A. Pengantar
Dalam catatan sejarah pemicu lahirnya aliran-aliran teologi bukan
didasari atas perbedaan pendapat tentang permasalahan ajaran agama, tapi
terjadi dikarenakan persoalan politik. Sewaktu Nabi Muhammad Saw masih hidup
tidak ada persoalan yang muncul, baik terkait hukum, pemerintahan dan sosial,
sebab Muhammad, selain rasul, Nabi Muhammad Saw juga kepala negara, hakim
(yudikatif/hakim atau pemutus perkara), tokoh agama dan masyarakat.
Sesudah Nabi Muhammad wafat, harus ada yang menggantikannya untuk menjadi
kepala Negara, karena dalam posisi sebagai Rasul kedudukannya tidak
tergantikan. Dalam sejarah diketahui, yang menggantikan Nabi, pertama adalah
sahabat Abu Bakr Siddiq ra dengan gelar khalifah. Setelah Abu Bakr wafat, digantikan
Umar Bin Khattab dan kemudian Utsman Bin Affan.
Pada masa khalifah Utsman Bin Affan awal munculnya persoalan politik.
Hingga masa Ali bin Abi Thalib, persoalan politik terus terjadinya
perbedaan-perbedaan yang ujung berakhir pada lahirnya kelompok atau
aliran-aliran dengan paham masing-masing. Mulai dari kelompok Khawarij,
Mu’awiyah, Syiah, Mu’tazilah, Jabariyah dan Qodariyah, dll.
B.
Khawarij
1. Sejarah Munculnya
Orang-orang Khawarij, awalnya merupakan bagian dari barisan Ali bin Abi
Thalib yang kemudian keluar dari barisan karena tidak sependapat dengan
kebijakan Ali bin Abi Thalib yang menerima Atbitrase (tahkim) dalam
menyelesaikan peperangan.
Disebutkan, setelah Ustman bin Affan wafat, Ali bin Abi Thalib merupakan
calon kuat untuk menggantikannya dan menjadi khalifah keempat. Namun mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang
juga berambisi menjadi khalifah. Di
antaranya Talhah dan Zubeir dari Mekkah yang mendapat dukungan politik dan
Aisyah ra. Namun dalam peperangan, Talhah mati terbunuh.
Tantangan kedua datang dari kelompok
Mu’awiyah –keluarga terdekat Ustman bin Affan - yang saat itu menjabat sebagai
gubernur Damaskus. Mu’awiyah tidak menerima Ali sebagai khalifah, karena
menurutnya Ali terlibat dalam pembunuhan Ustman bin Affan. Persoalan inilah
yang kemudian memicu terjadi perang siffin.[1]
Tentara Ali berhasil mendesak pasukan
Mu’awiyah hingga melarikan diri. Namun tangan kanan Mu’awiyah, Amr Ibn al-Aas
meminta berdamai, dan imam-iman yang ada di kelompok Ali mendesak agar tawaran
itu diterima. Hingga kemudian disepakatilah, penyelesaian perang dengan
Arbitrase. Mewakili Mu’awiyah ditunjuk Amr Ibn al-Aas dan dari kelompok Ali
diutus Abu Musa Al-Asya’aru.
Pada saat mengumumkan kesepakatan, Abu Musa
Al-Asya’ari mengatakan mereka sepakat menjatuhkan kepemimpinan Ali dan
Mu’awiyah. Namun saat Amr Ibn al-Aas berbicara, disampaiknnya, bahwa ia hanya
sepakat menjatuhkan Ali dan menolak menjatuhkan Mu’awiyah.
Pasukan Ali bin Abi Thalib yang tidak
menyetujui kebijakan arbitrase kemudian mengasingkan diri dan keluar dari
barisan, kemudian dikenal dengan sebutan Khawarij atau orang-orang yang keluar
dari barisan. Kelompok yang tetap
bersama Ali disebut kelompok Syi’ah, sementara Mu’awiyah menciptakan kelompok
sendiri.[2]
Ada juga yang menyebut, dinamakan Khawarij
karena telah keluar (kharaja, kharij,
khawarij) dari barisan. Menurut mereka, para pendukung Tahkim atau
Arbitrase adalah orang-orang yang sudah melakukan dosa besar, dan para pelaku
dosa besar adalah kafir.
Dalam pemahaman Khawarij, semua masalah antara Ali
dan Mu’awiyah harus diselesaikan dengan merujuk kepada hukum-hukum Allah yang
tertuang dalam Surah al-Maidah Ayat 44. ”Barangsiapa tidak memutuskan dengan
apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir”. Berdasarkan
ayat ini, Ali, Mu’awiyah dan orang-orang yang menyetujui tahkim telah menjadi
kafir karena mereka dalam memutuskan perkara tidak merujuk Al-Qur’an.
Berawal dari persoalan politik inilah,
kaum khawarij mulai memasuki persoalan teologi, ketika mereka menganggap orang
–orang yang terlibat arbitrase telah menjadi kafir. Di sini mereka memasuki
persoalan kafir yang secara umum dapat gambarkan, ”Seseorang yang berdosa besar
tidak lagi disebut muslim sehingga harus dibunuh. Setiap muslim harus
berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka, bila tidak mau, ia wajib
diperangi.[3]
2. Doktrin atau Pemikiran Khawarij
Pemikiran
Khawarij tidak hanya menyangkut masalah teologi tetapi juga mencakup wilayah
sosial dan politik. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, aliran ini muncul
berawal dari peristiwa arbitrse antara Ali dan Muawiyah. Sejak itu kaum
Khawarij mulai memunculkan doktrin yang berbicara politik, khususnya mengenai
kepala negara (khilafah).
Dalam
pemahanan berpolitik, Khawarij lebih bersifat demokratis. Menurut mereka,
khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat Islam. Yang
berhak menjadi khalifah bukan hanya orang Arab atau Quraisy saja, tetapi
siapapun, asal Islam sekalipun budak, jika memang terpilih maka boleh memegang
jabatan khalifah. Dengan catatan harus
adil dan menjalankan kekuasaan sesuai syariat Islam.
Atas dasar itu, kaum Khawarij mengakui
kekhalifahan Abu Bakr Siddiq dan Umar Ibn Al-Khatab, karena menilai keduanya
tidak menyimpang dari Islam. Sedangkan Usman Ibn Affan dianggap menyeleweng
mulai dari tahun ke tujuh masa kekhalifahannya dan Ali dianggap menyeleweng
setelah peristiwa arbitrase.
Paham politik Khawarij ini tentu sangat
berlawanan dengan paham yang umum pada waktu itu, dimana pemimpin dipilih
berdasarkan suku atau golongan. Dari sini kita dapat mengambil pelajaran,
Khawarij sebagian besar suku Badui yang dianggap terbelakang dan minoritas,
namun berani dan mampu mengeluarkan ide tentang kepemimpinan yang demokratis,
walaupun paham itu berlawanan dengan paham otoritas yang berkuasa.
Namun,
walaupun Khawarij menganut demokrasi, tetapi mereka tidak bisa meninggalkan
karakter dan watak sebagai suku Arab Badui yang bengis dan suka kekerasan.
Mereka selalu menggunakan cara-cara anarkisme dalam menghadapi memimpin yang
mereka anggap menyeleweng.[4]
Di
bidang sosial, Khawarij juga memiliki doktrin, meskipun kebenaran adanya
doktrin ini dalam pemikiran Khawarij masih perlu dilakukan kajian mendalam.
Doktrin ini dianggap memperlihatkan kesalehan asli kaum Khawarij yang
memunculkan asumsi mereka adalah orang-orang yang keras dalam pelaksanaan
ajaran agama. Kaum Khawarij, cenderung berwatak tekstualitas, sehingga menjadi
kelompok fundamentalis. Namun kesan
itu tidak tampak pada doktrin sosial Khawarij, seperti:
1.
Seseorang harus menghindar dari
pimpinan yang menyeleweng
2.
Amar Ma’ruf Nahi Munkar
3. Manusia bebas memutuskan
perbuatan, bukan dari Tuhan[5]
Jika doktrin sosial di atas memang
benar-benar dimiliki Khawarij, maka Khawarij bisa dimasukkan dalam golongan
liberal. Sebab dari doktrin sosial di atas, kita dapat meminjam semangat
pembebasan Khawarij dalam melakukan perlawanan terhadap penguasa yang dzalim.
Selanjutnya terkait doktrin teologi,
Khawarij pada dasarnya merupakan imbas langsung dari doktrin sentralnya, yaitu
doktrin politik. Doktrin teologi ini lahir atas kepentingan politik. Doktrin
ini selalu digunakan untuk mendapatkan pengikut sebanyak mungkin agar pengaruh
semakin kuat yang kemudian akan digunakan menjadi alat melegitimasikan
keinginan menggulingkan atau menghabisi orang yang tidak sepaham dengan mereka.
Karena sikap-sikap mereka yang
sangat ekstrem dan eksklusif, kaum Khawarij akhirnya tidak terlalu berkembang. Namun
dalam perjalanan sejarah pemikiran Islam, pengaruh mereka tetap saja menjadi
pokok problematika pemikiran Islam.
Terkait pengakuan terhadap Sunnah, Kaum Khawarij
dengan berbagai sektenya menganggap, sebelum peristiwa arbitrase (Th. 37 H),
seluruh sahabat adalah adil. Tetapi setelah itu, mereka mengingkari ‘Ali,
‘Utsman, dan sahabat yang tergolong Ashhabul Jamal, kedua hakim Arbitrasi (yang
ditunjuk masing-masing golongan). Dengan demikian mereka menolak hal-hal
yang diriwayatkan jumhur setelah peristiwa perang Siffin dan arbitrase. Penolakan ini didasarkan kepada tidak
adanya kesediaan mereka menerima keputusan kedua hakim serta mengikuti
kepemimpinan yang menurut anggapan Khawarij termasuk zhalim. Karena itu
Khawarij tidak menganggap para Shahabat sebagai rawi tsiqah lagi.
Namun Dr. Muhammad Musthafa al-Azhumy
mengungkapkan perdapat berbeda. Menurutnya Khawarij menerima Sunnah Nabi dan
percaya bahwa As-Sunnah sebagai sumber asasi bagi tasyri' Islam. Pendapat ini
membuktikan tidak mutlak seluruh Khawarij menolak As-Sunnah yang diriwayatkan
para Shahabat sesudah tahkim maupun sebelumnya.[6]
Secara umum, di antara doktrin-doktrin pokok pimikiran
Khawarij adalah sebagai berikut :
a. Khalifah atau imam
harus dipilih secara bebas oleh seluruh kaum Islam.
b.
Khalifah tidak harus berasal dari
keturunan Arab. Dengan demikian setiap orang Muslim berhak menjadi khalifah
asal sudah memenuhi syarat.
c.
Ajaran agama yang harus diketahui
hanya ada dua, yakni mengetahui Allah dan Rasulnya.
d.
Dosa kecil yang dilakukan secara
terus menerus akan berubah menjadi besar dan pelakunya menjadi musyrik.
e.
Orang Islam yang berbuat dosa
besar, seperti berjina adalah kafir dan selama masuk neraka.
f.
Orang yang masuk neraka tidak akan
pernah keluar lagi untuk selamanya.
g.
Memalingkan ayat-ayat Al-Qur’an
yang tampak mutasabihat (samar).
h. Manusia bebas
memutuskan perbuatannya bukan dari Tuhan.
i.
Al-Qur’an adalah makhluk.
j.
Pasukan perang jamal yang melawan
Ali adalah kafir.
k.
Khalifah ‘Ali r.a. adalah sah
tetapi setelah terjadi atbitrase, ia dianggap menyeleweng
3.
Sekte Khawarij
Di
dalam internal Khawarij juga terjadi perbedaan pendapat mengenai paham mereka, dan
itu awal perpecahan dan pembentukan sekte-sekte. Diketahui Khawarij terpecah
menjadi 18 hingga 20 sub sekte, di antaranya adalah:
1. Al-Muhakkimah:
Khawarij asli dan terdiri dari pengikut-pengikut Ali. Bagi mereka Ali,
Mu’awiyah, kedua hakim arbitrase serta seluruh orang yang mengakui dan menyetujui
arbitrase bersalah dan menjadi kafir. Selanjutnya arti kafir mereka perluas
bagi orang yang melakukan dosa besar. Seperti berzinah dan membunuh, menurut
mereka termasuk perbuatan dosa besar dan orang yang melakukan menjadi kafir.
2. Al-Azariqah: Golongan
baru yang memusatkan kekuatan di wilayah
perbatasan Irak dan Iran, dipimpin Nafi Ibn Azraq. Sekte ini menggunakan
pemahaman yang lebih radikal. Kelompok ini tidak lagi menggunakann term kafir,
tapi musyrik. Yang masuk kategori musyrik menurut sub sekte ini semua orang
Islam yang tidak sepaham dengan mereka. Bahkan orang islam yang tidak mau
hijrah ke lingkungan mereka dianggap musyrik. Dalam pandangan Al-Azariqah hanya
merekan islam yang benar, dan siapa saja yang mereka temui lalu mengaku islam
tapi bukan bagian dari kelompok mereka, dibunuh.
3. Al-Najdat: Dipimpin
Najdah Ibn Amir al-Hanafi dari Yamamah. Awalnya ia dan pengikutnya ingin
bergabung dengan Al-Azariqah, namun mereka tidak sepaham dengan pendapat bahwa
orang Azriq yang tidak mau hijrah ke lungkungan Al-Azariqah dianggap musyrik.
Termasuk mereka tidak sependapat dengan paham boleh dan halal mebunuh istri
orang-orang islam yang tidak sepaham dengan mereka. Kelompok ini berpendapat
orang yang berdosa besar menjadi kafir, kecuali dari kelompok mereka. Namun
dosa kecil bagi mereka akan menjadi dosa besar jika dilakukan terus menerus.
4. Al-Ajaridah:
pemimpinnya Abd al-Karim Ibn Ajrad. Kelompok ini bersikap lebih lunak, karena
menurut mereka hijrah bukan kewajiban, tapi kebajikan. Kelompok ini tidak mengakui
seluruh isi al-Qur’an, seperti surah Yusuf yang bercerita tentang cinta.
5. Al-Sufriah:
pemimpinnya Ziad Ibn Asfar. Golongan ini juga memiliki paham yang ekstim dan
diantara pendapat mereka adalah orang Sufriyah yang tidak hijrah bukan musyrik,
daerah islam yang tidak sepaham dengan mereka bukan dar al-harb yang wajib
diperangi. Kafir mereka klasifikasi pada dua pengertian, yakni kafir nikmat
atau yang mengingkari nikmat dan kafir rububiyah atau mengingkari Tuhan.
Artinya tidak selamanya orang yang disebut kafir berarti sudah keluar dari
Islam.
6.
Al-Ibadah: paling moderat, diambil
dari nama Abdullah Ibn Ibad. Paham kelompok ini, orang islam yang tidak sepaham
dengan mereka bukan mukmin dan bukan musyrik, tapi kafir. Orang islam yang
melakukan dosa besar adalah orang muwahid atau mengesakan Tuhan tapi bukan
mukmin dan bukan kafir millah atau agama.[7]
C. Mu’tazilah
1. Sejarah
Munculnya
Kelompok ini, adalah golongan
yang membawa persoalan teologi lebih mendalam dan bersifat filosofis, terkait
ajaran yang dibawa kaum Khawarij dan Muriji’ah. Kelompok ini muncul di kota
Bashrah (Irak) pada abad ke-2 Hijriyah, antara tahun 105-110 H, tepatnya di
masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan dan Khalifah Hisyam bin Abdul
Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah, mantan murid Al-Hasan
Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal.
Seiring bergulirnya waktu,
kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. Hingga
kemudian para dedengkot mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak
tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Sejak saat itulah, manhaj mereka
benar-benar terwarnai oleh manhaj ahli kalam, yang berorientasi pada akal dan
mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah. Karenanya tidak aneh
bila kaidah nomor wahid Mu’tazilah berbunyi: “Akal lebih didahulukan daripada
syariat (Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’) dan akal-lah sebagai kata pemutus
dalam segala hal. Bila syariat bertentangan
dengan akal, maka syariat harus dibuang atau ditakwil.
2. Mengapa
Disebut Mu’tazilah?
Mu’tazilah, secara etimologis bermakna: orang-orang yang
memisahkan diri. Sebutan ini mempunyai suatu kronologi yang tidak bisa dipisahkan dengan
sosok Al-Hasan Al-Bashri, salah seorang imam di kalangan tabi’in.
Dalam satu riwayat disebutkan,
Asy-Syihristani berkata: (suatu hari) datanglah seorang laki-laki kepada
Al-Hasan Al-Bashri seraya berkata: “Wahai imam dalam agama, telah muncul di
zaman kita ini kelompok yang mengkafirkan pelaku dosa besar (di bawah dosa
syirik). Dan dosa tersebut diyakini sebagai suatu kekafiran yang dapat
mengeluarkan pelakunya dari agama, mereka adalah kaum Khawarij. Bagaimanakah
pendapatmu dalam permasalahan ini agar kami bisa menjadikannya sebagai prinsip
(dalam beragama)?”
Al-Hasan Al-Bashri pun
berpikir sejenak, namun sebelum beliau menjawab, tiba-tiba Washil bin Atha’ menjawab.
“Menurutku pelaku dosa besar bukan seorang mukmin, juga tidak kafir, ia berada
pada suatu keadaan di antara dua keadaan, tidak mukmin dan juga tidak kafir. ”Lalu
ia berdiri dan duduk menyendiri di salah satu tiang masjid sambil tetap
menyatakan pendapatnya tersebut kepada murid-murid Hasan Al-Bashri lainnya. Maka Al-Hasan Al-Bashri berkata: “Washil telah memisahkan
diri dari kita”, maka disebutlah dia dan para pengikutnya dengan sebutan Mu’tazilah.
Namun menurut keterangan klasik ada teori baru yang
diajukan Ahmad Amin (lihat Fajr al-Islam hlm 290) bahwa nama Mu’tazilah sudah
ada sebelum terjadi peristiwa Washil dengan Hasan Al-Basri dan sebelum
timbulnya pendapat tentang posisi diantara dua posisi. At-Tabrani misalnya
menyebut sewaktu Qais Ibn Sa’ad sampai di Mesir sebagai Gubernur yang ditunjuk Ali
bin Abi Thalib , ia menjumpai pertikaian di masyarakat. Satu golongan mengikutinya dan
satu lagi memisahkan diri ke Kharbita. Dalam suratnya kepada Khalifah Ali bin
Abi Thalib, ia menyebutkan kelompok yang memisahkan diri ke Kharbita tersebut
sebagai Mu’tazilin. Sementara Abu Al Fida memakai kata al-Mu’tazilah.[8]
Dalam perjalanan sejarah,
Mu’tazilah mengalami naik turun popularitas dan pengaruh. Kekuatan paham ini kembali muncul di zaman berkuasanya
Dinasti Buwaih di Bagdad. Akan tetapi tidak lama, karena Bani Buwaih
digulingkan Bani Saljuk, dimana pemimpinnya cenderung Asy’ariyah.
3. Doktri Mu’tazilah
Ibn Taymiyyah, menyebutkan ilmu kalam keahlian khusus kaum
Mu'tazilah. Maka
salah satu ciri pemikiran Mu'tazilah ialah rasionalitas dan paham Qadariyyah.
Namun yang pertama kali menggunakan unsur-unsur Yunani dalam penalaran
keagamaan ialah Jahm ibn Shafwan yang justru penganut paham Jabariyyah. Dalam
pandangannya manusia tidak berdaya sedikit pun dengan kehendak dan ketentuan
Tuhan. Karena itu Tuhan tidak mungkin memberi pahala dan dosa, dan segala
sesuatu yang terjadi, termasuk pada manusia.
Oleh karena itu kaum Mu'tazilah disebut "titisan" doktrinal
kaum Khawarij. Tetapi kaum Mu'tazilah banyak mengambil alih sikap kaum Jahmi
yang mengingkari sifat-sifat Tuhan itu. Lebih penting lagi, kaum Mu'tazilah
meminjam metologi kaum Jahmi, yaitu penalaran rasional, meskipun dengan
berbagai premis yang berbeda.
Khalifah al-Ma'mun sendiri, di
tengah-tengah pertikaian paham berbagai kelompok Islam, memihak kaum Mu'tazilah
melawan kaum Hadits yang dipimpin Ahmad ibn Hanbal (pendiri mazhab Hanbali,
salah satu dari empat mazhab Fiqh). Lebih dari itu, Khalifah al-Mu'tashim yang
menggantikan Khalifah al-Ma'mun, melakukan mihnah (pemeriksaan paham pribadi),
dan menyiksa serta menjebloskan banyak orang, termasuk Ahmad ibn Hanbal ke
dalam penjara. Salah satu masalah yang diperselisihkan ialah apakah Kalam atau
Sabda Allah, berujud al-Qur'an, itu qadim (tak terciptakan karena menjadi satu
dengan hakikat atau Dzat Ilahi) ataukah hadits (terciptakan, karena berbentuk
suara yang dinyatakan dalam huruf dan bahasa Arab)? Khalifah al-Ma'mun dan kaum
Mu'tazilah berpendapat bahwa Kalam Allah itu hadits, sementara kaum Hadits
berpendapat al-Qur'an itu qadim seperti Dzat Allah sendiri.
Aliran
Muktazillah mempunyai lima doktrin, pertama At-Taauhid (Tauhid). Ajaran
ini berarti meyakini sepenuhnya hanya Allah SWT. Konsep tauhid menurut mereka
adalah paling murni sehingga mereka senang disebut pembela tauhid (ahl
al-Tauhid). Kedua Ad-Adl. Menurut
aliaran Muktazillah pemahaman keadilan Tuhan mempunyai pengertian Tuhan wajib
berlaku adil dan mustahil ia berbuat zalim kepada hamba-Nya dan Tuhan wajib
berbuat yang terbaik bagi manusia. Misalnya, tidak memberi beban terlalu berat,
mengirimkan nabi dan rasul, serta
memberi daya manusia agar dapat mewujudkan keinginannya.
Ketiga Al-Wa’d wa al-Wa’id (Janji dan Ancaman). Menurut
Muktazillah, Tuhan wajib menepati janji-Nya memasukkan orang mukmin ke dalam
sorga. Begitu juga menempati ancaman-Nya mencampakkan orang kafir serta orang
yang berdosa besar ke dalam neraka. Keempat
Al-Manzilah bain al-Manzilatain (posisi di Antara Dua Posisi). Pemahaman
ini merupakan ajaran dasar pertama yang lahir di kalangan Muktazillah.
Pemahaman ini yang menyatakan posisi orang Islam yang berbuat dosa besar. Orang jika melakukan
dosa besar, ia tidak lagi sebagai orang mukmin, tetapi ia juga tidak kafir.
Kedudukannya sebagai orang fasik. Jika meninggal sebelum bertobat, dimasukkan
ke neraka selama-lamanya. Akan tetapi, siksanya lebih ringan dibanding orang
kafir.
Kelima Amar Ma’ruf Nahi Munkar (Perintah
Mengerjakan Kebajikan dan Melarang Kemungkaran). Dalam prinsip Muktazillah,
setiap muslim wajib menegakkan yang ma’ruf dan menjauhi yang mungkar. Bahkan
dalam sejarah, mereka pernah memaksakan ajarannya kepada kelompok lain. Orang
yang menentang akan dihukum.[9]
Pandangan Mu’tazilah terkait As-Sunnah, di antara
ulama ada perbedaan pendapat, apakah mereka sejalan dengan jumhur ulama tentang
penggunaan As-Sunnah sebagai hujjah. Termasuk pembagian hadits menjadi
mutawatir dan ahad, ataukah mereka menolak hadits ahad saja, atau menolak
As-Sun-nah secara keseluruhan.
Al-Amidi mengutip pandangan seorang tokoh
Mu'tazilah bernama Abul Husain al-Bashri, yaitu: “Secara rasional, ibadah
berdasarkan khabar ahad wajib diamalkan.” Selanjutnya ia mengutip pandangan
al-Jubba’i dan sebagian mutakallimin yang menyatakan: “Secara rasional
melaksanakan ibadah atas dasar khabar ahad tidak dapat dibenarkan.”
Sementara ulama perbandingan agama, Abu Manshur
al-Baghdadi penulis al-Muwaaqif dan ar-Razi mengemukakan pandangan sekte
Nizhamiyah, sebagai berikut:
a. Mereka mengingkari mu'jizat-mu'jizat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
b. Mereka mengingkari hujjahnya hadits ahad, dan
c. Mereka mengingkari hujjahnya ijma’ dan qiyas.
Kemudian ia menyebutkan umumnya kaum Mu'tazilah
mengikuti pemikiran an-Nazhzham (sekte Nizhamiyah) ini.[10]
D. Analisa
Di dalam al-Qur’an, Islam dinyatakan sebagai
satu-satunya agama yang diridhoi Allah. Wahyu Allah sebagai sumber pokok ajaran
agama Islam yang turunnya berakhir setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW.
Sedangkan makhluk paling sempurna adalah manusia yang dianugerahi akal.
Pengetahuan yang dibawa wahyu diyakini bersifat absolut dan mutlak kebenarannya,
sedang pengetahuan yang diperoleh melalui akal bersifat relatif.
Banyak
pendapat-pendapat yang menguraikan tentang pengertian akal. Tapi dalam
pandangan Islam, akal tidaklah otak, tetapi daya pikir yang terdapat dalam jiwa
manusia, daya yang digambarkan dalam al-Qur’an, memperoleh pengetahuan dengan
memperhatikan alam sekitarnya.
Sementara secara etimologi “wahyu” berarti
isyarat, bisikan buruk, ilham, perintah. Sedangkan menurut termonologi berarti
nama bagi sesuatu yang disampaikan dari Allah kepada Nabi-Nabi-Nya. Dalam Islam
wahyu atau sabda Tuhan yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW terkumpul
semuanya dalam al-Qur’an. Salah satu ayat yang artinya :
“Dan tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah
berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir
atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan
seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha
Bijaksana”. (Q.S al-Syura : 51)[11]
Menurut ajaran tassawuf, komunikasi dengan Tuhan
dapat dilakukan melalui daya rasa manusia yang berpusat di hati sanubari. Dalam
tassawuf dikenal tingkatan ma’rifat, dimana seorang sufi dapat melihat Tuhan
dengan kalbunya dan dapat berdialog dengan Tuhan. Adanya komunikasi antara
orang-orang tertentu dengan Tuhan bukanlah hal yang ganjil. Oleh karena itu
dalam Islam wahyu dari Tuhan kepada Nabi Muhammad SAW, bukanlah suatu hal yang
tidak dapat diterima akal.
Dari sisi fungsi, akal dan wahyu mempunyai
kedudukan penting. Akal merupakan saranan dalam usaha memperoleh pengetahuan,
bertindak atas usaha dan daya sendiri. Wahyu, menggambarkan kelemahan manusia,
karena wahyu diturunkan Tuhan untuk menolong manusia memperoleh
pengetahuan-pengetahuan.
Berangkat dari pemahaman di atas, pemikiran dalam
teologi Islam yang dibawa alirah Khawarij dan Mu’tazilah memiliki dasar-dasar
kebenaran, tergantung dari sisi mana dilakukan pendekatannya. Seperti
perbuatan manusia yang dihubungkan dengan sifat Adil Allah. Secara rasional
bila dipahami, manusia baru bisa melakukan sesuatu jika diberikan Allah
kekuatan, maka tidak pantas manusia diberikan dosa dan pahala, apalagi jika
dihubungkan dengan sifat Adil Allah. Sungguh Allah tidak adil jika menghukum
hambanya yang berbuat dosa, padahal kekuatan manusia untuk melakukan dosa
tersebut merupakan pemberian Allah.
Sebaliknya,
manusia sebenarnya bisa mengetahui apakah perbuatan yang dilakukannya melanggar
hukum Allah atau tidak dengan kekuatan akal. Jika seseorang yang mengetahui ia
melanggar hukum, maka wajar dan layak diberikan sanksi berupa dosa.
Oleh karena
itu menurut penulis, pemikiran dan paham yang dikembangkan Khawarij dan
Mu’tazilah serta aliran-aliran lainnya, perdebatannya lebih kepada penempatan
posisi akal dan pemahaman terhadap kekuatan akal itu sendiri.
E.
Penutup
Khawarij
berarti orang-orang yang keluar barisan Ali bin Abi Thalib. Golongan ini menganggap diri mereka sebagai
orang-orang yang keluar dari rumah dan semata-mata untuk berjuang di jalan
Allah. Meskipun pada awalnya khawarij muncul karena persoalan politik, tetapi
dalam teapi dalam perkembangannya golongan ini banyak berbicara masalah
teologis.
Mu’tazilah muncul sebagai reaksi atas pertentangan
antar aliran Khawarij dan aliran Murji’ah mengenai persoalan orang mukmin yang
berdosa besar. Dalam pengertian ini, Mu’tazilah-sebagaimana juga
Asy’ariayah-masuk dalam barisan sunni.
DAFTAR BACAAN
Rozak, Abdul, Dkk, Ilmu Kalam, Bandung, CV.
Pustaka Setia, 2007.
Aldul Rahman, Roli, Dkk, Aqidah Akhlak MA 2, Tiga Serangkai Pustaka
Mandiri, 2007.
Nasution, Harun, Teologi IslamAliran-Aliran
Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta, UI Press, 1986.
Prof. DR. Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspek, Jilid I, Universitas Indonesia ,
1978..
Hanafi, A. Pengantar Theologi Islam, Jakarta, PT.
Al Husna Zikra, 1995.
Imam Abu Zahrah, Aliran Politik dan
Aqidah Dalam Islam, (Jakarta : Logos, 1996).
Muhammad Abduh, Risalah Tauhid,
(Jakarta : Bulan Bintang, 1979).
Mudzaffaruddin Nadvi, Pemikiran Muslim
dan Sumbernya, (Bandung : Pustaka, 1984).
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan
Peradaban, (Jakarta : Paramadina , 2000).
http://miazart.blogspot.com, Aliran Syiah, Khawarij, Murjiah,
Qadariyah, Jabariayah, Mu’tazilah, Dan Ahlussunah Waljama’ah.
Ja’far,
S.Pd.I. M.A, Gerbang-Gerbang Hikmah; Pengantar Filsafat Islam, Yayasan Pena Banda
Aceh, 2011
http://almanhaj.or.id,
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, As-Sunnah Dan Para Penentangnya Di Masa Lalu Dan
Masa Sekarang
[1]
Prof. DR. Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, Jilid I, 1978,
Universitas Indonesia ,
Hlm.93-94.
[2] Ibid,
hlm 95
[3]
Ja’far, S.Pd.I. M.A, Gerbang-Gerbang Hikmah; Pengantar Filsafat Islam, Yayasan
Pena Banda Aceh, 2011, hlm.56-57
[5] Ibid
[6] http://miazart.blogspot.com, Aliran Syiah, Khawarij, Murjiah,
Qadariyah, Jabariayah, Mu’tazilah, Dan Ahlussunah Waljama’ah.
[7]
Prof Dr Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, Universitas Indonesia
Pres, 2008, Hlm.15-22
[8] Ibid,
Hlm.41
[10] http://almanhaj.or.id, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, As-Sunnah Dan Para Penentangnya Di Masa Lalu Dan Masa
Sekarang.
[11] Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya,
Toha Putra, Semarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar