlak harus dimiliki orang perorang dan atau bangsa yang ingin bergerak maju.
Rasa takut bersalah akan menghambat laju langkah kita ke depan, sementara rasa takut untuk mengakui kesalahan akan menjebak kita pada kesalahan-kesalahan lain yang justru jauh lebih besar. Sesungguhnya kesalahan adalah ketika kita berbuat salah namun tak berani mengakui dan mengoreksinya.
Al Qur’an telah mengajarkan kepada kita bahwa setiap kesalahan harus dibarengi dengan perbuatan yang baik, sebab memang manusia adalah tempatnya salah dan lupa. Selain itu, setiap perbuatan ada nilainya di mata Allah, “Famayya’mal mistqola dzarrotin khoiroyyaroh, wamayya’mal mistqola dzarrotin sarroyyaroh (maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya ia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscara ia akan melihat (balasan)nya. (QS : al Zalzalah ; 7-8). (Budi S.Tanuwibowo, bertambah bijak setiap hari…/Mursal Harahap).




Tidak ada komentar:

Posting Komentar