dalam memerintah
seluruh anggota jasmani untuk
berbuat baik
atau jahat”
Manusia selalu mencari dan mengejarnya
tanpa kenal lelah, tidak memperdulikan waktu dan tempat. Bahkan terkadang
manusia berani menghalalkan segala cara demi untuk meraihnya. Bentuknya juga
bervariasi, sebagian menilai sesuatu yang paling dicari manusia itu berbentuk
harta berlimpah, jabatan, kekuasaan, keluarga dan anak. Bahkan ada yang menilai
sesuatu itu adalah ketaatan dan ketekunan melaksanakan perintah dan
meninggalkan larangan Sang Maha Pencipta. Apakah sesuatu paling dicari
tersebut, dia bernama kebahagiaan.
Kebahagiaan itu bersifat relative –
karena sangat ditentukan penilaian masing-masing orang – karenanya bentuk dan
cara mendapatkannya juga bermacam-macam. Seorang mahasiswa misalnya akan merasa
sangat bahagia saat menyelesaikan studi dan diwisuda. Bagi pasangan pengantin
baru, kebahagiaan itu ketika biah cinta mereka menghasilkan putra dan putri
yang soleh dan solehah.
Seorang politisi akan merasa bahagia
ketika ia sudah menggenggam kekuasaan. Demikian juga pemimpin, ia akan merasa
bahagia ketika orang yang dimpimpinnya juga merasakan kebahagiaan. Atau bagi
seseorang yang sedang terpuruk karena sakit yang dideritanya, akan merasa
sangat bahagia saat mendapatkan kesembuhan. Bagi seorang dosen dan guru akan
sangat bahagia saat melihat mahasiswa dan anak didiknya meraih kesuksesan. Dan
bagi seorang anak, dia akan bahagia ketika orangtuanya mampu memenuhi segala
kebutuhan dan permintaannya atau ia mampu dan berhasil membahagiaan kedua
orangtuanya.
Begitulah, kebahagiaan menurut
perspektif masing-masing. Justru itu, tidak sedikit orang yang mengatakan
kebahagiaan itu tidak selalu ditentukan seberapa banyak harta yang dimiliki,
seberapa tinggi jabatan yang diraih dan seberapa besar kekuasaan yang
didapatkan. Buktinya, terkadang kita iri kepada seorang tukang becak yang mampu
tidur nyenyak dan pulas di atas
becaknya, sementara si kaya raya selalu gelisah dan tidak tenang di atas
springbad dan bantal yang empuk dan lembut.
Atau iri melihat seorang petani desa
dimana hidupnya terasa indah dan bahagia, padahal ia hanya memiliki sepetak
sawah. Namun seseorang yang memiliki perkebunan ratusan hektar, malah terlihat
selalu pusing, hidupnya ribet dan terkesan hidupnya selalu dililit masalah.
Lalu pertanyaannya, dimana sebenarnya
letak kebahagiaan yang hakiki itu, kebahagiaan yang bisa dinikmati dan
dirasakan seluruh manusia? Jawaban pertanyaan tersebut hanya ada pada diri dan
perspektif kita sekalian.
***
Konon, pada suatu waktu, Tuhan memanggil
malaikatnya sambil memperlihatkan sesuatu, Tuhan berkata, “Ini namanya
kebahagiaan, yang sangat bernilai, serta dicari dan diperlukan oleh manusia.
Simpanlah ini disuatu tempat, supaya manusia menemukannya sendiri. Jangan taruh
di tempat yang terlalu mudah, sebab nanti kebahagiaan ini disia-siakan. Tetapi
jangan pula diletakkan di tempat yang terlalu susah, sehingga tidak bisa
ditemukan oleh manusia. Dan, yang penting, letakkan kebahagiaan itu di tempat
yang bersih”.
Setelah mendapat perintah tersebut,
turunlah ketiga malaikat itu langsung ke bumi untuk meletakkan kebahagiaan
tersebut. Tetapi, dimana mereka meletakkannya? Malaikat pertama mengusulkan,
“Letakkan di puncak gunung yang tinggi.” Tetapi, dua malaikat yang lain kurang
setuju. Lalu, malaikat kedua berkata, “Letakkan di dasar samudra.” Usul itupun
kurang disepakati. Akhirnya, malaikat ketiga membisikkan usulnya. Ketiga
malaikat itu langsung sepakat. Malam itu juga, disaat semua orang sedang tidur,
ketiga malaikat itu meletakkan kebahagiaan di tempat yang dibisikkan tadi.
Sejak hari itu, kebahagiaan untuk
menusia tersimpan rapi di tempat tersebut. Rupanya, tempat itu itu cukup susah
ditemukan. Dari hari kehari, tahun ke tahun, kita terus mencari kebahagiaan.
Kita semua ingin menemukan kebahagiaan. Kita ingin merasa bahagia. Tapi, dimana
mencarinya?
Ada yang mencari kebahagiaan sambil
berwisata ke gunung, di pantai, di tempat yang sunyi, dan di tempat yang ramai.
Kita mencari rasa bahagia disana sini; di pertokoan, restoran, tempat ibadah,
kolam renang, lapangan olahraga, bioskop, layar televisi, kantor, dan lainnya.
Adapula yang mencari kebahagiaan dengan bekerja keras, sebaliknya adapula yang
bermalas-malasan. Ada yang ingin merasa bahagia dengan mencari pacar, ada yang
mencari gelar, ada yang menciptakan lagu, ada yang mengarang buku, dan
lain-lain.
Pokoknya, semua orang ingin menemukan
kebahagiaan. Bahkan, pernikahan selalu dihubungkan dengan kebahagiaan.
Orang-orang seakan beranggapan bahwa jika belum menikah, berarti belum bahagia.
Padahal, semua orang juga tahu bahwa menikah tidaklah identik dengan bahagia. Selain
itu, kekayaan sering dihubungkan dengan kebagiaan. Alangkah bahagianya kalau
saya punya ini dan itu, pikir kita. Tetapi, ketika sudah memilikinya, kita tahu
bahwa benda tersebut tidak memberikan kebahagiaan.
Kebahagiaan itu diletakkan di sebuah
tempat oleh tiga malaikat secara rapi. Dimana mereka meletakkannya? Bukan
dipuncak gunung, seperti diusulkan oleh malaikat pertama. Bukan di dasar
samudra, seperti usulan malaikat kedua. Melainkan, di tempat yang dibisikkan
oleh malaikat ketiga. Dimanakan tempatnya? Tempatnya adalah di dalam hati yang
bersih.
Oleh sebab itu, jagalah mutu keindahan
dan kesucian hati kita. Sebab, jika hati tersebut baik, maka baik pula seluruh
tubuh. Sebaliknya, jika hati rusak maka rusaklah seluruh tubuh.
Dunia dan kemewahannya bukan tolok ukur
kemuliaan yang sesungguhnya. Sebab, orang-orang yang rusak dan durjana,
sekalipun diberi aneka kemewahan yang melimpah ruah oleh Tuhan, tetap merasa
tidak bahagia. Kunci bagi orang-orang yang ingin bahagia, benar-benar ingin merasakan
lezat dan mulianya hidup, adalah cara memelihara dan merawat keindahan serta
kesuciaan kalbunya.
Sebagian tokoh menggolongkan, hati dalam
tiga jenis, yaitu, hati yang sehat, hati yang sakit, dan hati yang mati.
Seseorang yang memiliki hati sehat, tak ubahnya memiliki tubuh yang sehat. Hati
tersebut berfungsi optimal dan maksimal, sehingga pemiliknya mampu memilih dan
mengolah setiap rencana atas suatu tindakan. Setiap yang akan diperbuatnya
benar-benar sudah melewati perhitungan jitu berdasarkan hati nurani yang
bersih.
Orang yang paling beruntung memiliki
hati yang sehat adalah orang yang dapat mengenal Tuhan dengan baik. Semakin
cemerlang hatinya, maka ia akan semakin mengenal kekuasaan-Nya, penguasa jagat
raya alam semesta ini. Ia akan memiliki mutu pribadi yang sangat hebat dan
mempesona. Ia tidak akan pernah menjadi ujub dan takabur ketika mendapatkan sesuatu.
Justru sebaliknya, ia akan menjadi orang yang tersyungkur bersujud. Semakin
tinggi pangkatnya, akan membuatnya semakin rendah hati. Kian melimpah hartanya,
ia akan kian dermawan.
Semakin bersih hati seseorang, hidupnya
akan selalu diselimuti rasa syukur. Mendapatkan apapun, meskipun sedikit, ia
tidak akan habis-habisnya menyakini bahwa semua ini adalah titipan Tuhan
semata, sehingga amat jauh dari sikap ujub dan takabur.
Saya sepakat dengan pernyataan bahwa
hati yang bersih adalah hati yang akan membawa kebahagiaan, kesuksesan,
kemenangan, dan kedamaian di dunia dan akhirat. Sungguh sukses dan beruntunglah
seseorang yang suci hatinya. Hati yang suci akan mudah mengakses dan menerima
petunjuk, ampunan, pertolongan, dan berkah demi berkah.
Hati yang bersih akan bercahaya. Hati
yang bercahaya akan menerangi pikiran pemiliknya, bicaranya, penglihatannya,
pendengarannya, dan tubuhnya. Maka, siapa pun yang mendekatinya akan merasakan
berkah dari cahaya yang ada pada dirinya. Hati yang bersih, firasatnya sangat
tajam. Setan tidak dapat mengusai hati yang bersih.
Untuk merawat dan memperindah hati yang
bercahaya, maka seseorang perlu mempertahankan dan mengamalkan kebajikan. Hati
akan terus bersih, bening dan bercahaya jika pemiliknya senantiasa menghindari kejahatan,
jauh dari debu-debu iri, dengki, pamer dan sombong, serta menjalani berbagai
cobaan dengan hati yang tulus. Hal ini seperti seorang ibu hami yang selalu
tulus menahan rasa sakit, lemah tanpa pamrih demi mengandung anak yang ia
cintai. Oleh kerana itu, jika kita mencintai permata (hati kita), maka kita
harus merawatnya secara terus menerus.
Hati adalah pusat kebaikan dan
kejahatan. Hati adalah ibarat raja yang memiliki hak veto dalam memerintah
seluruh anggota jasmani untuk berbuat baik atau jahat. Oleh karena itu,
bersihkan hati kita dari segala kotoran. Lalu isilah dengan sifat-sifat yang
baik agar tetap terang benderang, bersinar, bercahaya, dan senantiasa condong
pada kebaikan. (Rivaldo Fortier, belajar kepada serigala/mursal harahap)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar