Rabu, 02 Maret 2016

JUJUR MUJUR

Mulailah dari diri sendiri untuk berlaku jujursangat bangsa ini sedang miskin kejujuran. Lakukan kejujuran dalam segala hal, meski yang paling kecil, niscaya kelak kita akan menjadi insan yang mujur

Dahulu kala di Negari Yaman, ada seorang pemuda bernama Zabur. Sejak kecil ia sudah rajin sekolah serta tekun belajar mengaji. Atas kesungguhan dan ketekunannya belajar, sehingga ia menjadi santri yang segera dipercaya Kiyai menjadi lurah santri.
Si Zabur dipercaya mengajar kitab dan terjemahannya. Oleh karena sang Kiyai tertarik dengan kepribadian dan kepintaran santrinya itu. Zabur diambil sebagai menantu, dijodohkan dengan anak perempuannya.
Tak berapa lama Kiayi dan Nyai pergi melaksanakan haji untuk beberapa tahun, dan Zabur dipercaya memimpin pondok selama ditinggal haji. Selang beberapa waktu kemudian, Zabur dikaruniai dua orang putra. Kemudian setelah mertuanya kembali dari haji, Zabur diminta menyerahkan kembali pondok itu kepada sang mertua. Tapi Zabur keberatan dan tersinggung dan karena marah, si Zabur pergi dari pondok mertuanya tersebut. Perjalanan Zabur dari pondok sudah cukup lama, ia sudah melawati beberapa negari.
Suatu hari ia sampai di Negari Maskat dan mampir untuk istirahat di rumah Den Wedana. Zabur ditawari menjadi Carik, asalkan berkenan belajar Bahasa Jawa. Ia berkenan, dan karena tekun, ia tidah butuh waktu lama untuk bias menulis Jawa.
Kehadiran Zabur disukai banyak orang dan pengabdiannya diterima dengan baik oleh Den Wedana. Suatu hari, Den Wedana sakit dan Zabur pun mewakilinya memenuhi undangan rapat ke kantor distik. Melihat kepintarannya, Zabur pun ditarik ke distrik dan digaji  dua belas perak (rupiah). Tak lama kemudian ia diangkat menjadi juru tulis, karena juru tulis yang lama meninggal dunia. Namun dalam kesehariannya, Zabur tetap tekun beribadah, tidak seperti priyayi pada umumnya.
Setelah lama Zabur bekerja di distrik dan sering mengikuti rapat di negari itu. Lalu pejabat negari itu meminta Zabur untuk membuat laporan kepada kerajaan tentang jumlah penduduk, hewan ternak dan pajak bulanan.  Ia diminta langsung menyampaikannya kepada bupati dan ia segera berangkat sowan ke Ngarso sang Raja.
Tiba di pendopo Zabur segera dipangging Noto, dan buku laporan telah diterima juru tulis kabupaten. Ketika sang Noto melihat laporan tersebut,  tampak tulisan yang bagus dan rapi model pesisiran gagrak anyar. Sang Noto kepranan, lalu bertanya kepada juru tulis kabupaten tentang siapa yang menulis laporan tersebut. Ki juru tulis matur bahwa penulis laporan itu ia adalah Zabur yang kini sedang sowan. Karena senang, sang bupati lalu mengangkat Zabur menjadi juru tulis kabupaten menggantikan yang lama, yang kini diangkat menjadi asisten Den Wedana. Zabur lalu pindah ke kota dan diangkat sebagai anak angkat raja. Namun Zabur tetap tidak meninggalkan adatnya sebagai seorang santri. Sang Nota yang adil dan bijak itu ternyata senang beribadah, dan Zabur sering diminta menyertai sang Noto pergi beridabah.
Suatu hari, sang Noto melakukan perjalanan keliling negari disertai pejabat negari. Ketika itu Zabur menyambut kepulangan sang Noto di gerbang pelataran. Sesudah sang Aji naik ke pendopo, Zabur menemukan cincin bermata intan yang ia pikir pasti millik sang Bupati. Zabur sgera menghadap dan menyampaikan cincin yang baru ia temukan. Sang Noto tampak gembira dan semakin percaya bahwa Zabur anak yang baik dan dapat dipercaya.
Sang Nota berharap Zabur tidak seperti priyayi-pejabat umumnya, yang jika tampak dipercaya oleh sang Noto, lalu berlaku congkak dan kumawoso. Apalagi jika sudah pegang eska, dihadapan umum jingkrak bagaikan aning, selalu ingin menang sendiri, dan merasa paling pintar dan tak mau dikritik. Padahal, bagaikan orang berpakaian ; iket siji wus ngrambang, jika dibeberkan robek selebar gajah, baju satu luriknya sudah hilang, potongan model Belanda tetapi tangannya panjang sebelah. Jika merokok bungkusnya keluaran pabrik, tapi isinya mbako dan kulit jagung. Itupun diperoleh dari beselan orang yang minta surat ketarangan. Ketika jabatannya dicopot atau sudah pension, orang banyak pun mencibir dan tak peduli lagi.
Suatu hari, kehendak Sang Widipu pun berlaku bagi hamba-Nya. Di hari Jum’at, Sang Noto pergi ke masjid disertai Zabur, yang belakangan seperti tak bisa dipisahkan dari sang Noto. Kebetulan tasbih sang Noto ketinggalan di Puri, dan Zabur pun diminta kembali ke istana mengambil tasbih tersebut. Ia berangka memenuhi tugas tuannya. Setelah sampai ke puri istana, ia langsung menuju kamar tempat tasbih sang Noto berada. Ia terkejut ketika mendapati istri raja sedang bercinta dengan pejabat yang selam ini dikasihi raja. Zabur bingung, apakah yang ia lihat dilaporkan kepada bupati atau tidak?. Jika peristiwa itu dilaporkan, ia mungkin justru celaka. Zabur memutuskan tidak menceritakan apa pun yang ia lihat di puri tersebut. Namun, Garwo Noto ternyata marah ketika perbuatan selingkuhnya di lihat si Zabur, lalu ia menyusun siasat.
Pulang dari masjid, sang Noto langsung masuk puri disambut Garwo. Garwo Padmi pun melaporkan kepada sang Noto dengan membalikkan fakta, dandang dikatakan kuntul  Bahwa tadi ia diganggu oleh Zabur ketika diutus mengambil tasbih. Ketika tasbih diberikan tangannya direngkuhkannya dengan maksud mengajak berbuat tidak baik. Si Garwo menolak dan lebih baik mati daripada berselingkuh. Ia mengusulkan agar Zabur diberi hukuman.
Laporan Garwo ternyata manjur sekali. Bagaikan disambar petir  ditelinganya ketika mendengar laporan tersebut, sang Noto marah besar, walaupun tampak ia diam. Dalam hati, ia berkata, betapa beraninya si Zabur, pegawai baru mengganggu istrinya. Ia berniat menghukum si Zabur. Pagi harinya, sang Noto berniat mengutus si Zabur mengirimkan buah-buahan kepada juragan gamping. Si juragan secara khusus telah dipesan jika utusan itu datang supaya ditangkap dan dimasukkan ke dalam tempat pembakaran gamping. Zabur pun diutus memenuhi tugas tersebut tanpa merasa bahwa itu merupakan jebakan baginya. Ia bergegas menuju juragan memenuhi pesan yang telah disampaikan oleh sang Noto kepadanya kemarin.
Sebelum tiba di tembat pembakaran gamping, Zabur berhenti untuk beribadah di surau pinggir jalan, yang didahului ibadah sunnah. Jeruk paringan sang Prabu untuk juragan gamping ia letakkan di pinggir sumur. Karena lelah seusai beribadah, ia istirahat sebentar, tapi ia tertidur di dalam surau itu.
Di Kedaton, sang Prabu masih menerima beberapa pejabat. Setelah beberapa lama menunggu kepergian Zabur, sang Noto lalu mengutus pejabat yang kemarin meniduri istrinya untuk pergi ke juragan gamping guna meneliti apakah sudah memenuhi perintahnya kemarin. Jika belum dipenuhi, ia diminta untuk memerintahkan agar juragan gamping segera memenuhi perintahnya tersebut.
Si pejabat yang meniduri istri raja itu segera berangkat. Sesampai disurau pinggir jalan, tiba-tiba ia melihat buah jeruk dari raja dipinggir sumur tempat wudhu’, tapi ia tidak melihat Zabur. Setelah clingak clinguk mencari Zabur tidak ketemu, jeruk diambil dan segera dibawa kepada juragan gamping. Dalam hati ia berkata bahwa si Zabur ternyata bukan pegawai yang baik, diutus mengirimkan buah jeruk malak ditinggal dipinggir jalan.
Sesampai di tempat tobong gamping, pejabat tersebut matur bahwa ia diutus raja menyampaikan buah jeruk dengan pesan agar perintah raja kemarin segera dipenuhi. Setelah menerima buah tersebut, si utusan segera ditangkap dan dimasukkan ke tungku pembakaran gamping, dibakar hidup-hidup. Sudah menjadi hukum Yang Agung yang tak bisa diakali, nasib pejabat itupun habis menadi api.
Zabur terperanjat ketika terbangun, mengingat ia sedang diutus sang Noto menyampaikan jeruk kepada juragan gamping. Ia keluar surau mencari jeruk yang tadi tertinggal di tempat wudhu’ tapi tidak juga ketemu. Zabur memutuskan melanjutkan perjalanan ke kampong Pengarong (pembuat maron) dan menyakan kepad juragan gamping apakah perintah raja sudah dipenuhi.
Juragan gamping menjelaskan bahwa perintah raja telah dipenuhi. Utusan pembawa jeruk telah ia masukkan ke tempat pembakaran gamping yang kini terbakar seperti tampak pada warna hijau di dalam api. Juragan meminta Zabur menyampaikan berita kepada sang Prabu bahwa si pembawa jeruk kini sudah menjadi abu.
Mendengar penjelasan juragan gamping, Zabur terkejut. Ternyata sang Prabu punya maksud menghukum bakar dirinya. Ini tentu karena laporan sang Garwo yang memfitnah dirinya. Dalam hati, ia berkata, ternyata Tuhan Yang Maha Melihat telah berlaku adil kepada semua orang. Si Zabur lebih menyerahkan diri, baik-buruk nasibnya dan mati-hidupnya kepada-Nya. Ia memantapkan hati, lalu bersyukur kepada Yang Manon.
Karena itu, hendaklah semua manusia jangan sekali-kali lupa, setiap tingkah lakunya atas empat perkara. Pertama, berbuat baik kepada sesama dan jangan berbuat salah kepada orang lain. Kedua, menepati aturan agama, ketiga selalu berhati sabar dan jangan bosan menyembah-Nya. Keempat tidak mengeluh ketika menghadapi cobaan. Manusi harus berserah diri sepenuhnya kepada-Nya karena seluruh gerak hidup makhluk adalah kehendak Yang Manon.
Di dunia ini, manusia bagaikan berada di dalam sebuah kedung. Minta tolong pada priyayi malah minta bayaran. Seperti halnya seorang dukun yang mengobati orang lain, padahal dirinya tidak bebas dari penyakit. Priyayi yang naik pangkat hingga kedudukan pada akhirnya akan jatuh juga. Sebodoh-bodoh orang ialah yang minta tolong kepada sesamanya. Kalau mau mengaji, mengajilah pada yang alim. Jika mau mendapat uang kerjalah pada orang yang kaya, dan jika ingin menjadi priyayi, maganglah di kantoran. Pekerjaan dan kekuasaan itu berlangsung bersama usaha seseorang.
Zabur sudah tiba di Kedaton. Sang Prabu terkejut ketika melihat Zabur masih hidup. Sesudah memberi hormat seperti layaknya, Zabur menjelaskan semua yang terjadi diawali ia melihat perselingkuhan sang Garwo hingga terbakarnya si pembawa jeruk. Sekarang sang Prabu mengerti bahwa Zabur berhati baik sehingga ia dijaga oleh Tuhan, dan istrinyalah yang berperilaku buruk. Gaji Zabur dinaikkan dan masih diberi hadiah.
Zabur sudah merasa cukup melanglang buana menimba pengalaman, lalu memohon pamit kembali ke anak dan istrinya kerena telah lama ia tinggal pergi. Sang Prabu hatinya terharu sewaktu mendengar Zabur pamit pulang. Sang Prabu memenuhi kehendak Zabur dengan harapan nanti kembali lagi dengan membawa anak dan istrinya. Karena itu barang-barang Zabur diminta tidak usah dibawa. Zabur lalu diberi beberapa bekal untuk keperluannya di jlan dan kebutuhan anak dan istrinya, termasuk bekalnya nanti saat kembali lagi.
***
Bangsa kita saat ini sedang mengalami degradasi kejujuran, tentu jujur dalam hal apapun. Boleh dikata jujur sudah menjadi barang langka, sangkin langkanya, disana sini susah sekali menemukan sosok-sosok yang memiliki kejujuran. Lihat saja para pejabat kita, sudah jelas mereka menyelewengkan uang negara, tetapi malah mengelak. Akhirnya yang yang seharusnya digunakan untuk mensejahterakan Wong Cilik raiblah sudah. Padahal, konon, pekerjaan mereka sejatinya untuk menjalankan aspirasi rakyat dan mensejahterakan rakyat.
Negeri kita saat ini memang sedang dilanda kemiskikan kejujuran. Padahal, kejujuran akan mengalahkan kemujuran. Dengan kejujuran dari semua elemen, bangsa ini akan menuai benih-benih kemakmuran.
Albert Hendra Wijaya pernah mengatakan bahwa jujur adalah sebentuk pengakuan, perkataan dan perbuatan untuk memberi informasi sesuai dengan kenyataan dan kebenaran. Oleh karena itu, mulailah dari diri kita sendiri untuk berlaku jujur sangat bangsa ini sedang miskin kejujuran. Tentu melakukan kejujuran dalam segala hal, meski dari hal yang paling kecil, niscaya kelak kita akan menjadi insan yang mujur.
Kisah lama juga mengajari kita arti jujur. Seorang raja hebat ingain mengabdikan dirinya dalam bentuk lukisan. Maka ia meminta pelukis terhebat untuk membuat lukisan sang raja. Setelah lukisan selesai, raja itu marah-marah. Sebab dalam lukisan itu, tergambar jelas cacat sang raja, raja tidak memiliki daun telinga kiri. Kemudian raja meminta dicarikan pelukis lain yang lebih hebat. Pelukis kedua ini tentu saja telah belajar dari pengalaman pelukis pertama. Setelah selesai lukisan raja, kembali sanga raja memandangi hasil lukisan. Dari lukisan itu tampak jelas bahwa raja memiliki dua daun telinga yang utuh. Raja lebih marah lagi, karena lukisan ini jelas tidak jujur.
Raja meminta lagi untuk dicarikan pelukis yang lebih hebat lagi. Kali ini hadir peluku tua yang berharap lebih bijaksana. Setelah selesai lukisan sang raja memeriksanya. Semua yang hadir sangat taku bila raja kembali marah. Kali ini sang raja tampak tersenyum. Lukisan dirinya tampak gagah dengan menghadap ke samping, sehingga daun telinga kirinya tidak tampak, sedangkan telinga kanannya tampak sempurnya sebagaimana adanya. (Rivaldo Forteri, belajar kepada serigala)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar