Aksi
massif berbagai elemen umat Islam secara damai dan terbesar secara jumlah pada
11 November 2016 di Jakarta, dan berbagai kota di Indonesia, merupakan fenomena
penting dalam dinamika demokrasi politik di tanah air. Tak mudah mengelola aksi
yang dihadiri sekitar 250 ribu lebih massa itu.
Ratusan ribu umat Islam melakukan aksi damai menuntu Ahok diadili sesuai hukum yang berlaku, karena Ahok Diduga telah menistakan kita suci Umat Islam (Al Qur'an). |
Kita
patut bersyukur aksi telah berlangsung damai, kendatipun pada malam hari
sebagian massa sem pat terprovokasi tindak ke kerasan, suatu hal yang sangat
disayangkan.
Namun, secara umum aksi damai telah berjalan secara baik.
Kekhawatiran adanya kekecauan yang lebih besar pun terlewatkan.
Fenomena
demikian menun jukkan kesadaran publik berdemokrasi cukup tinggi. Mereka
menyampaikan pendapat melalui jalur demonstrasi di luar perlemen, sebagai
sesuatu yang lazim dalam demokrasi. Keberhasilan aksi damai 4 November 2016
bagaimanapun telah mampu menutup ragam sinisme yang berkembang di sosial media.
Berbagai
media konvensional arus utama, untuk membedakan dengan media baru (new media)
atau sosial media, secara umum pun telah memberitakannya dari sudut pandang
yang lebih positif. Mereka tidak gegabah mengarahkan pemberitaannya kepada kesimpulan naif, misalnya dengan menyudutkan umat Islam sebagai pengganggu
jalannya demokrasi kita.
Kedamaian
merupakan salah satu elemen mendasar demokrasi substansial. Itulah yang
mengemuka dalam beberapa kali aksi massif yang melibatkan berbagai elemen umat
Islam belakangan ini.
Tentu saja, hal tersebut tak lepas dari peran, para ulama, kiai, dan habaib.
Mereka adalah pemandu, sekaligus filter penting dalam penegasan karakter Muslim
demokrat di tanah air. Peran mereka tak dapat diabaikan dalam proses
demokratisasi yang telah menjadikan Indonesia dikenal sebagai negara demokrasi
Muslim terbesar di dunia.
Secara
umum pula dapat dilihat, dalam proses demokrasi politik hadirnya
kelompok-kelompok kepentingan yang mengerucut ke dalam kekuatan penekan,
merupakan hal yang lazim. Demokrasi merupakan proses yang dinamis, melibatkan
ragam aspirasi dan kelompok yang memperjuangkannya.
Demonstrasi
merupakan salah satu ikhtiar untuk menunjukkan eksistensi kelompok-kelompok
yang mengajukan aspirasi-aspirasi krusial kepada elite-elite formal penentu
kebijakan dan yang terkait. Pesannya sudah dapat ditangkap. Harapannya proses
hukum terhadap dugaan penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dapat
dilakukan secara adil.
Secara
khusus, peristiwa 4 November meninggalkan pelajaran penting bagi umat Islam.
Kendatipun masih terdapat keterbatasan dalam hal pengorganisasian, ragam
kelompok kepentingan yang ada di dalamnya mampu menjadi kekuatan penekan dalam
isu krusial tertentu.
Kesadaran
eksistensial umat Islam sebagai sebuah kekuatan politik dalam hal ini,
tampaknya, baru tahap awal. Demokrasi membuka lebar suatu jalan politik yang
inklusif bagi umat Islam, terutama melalui partai-partai politik Islam atau
partai terbuka yang akomodatif terhadap aspirasi Islam.
Apabila
jalan politik yang inklusif justru terabaikan, ia hanya akan menyuburkan ragam
kelompok kepentingan yang hanya akan berhenti kelasnya sebatas kekuatan
penekan.
Menjadi
kekuatan penekan, sesungguhnya hanya dibutuhkan dalam kondisi yang dianggap
sangat mendesak. Padahal, dalam praktik dan dinamika kontestasi demokratik
sehari-hari terkait kepentingan umat dan bangsa, diperlukan kekuatan-kekuatan
politik formal signifikan yang saling berinteraksi secara elegan dalam
mengelola konflik dan membangun konsensus. (ROL/MH)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar