“Love
your job but never fall in love with your company.
Cintai
pekerjaan dan jangan mencintai perusahaan.
Sebab
sewaktu-waktu, bisa saja perusahaan
menyingkirkan
Anda kapan pun”
Seorang kawan bercerita tentang
masa-masa awal menulis dahulu. Ia teringat terhadap pesan yang pernah
disampaikan oleh Mas Didik Pudji Yuwono, mantan Redaktur Budaya Jawa Pos, yang
sempat memberinya “obat penawar” dikala dirinya harus menjumpai tulisannya
tidak dimuat di media.
Waktu itu, kawan saya masih belajar
menulis, membanting tulang, lembur siang malam, dan sempat berantam dengan
tetangga kost, lantaran bunyi mesin ketik membuat tetangganya tak bisa tidur
dengan tenang.
Tetapi, apa yang ia dapatkan setelah
rajin menulis dan mengirimnya ke beberapa media massa? Ia dihadang jalan buntu.
Berkali-kali ia mengirim tulisan (resensi buku dan cerpen ke Jawa Pos),
ternyata Redaktur Budaya Jawa Pos bergeming. Tak ada satupun tulisannya yang
dilirik. Padahal ketika itu, media Kompas sudah memuat tulisannya.
Lebih tragis lagi, selama tiga bulan,
tak ada satupun tulisannya yang dimuat. Padahal biasanya, satu atau dua
tulisannya pasti ada yang dimuat dalam satu bulan. Ia mengalami jalan buntu,
lalu ia menulis pesan kepada Mas Didik lewat email, Redaktur Budaya Jawa Pos.
Isi pesannya, menanyakan nasib tulisannya, kenapa tulisan-tulisannya tak
dimuat, padahal sudah berkali-kali ia mengirimkannya.
Apa jawaban Mas Didik? Ia malah
menasehati kawan saya tersebut, dan mengatakan bahwa aktivitas menulis itu
tugas lain yang harus dipisahkan dengan pemuatan tulisan. Jika seseorang sudah
serius menulis, maka ia akan bisa memetik suasana hati yang tenang kala
menulis. Itu anugerah besar yang tidak dialami semua orang! Sebab, menulis bisa
membuat orang ekstate. Jika sudah
merasakan hal itu, maka dimuat atau tidaknya tulisan kita tak lagi penting.
Tugas penulis adalah menulis, dan pemuatan itu hanya soal waktu. Teruslah
menulis, suatu saat nanti, kita akan menemukan jalan terang.
Cerita moral tersebut menunjukkan banyak
orang yang tertekan dengan pekerjaan mereka. Melaksanakan tugas kantor hanya
sebagai rutinitas agar dapat memperoleh
penghasilan semata. Saat jam bekerja, mereka selalu menunggu jam makan siang,
jam pulang, hari libur, akhir pekan atau tanggal gajian. Bila ini terjadi,
waktu mungkin akan terasa lama, dan Anda enggan untuk bekerja.
Bila Anda belum atau tidak bisa
mendapatkan pekerjaan lain, Anda dapat berusaha untuk mencintai pekerjaan
tersebut. Tentu saja akan lebih menyenangkan bila kita mengerjakan hal yang
kita sukai. Tetapi bagaimana cara agar Anda mencintai pekerjaan yang
membosankan tersebut?
Love
your job but never fall in love with your company. Itulah
pernyataan umum yang menganjurkan seseorang untuk mencintai pekerjaannya dan
jangan mencintai perusahaan. Mengapa? Sebab sewaktu-waktu, bisa saja perusahaan
menyingkirkan Anda kapan pun.
Bila Anda tidak mencintai pekerjaan Anda,
tentu tidak akan mudah bagi Anda untuk melaksanakan tugas-tugas kantor. Anda
akan merasa terbebani dengan tugas yang diberikan, sehingga hasil kerja tidak
maksimal. Sebaliknya jika seseorang mengerjakan sesuatu yang disenangi, tentu
hal itu akan terasa menyenangkan, waktu akan terasa sangat singkat, dan pastinya
Anda akan bersemangat untuk mengerjakannya. Misalnya seseorang yang senang menggambar,
akan sangat antusias bila diberikan tugas untuk membuat desain rumah, menjadi
arsitek, atau pekerjaan serupa lainnya.
Pada tahun 1998, Wall Street Journal pernah membuat poling untuk menjaring pendapat
umum tentang cara seseorang menerima
pekerjaan atau profesi yang saat ini dimiliki. Hasilnya lebih dari 50 %
responden menyatakan akan meninggalkan pekerjaan Andaikan mereka memiliki
kesempatan untuk pidah atau ada peluang untuk ganti pekerjaan/profesi. (Warshaw
:1998).
Tetap akan nada sekelompok orang yang
merasa tidak bahagia atau tidak sanggup mencintai pekerjaan atau profesi yang
digelutinya saat ini. Padahal, secara filosofis, keduanya dapat dikatakan bahwa
mencintai pekerjaan adalah kekuatan utama untuk meraih prestasi di bidang yang
sudah dipilih saat ini atau nanti.
Hasil wawancara Doris Lee McCoy, penulis
buku Mega Traits for Successful People (Career
Life Institute :1994) terhadap 1000 orang Amerika yang berprestasi tinggi di
bidangnya, ternyata menunjukkan bahwa urusan mencintai pekerjaan menduduki
urutan pertama, yang membedakan antara mereka dengan kebanyakan orang di
lingkungannya.
Secara keseluruhan, mereka yang
berprestasi tinggi itu menikmati pekerjaan mereka (enjoy their work) dengan sepenuh hati (total involvement). Cintai perkejaan, cintai profesi dengan sepenuh
hati, itu tampaknya sudah menjadi semacam “kemutlakan”.
***
“
Walaupun saat ini Anda sudah berada di jalur yang benar,
tetapi
yang Anda lakukan hanya diam saja,
maka
perubahan akan membawa Anda ketempat yang tidak aman.”
Mana yang benar, mendapatkan pekerjaan
yang dicintai dan mencintainya, atau mencintai pekerjaan saat ini sehingga
mengundang datangnya pekerjaan yang dicintai?
Pernyataan pertama bisa jadi benar,
karena sebagian orang mendapatkan pekerjaan yang dicintainya sangat berpengaruh
terhadap kemampuannya mencintai pekerjaannya.
Merujukan pada hasil temuan sejumlah
pakar yang dikutip dalam catatan ERIC
; Clearinghouse on Adult Career and
Vacational Education (Colombus OH : 2002), akan didapatkan bahwa cinta dan
tidak cinta pekerjaan (di luar batasan tertentu itu), lebih banyak disebabkan
oleh sesuatu yang terjadi dalam diri (what
is happening in us), bukan sesuatu yang menimpa kita (what is happening on us), terlepas dari istilah teknis yang
digunakan.
Studi ilmiah membuktikan bahwa penyebab
utama ketidaksanggupan mencintai pekerjaan adalah konflik diri. Ini bukan
masalah ada atau tidaknya gejolak, sebab tidak mungkin orang hidup tanpa
gejolak. Konflik diri muncul karena mandeknya roda pengembangan diri (developmental process factors). Jika
berhenti mengembangkan diri, maka cepat atau lambat kita akan diterpa konflik
diri, seiring dengan bertambahnya kebutuhan dan keinginan. Mengapa mandek?
Kemandekan ini disebabkan oleh kesalahan dalam memilih arah penglihatan pikiran
difokuskan. Jika penglihatan diarahkan pada hal-hal yang berbau “kurang” maka
kesimpulan yang tercetak di kepala adalah kesimpulan minus tentang kita.
Kesimpulan minus ini akan dijadikan alat untuk melihat sesuatu di luar diri,
termasuk pekerjaan.
Penglihatan tidak bisa melihat selain
yang sudah dipahami oleh pikiran Anda. Nah, jika terhadap diri saja, pikiran Anda
sudah punya kesimpulan minus, apalagi terhadap pekerjaan?
Alasan lain dari munculnya konflik diri
adalah logika. Katakanlah, hari ini sudah mendapatkan pekerjaan yang dicintai,
tetapi karena roda dinamika di dalam diri berhenti, maka cepat atau lambat,
pekerjaan itu akan hilang keindahannya di mata Anda. Pasti, pekerjaan yang
dicintai pun akan tetap ada bagian yang tidak dicintai dan ini bisa diharmoniskan
oleh usaha pengembangan diri dalam hal kemampuan menyelesaikan masalah yang
muncul (problem solving skill).
Semua orang pasti menginginkan didatangi
oleh yang dicintai. Hanya saja praktik hidup tidak selamanya tunduk pada
rencana kita, seringkali memberikan tawaran memilih; apa yang akan kita pilih
ketika tidak mendapatkan sesuatu yang diinginkan secara utuh?
Will Rogers berkata, “ Walaupun saat ini
Anda sudah berada di jalur yang benar, tetapi yang Anda lakukan hanya diam
saja, maka perubahan akan membawa Anda ketempat yang tidak aman.” Pendapat ini
bisa dijadikan petunjuk, bahwa jika dinamika Anda mandek, maka perubahan akan
mengantar Anda kepada konflik diri, terlepas dari kondisi Anda sudah
mendapatkan keperjaan yang dicintai maupun belum memilikinya.
Satu-satunya cara untuk menghasilkan
karya yang hebat adalah dengan mencintai sesuatu yang Anda lakukan. Kalau belum
menemukannya, terus mencari. Don’t settle.
Mencintai pekerjaan, seberapa banyak kita bisa melakukannya? Atau ketika kita
merasa tidak mencintai bahkan membenci pekerjaan kita, seberapa banyak yang sanggup meninggalkannya.
Kita lebih suka marah, berkeluh kesah atau menyalahkan keadaan ketimbang
bersusah payah mengubah benci menjadi cinta.
Herman Chain mengatakan, “Kesuksesan
bukanlah kunci kebahagiaan. Tapi kebahagiaanlah yang menjadi kunci kesuksesan.
Jika Anda mencintai pekerjaan Anda, maka Anda akan sukses.” Allways do the best, tomorrow must be better
than to day! (Rivaldo Fortier, Belajar
Kepada Serigala)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar