Senin, 07 Maret 2016

KHAWARIJ DAN MU’TAZILAH

A.    Pengantar

Dalam catatan sejarah pemicu lahirnya aliran-aliran teologi bukan didasari atas perbedaan pendapat tentang permasalahan ajaran agama, tapi terjadi dikarenakan persoalan politik. Sewaktu Nabi Muhammad Saw masih hidup tidak ada persoalan yang muncul, baik terkait hukum, pemerintahan dan sosial, sebab Muhammad, selain rasul, Nabi Muhammad Saw juga kepala negara, hakim (yudikatif/hakim atau pemutus perkara), tokoh agama dan masyarakat.

Sesudah Nabi Muhammad wafat, harus ada yang menggantikannya untuk menjadi kepala Negara, karena dalam posisi sebagai Rasul kedudukannya tidak tergantikan. Dalam sejarah diketahui, yang menggantikan Nabi, pertama adalah sahabat Abu Bakr Siddiq ra dengan gelar khalifah. Setelah Abu Bakr wafat, digantikan Umar Bin Khattab dan kemudian Utsman Bin Affan.

Pada masa khalifah Utsman Bin Affan awal munculnya persoalan politik. Hingga masa Ali bin Abi Thalib, persoalan politik terus terjadinya perbedaan-perbedaan yang ujung berakhir pada lahirnya kelompok atau aliran-aliran dengan paham masing-masing. Mulai dari kelompok Khawarij, Mu’awiyah, Syiah, Mu’tazilah, Jabariyah dan Qodariyah, dll.

 

B.     Khawarij

1. Sejarah Munculnya

Orang-orang Khawarij, awalnya merupakan bagian dari barisan Ali bin Abi Thalib yang kemudian keluar dari barisan karena tidak sependapat dengan kebijakan Ali bin Abi Thalib yang menerima Atbitrase (tahkim) dalam menyelesaikan peperangan.

Disebutkan, setelah Ustman bin Affan wafat, Ali bin Abi Thalib merupakan calon kuat untuk menggantikannya dan menjadi khalifah keempat. Namun mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang juga berambisi menjadi khalifah.  Di antaranya Talhah dan Zubeir dari Mekkah yang mendapat dukungan politik dan Aisyah ra. Namun dalam peperangan, Talhah mati terbunuh.

Tantangan kedua datang dari kelompok Mu’awiyah –keluarga terdekat Ustman bin Affan - yang saat itu menjabat sebagai gubernur Damaskus. Mu’awiyah tidak menerima Ali sebagai khalifah, karena menurutnya Ali terlibat dalam pembunuhan Ustman bin Affan. Persoalan inilah yang kemudian memicu terjadi perang siffin.[1]

Tentara Ali berhasil mendesak pasukan Mu’awiyah hingga melarikan diri. Namun tangan kanan Mu’awiyah, Amr Ibn al-Aas meminta berdamai, dan imam-iman yang ada di kelompok Ali mendesak agar tawaran itu diterima. Hingga kemudian disepakatilah, penyelesaian perang dengan Arbitrase. Mewakili Mu’awiyah ditunjuk Amr Ibn al-Aas dan dari kelompok Ali diutus Abu Musa Al-Asya’aru.

Pada saat mengumumkan kesepakatan, Abu Musa Al-Asya’ari mengatakan mereka sepakat menjatuhkan kepemimpinan Ali dan Mu’awiyah. Namun saat Amr Ibn al-Aas berbicara, disampaiknnya, bahwa ia hanya sepakat menjatuhkan Ali dan menolak menjatuhkan Mu’awiyah.

Pasukan Ali bin Abi Thalib yang tidak menyetujui kebijakan arbitrase kemudian mengasingkan diri dan keluar dari barisan, kemudian dikenal dengan sebutan Khawarij atau orang-orang yang keluar dari  barisan. Kelompok yang tetap bersama Ali disebut kelompok Syi’ah, sementara Mu’awiyah menciptakan kelompok sendiri.[2]

Ada juga yang menyebut, dinamakan Khawarij karena telah keluar (kharaja, kharij, khawarij) dari barisan. Menurut mereka, para pendukung Tahkim atau Arbitrase adalah orang-orang yang sudah melakukan dosa besar, dan para pelaku dosa besar adalah kafir.

Dalam pemahaman Khawarij, semua masalah antara Ali dan Mu’awiyah harus diselesaikan dengan merujuk kepada hukum-hukum Allah yang tertuang dalam Surah al-Maidah Ayat 44. ”Barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir”. Berdasarkan ayat ini, Ali, Mu’awiyah dan orang-orang yang menyetujui tahkim telah menjadi kafir karena mereka dalam memutuskan perkara tidak merujuk Al-Qur’an.
Berawal dari persoalan politik inilah, kaum khawarij mulai memasuki persoalan teologi, ketika mereka menganggap orang –orang yang terlibat arbitrase telah menjadi kafir. Di sini mereka memasuki persoalan kafir yang secara umum dapat gambarkan, ”Seseorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim sehingga harus dibunuh. Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka, bila tidak mau, ia wajib diperangi.[3]

2. Doktrin atau Pemikiran Khawarij

Pemikiran Khawarij tidak hanya menyangkut masalah teologi tetapi juga mencakup wilayah sosial dan politik. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, aliran ini muncul berawal dari peristiwa arbitrse antara Ali dan Muawiyah. Sejak itu kaum Khawarij mulai memunculkan doktrin yang berbicara politik, khususnya mengenai kepala negara (khilafah).
Dalam pemahanan berpolitik, Khawarij lebih bersifat demokratis. Menurut mereka, khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat Islam. Yang berhak menjadi khalifah bukan hanya orang Arab atau Quraisy saja, tetapi siapapun, asal Islam sekalipun budak, jika memang terpilih maka boleh memegang jabatan khalifah. Dengan catatan harus adil dan menjalankan kekuasaan sesuai syariat Islam.
Atas dasar itu, kaum Khawarij mengakui kekhalifahan Abu Bakr Siddiq dan Umar Ibn Al-Khatab, karena menilai keduanya tidak menyimpang dari Islam. Sedangkan Usman Ibn Affan dianggap menyeleweng mulai dari tahun ke tujuh masa kekhalifahannya dan Ali dianggap menyeleweng setelah peristiwa arbitrase.
Paham politik Khawarij ini tentu sangat berlawanan dengan paham yang umum pada waktu itu, dimana pemimpin dipilih berdasarkan suku atau golongan. Dari sini kita dapat mengambil pelajaran, Khawarij sebagian besar suku Badui yang dianggap terbelakang dan minoritas, namun berani dan mampu mengeluarkan ide tentang kepemimpinan yang demokratis, walaupun paham itu berlawanan dengan paham otoritas yang berkuasa.
Namun, walaupun Khawarij menganut demokrasi, tetapi mereka tidak bisa meninggalkan karakter dan watak sebagai suku Arab Badui yang bengis dan suka kekerasan. Mereka selalu menggunakan cara-cara anarkisme dalam menghadapi memimpin yang mereka anggap menyeleweng.[4]
Di bidang sosial, Khawarij juga memiliki doktrin, meskipun kebenaran adanya doktrin ini dalam pemikiran Khawarij masih perlu dilakukan kajian mendalam. Doktrin ini dianggap memperlihatkan kesalehan asli kaum Khawarij yang memunculkan asumsi mereka adalah orang-orang  yang keras dalam pelaksanaan ajaran agama. Kaum Khawarij, cenderung berwatak tekstualitas, sehingga menjadi kelompok fundamentalis. Namun kesan itu tidak tampak pada doktrin sosial Khawarij, seperti:
1.      Seseorang harus menghindar dari pimpinan yang menyeleweng
2.      Amar Ma’ruf Nahi Munkar
3.      Manusia bebas memutuskan perbuatan, bukan dari Tuhan[5]
Jika doktrin sosial di atas memang benar-benar dimiliki Khawarij, maka Khawarij bisa dimasukkan dalam golongan liberal. Sebab dari doktrin sosial di atas, kita dapat meminjam semangat pembebasan Khawarij dalam melakukan perlawanan terhadap penguasa yang dzalim.
Selanjutnya terkait doktrin teologi, Khawarij pada dasarnya merupakan imbas langsung dari doktrin sentralnya, yaitu doktrin politik. Doktrin teologi ini lahir atas kepentingan politik. Doktrin ini selalu digunakan untuk mendapatkan pengikut sebanyak mungkin agar pengaruh semakin kuat yang kemudian akan digunakan menjadi alat melegitimasikan keinginan menggulingkan atau menghabisi orang yang tidak sepaham dengan mereka.

Karena sikap-sikap mereka yang sangat ekstrem dan eksklusif, kaum Khawarij akhirnya tidak terlalu berkembang. Namun dalam perjalanan sejarah pemikiran Islam, pengaruh mereka tetap saja menjadi pokok problematika pemikiran Islam.

Terkait pengakuan terhadap Sunnah, Kaum Khawarij dengan berbagai sektenya menganggap, sebelum peristiwa arbitrase (Th. 37 H), seluruh sahabat adalah adil. Tetapi setelah itu, mereka mengingkari ‘Ali, ‘Utsman, dan sahabat yang tergolong Ashhabul Jamal, kedua hakim Arbitrasi (yang ditunjuk masing-masing golongan). Dengan demikian mereka menolak hal-hal yang diriwayatkan jumhur setelah peristiwa perang Siffin dan arbitrase. Penolakan ini didasarkan kepada tidak adanya kesediaan mereka menerima keputusan kedua hakim serta mengikuti kepemimpinan yang menurut anggapan Khawarij termasuk zhalim. Karena itu Khawarij tidak menganggap para Shahabat sebagai rawi tsiqah lagi.

Namun Dr. Muhammad Musthafa al-Azhumy mengungkapkan perdapat berbeda. Menurutnya Khawarij menerima Sunnah Nabi dan percaya bahwa As-Sunnah sebagai sumber asasi bagi tasyri' Islam. Pendapat ini membuktikan tidak mutlak seluruh Khawarij menolak As-Sunnah yang diriwayatkan para Shahabat sesudah tahkim maupun sebelumnya.[6]

Secara umum, di antara doktrin-doktrin pokok pimikiran Khawarij adalah sebagai berikut :
a.       Khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh kaum Islam.
b.      Khalifah tidak harus berasal dari keturunan Arab. Dengan demikian setiap orang Muslim berhak menjadi khalifah asal sudah memenuhi syarat.
c.       Ajaran agama yang harus diketahui hanya ada dua, yakni mengetahui Allah dan Rasulnya.
d.      Dosa kecil yang dilakukan secara terus menerus akan berubah menjadi besar dan pelakunya menjadi musyrik.
e.       Orang Islam yang berbuat dosa besar, seperti berjina adalah kafir dan selama masuk neraka.
f.       Orang yang masuk neraka tidak akan pernah keluar lagi untuk selamanya.
g.      Memalingkan ayat-ayat Al-Qur’an yang tampak mutasabihat (samar).
h.      Manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan dari Tuhan.
i.        Al-Qur’an adalah makhluk.
j.        Pasukan perang jamal yang melawan Ali adalah kafir.
k.      Khalifah ‘Ali r.a. adalah sah tetapi setelah terjadi atbitrase, ia dianggap menyeleweng

 

3.      Sekte Khawarij

Di dalam internal Khawarij juga terjadi perbedaan pendapat mengenai paham mereka, dan itu awal perpecahan dan pembentukan sekte-sekte. Diketahui Khawarij terpecah menjadi 18 hingga 20 sub sekte, di antaranya adalah:
1.      Al-Muhakkimah: Khawarij asli dan terdiri dari pengikut-pengikut Ali. Bagi mereka Ali, Mu’awiyah, kedua hakim arbitrase serta seluruh orang yang mengakui dan menyetujui arbitrase bersalah dan menjadi kafir. Selanjutnya arti kafir mereka perluas bagi orang yang melakukan dosa besar. Seperti berzinah dan membunuh, menurut mereka termasuk perbuatan dosa besar dan orang yang melakukan menjadi kafir.
2.      Al-Azariqah: Golongan baru yang memusatkan kekuatan  di wilayah perbatasan Irak dan Iran, dipimpin Nafi Ibn Azraq. Sekte ini menggunakan pemahaman yang lebih radikal. Kelompok ini tidak lagi menggunakann term kafir, tapi musyrik. Yang masuk kategori musyrik menurut sub sekte ini semua orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka. Bahkan orang islam yang tidak mau hijrah ke lingkungan mereka dianggap musyrik. Dalam pandangan Al-Azariqah hanya merekan islam yang benar, dan siapa saja yang mereka temui lalu mengaku islam tapi bukan bagian dari kelompok mereka, dibunuh.
3.      Al-Najdat: Dipimpin Najdah Ibn Amir al-Hanafi dari Yamamah. Awalnya ia dan pengikutnya ingin bergabung dengan Al-Azariqah, namun mereka tidak sepaham dengan pendapat bahwa orang Azriq yang tidak mau hijrah ke lungkungan Al-Azariqah dianggap musyrik. Termasuk mereka tidak sependapat dengan paham boleh dan halal mebunuh istri orang-orang islam yang tidak sepaham dengan mereka. Kelompok ini berpendapat orang yang berdosa besar menjadi kafir, kecuali dari kelompok mereka. Namun dosa kecil bagi mereka akan menjadi dosa besar jika dilakukan terus menerus.
4.      Al-Ajaridah: pemimpinnya Abd al-Karim Ibn Ajrad. Kelompok ini bersikap lebih lunak, karena menurut mereka hijrah bukan kewajiban, tapi kebajikan. Kelompok ini tidak mengakui seluruh isi al-Qur’an, seperti surah Yusuf yang bercerita tentang cinta.
5.      Al-Sufriah: pemimpinnya Ziad Ibn Asfar. Golongan ini juga memiliki paham yang ekstim dan diantara pendapat mereka adalah orang Sufriyah yang tidak hijrah bukan musyrik, daerah islam yang tidak sepaham dengan mereka bukan dar al-harb yang wajib diperangi. Kafir mereka klasifikasi pada dua pengertian, yakni kafir nikmat atau yang mengingkari nikmat dan kafir rububiyah atau mengingkari Tuhan. Artinya tidak selamanya orang yang disebut kafir berarti sudah keluar dari Islam.
6.      Al-Ibadah: paling moderat, diambil dari nama Abdullah Ibn Ibad. Paham kelompok ini, orang islam yang tidak sepaham dengan mereka bukan mukmin dan bukan musyrik, tapi kafir. Orang islam yang melakukan dosa besar adalah orang muwahid atau mengesakan Tuhan tapi bukan mukmin dan bukan kafir millah atau agama.[7]

 

C.    Mu’tazilah

1.      Sejarah Munculnya

Kelompok ini, adalah golongan yang membawa persoalan teologi lebih mendalam dan bersifat filosofis, terkait ajaran yang dibawa kaum Khawarij dan Muriji’ah. Kelompok ini muncul di kota Bashrah (Irak) pada abad ke-2 Hijriyah, antara tahun 105-110 H, tepatnya di masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan dan Khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah, mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal.
Seiring bergulirnya waktu, kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. Hingga kemudian para dedengkot mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Sejak saat itulah, manhaj mereka benar-benar terwarnai oleh manhaj ahli kalam, yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah. Karenanya tidak aneh bila kaidah nomor wahid Mu’tazilah berbunyi: “Akal lebih didahulukan daripada syariat (Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’) dan akal-lah sebagai kata pemutus dalam segala hal. Bila syariat bertentangan dengan akal, maka syariat harus dibuang atau ditakwil.

2. Mengapa Disebut Mu’tazilah?
Mu’tazilah, secara etimologis bermakna: orang-orang yang memisahkan diri. Sebutan ini mempunyai suatu kronologi yang tidak bisa dipisahkan dengan sosok Al-Hasan Al-Bashri, salah seorang imam di kalangan tabi’in.
Dalam satu riwayat disebutkan, Asy-Syihristani berkata: (suatu hari) datanglah seorang laki-laki kepada Al-Hasan Al-Bashri seraya berkata: “Wahai imam dalam agama, telah muncul di zaman kita ini kelompok yang mengkafirkan pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik). Dan dosa tersebut diyakini sebagai suatu kekafiran yang dapat mengeluarkan pelakunya dari agama, mereka adalah kaum Khawarij. Bagaimanakah pendapatmu dalam permasalahan ini agar kami bisa menjadikannya sebagai prinsip (dalam beragama)?”
Al-Hasan Al-Bashri pun berpikir sejenak, namun sebelum beliau menjawab, tiba-tiba Washil bin Atha’ menjawab. “Menurutku pelaku dosa besar bukan seorang mukmin, juga tidak kafir, ia berada pada suatu keadaan di antara dua keadaan, tidak mukmin dan juga tidak kafir. ”Lalu ia berdiri dan duduk menyendiri di salah satu tiang masjid sambil tetap menyatakan pendapatnya tersebut kepada murid-murid Hasan Al-Bashri lainnya. Maka Al-Hasan Al-Bashri berkata: “Washil telah memisahkan diri dari kita”, maka disebutlah dia dan para pengikutnya dengan sebutan Mu’tazilah.
Namun menurut keterangan klasik ada teori baru yang diajukan Ahmad Amin (lihat Fajr al-Islam hlm 290) bahwa nama Mu’tazilah sudah ada sebelum terjadi peristiwa Washil dengan Hasan Al-Basri dan sebelum timbulnya pendapat tentang posisi diantara dua posisi. At-Tabrani misalnya menyebut sewaktu Qais Ibn Sa’ad sampai di Mesir sebagai Gubernur yang ditunjuk Ali bin Abi Thalib, ia menjumpai pertikaian di masyarakat. Satu golongan mengikutinya dan satu lagi memisahkan diri ke Kharbita. Dalam suratnya kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib, ia menyebutkan kelompok yang memisahkan diri ke Kharbita tersebut sebagai Mu’tazilin. Sementara Abu Al Fida memakai kata al-Mu’tazilah.[8]
Dalam perjalanan sejarah, Mu’tazilah mengalami naik turun popularitas dan pengaruh. Kekuatan paham ini kembali muncul di zaman berkuasanya Dinasti Buwaih di Bagdad. Akan tetapi tidak lama, karena Bani Buwaih digulingkan Bani Saljuk, dimana pemimpinnya cenderung Asy’ariyah.

3. Doktri Mu’tazilah
Ibn Taymiyyah, menyebutkan ilmu kalam keahlian khusus kaum Mu'tazilah. Maka salah satu ciri pemikiran Mu'tazilah ialah rasionalitas dan paham Qadariyyah. Namun yang pertama kali menggunakan unsur-unsur Yunani dalam penalaran keagamaan ialah Jahm ibn Shafwan yang justru penganut paham Jabariyyah. Dalam pandangannya manusia tidak berdaya sedikit pun dengan kehendak dan ketentuan Tuhan. Karena itu Tuhan tidak mungkin memberi pahala dan dosa, dan segala sesuatu yang terjadi, termasuk pada manusia.
Oleh karena itu kaum Mu'tazilah disebut "titisan" doktrinal kaum Khawarij. Tetapi kaum Mu'tazilah banyak mengambil alih sikap kaum Jahmi yang mengingkari sifat-sifat Tuhan itu. Lebih penting lagi, kaum Mu'tazilah meminjam metologi kaum Jahmi, yaitu penalaran rasional, meskipun dengan berbagai premis yang berbeda.
Khalifah al-Ma'mun sendiri, di tengah-tengah pertikaian paham berbagai kelompok Islam, memihak kaum Mu'tazilah melawan kaum Hadits yang dipimpin Ahmad ibn Hanbal (pendiri mazhab Hanbali, salah satu dari empat mazhab Fiqh). Lebih dari itu, Khalifah al-Mu'tashim yang menggantikan Khalifah al-Ma'mun, melakukan mihnah (pemeriksaan paham pribadi), dan menyiksa serta menjebloskan banyak orang, termasuk Ahmad ibn Hanbal ke dalam penjara. Salah satu masalah yang diperselisihkan ialah apakah Kalam atau Sabda Allah, berujud al-Qur'an, itu qadim (tak terciptakan karena menjadi satu dengan hakikat atau Dzat Ilahi) ataukah hadits (terciptakan, karena berbentuk suara yang dinyatakan dalam huruf dan bahasa Arab)? Khalifah al-Ma'mun dan kaum Mu'tazilah berpendapat bahwa Kalam Allah itu hadits, sementara kaum Hadits berpendapat al-Qur'an itu qadim seperti Dzat Allah sendiri.
            Aliran Muktazillah mempunyai lima doktrin, pertama At-Taauhid (Tauhid). Ajaran ini berarti meyakini sepenuhnya hanya Allah SWT. Konsep tauhid menurut mereka adalah paling murni sehingga mereka senang disebut pembela tauhid (ahl al-Tauhid). Kedua  Ad-Adl. Menurut aliaran Muktazillah pemahaman keadilan Tuhan mempunyai pengertian Tuhan wajib berlaku adil dan mustahil ia berbuat zalim kepada hamba-Nya dan Tuhan wajib berbuat yang terbaik bagi manusia. Misalnya, tidak memberi beban terlalu berat, mengirimkan nabi dan rasul, serta memberi daya manusia agar dapat mewujudkan keinginannya.
Ketiga Al-Wa’d wa al-Wa’id (Janji dan Ancaman). Menurut Muktazillah, Tuhan wajib menepati janji-Nya memasukkan orang mukmin ke dalam sorga. Begitu juga menempati ancaman-Nya mencampakkan orang kafir serta orang yang berdosa besar ke dalam neraka. Keempat  Al-Manzilah bain al-Manzilatain (posisi di Antara Dua Posisi). Pemahaman ini merupakan ajaran dasar pertama yang lahir di kalangan Muktazillah. Pemahaman ini yang menyatakan posisi orang Islam  yang berbuat dosa besar. Orang jika melakukan dosa besar, ia tidak lagi sebagai orang mukmin, tetapi ia juga tidak kafir. Kedudukannya sebagai orang fasik. Jika meninggal sebelum bertobat, dimasukkan ke neraka selama-lamanya. Akan tetapi, siksanya lebih ringan dibanding orang kafir.
Kelima Amar Ma’ruf Nahi Munkar (Perintah Mengerjakan Kebajikan dan Melarang Kemungkaran). Dalam prinsip Muktazillah, setiap muslim wajib menegakkan yang ma’ruf dan menjauhi yang mungkar. Bahkan dalam sejarah, mereka pernah memaksakan ajarannya kepada kelompok lain. Orang yang menentang akan dihukum.[9]
Pandangan Mu’tazilah terkait As-Sunnah, di antara ulama ada perbedaan pendapat, apakah mereka sejalan dengan jumhur ulama tentang penggunaan As-Sunnah sebagai hujjah. Termasuk pembagian hadits menjadi mutawatir dan ahad, ataukah mereka menolak hadits ahad saja, atau menolak As-Sun-nah secara keseluruhan.
Al-Amidi mengutip pandangan seorang tokoh Mu'tazilah bernama Abul Husain al-Bashri, yaitu: “Secara rasional, ibadah berdasarkan khabar ahad wajib diamalkan.” Selanjutnya ia mengutip pandangan al-Jubba’i dan sebagian mutakallimin yang menyatakan: “Secara rasional melaksanakan ibadah atas dasar khabar ahad tidak dapat dibenarkan.”
Sementara ulama perbandingan agama, Abu Manshur al-Baghdadi penulis al-Muwaaqif dan ar-Razi mengemukakan pandangan sekte Nizhamiyah, sebagai berikut:
a. Mereka mengingkari mu'jizat-mu'jizat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
b. Mereka mengingkari hujjahnya hadits ahad, dan
c. Mereka mengingkari hujjahnya ijma’ dan qiyas.
Kemudian ia menyebutkan umumnya kaum Mu'tazilah mengikuti pemikiran an-Nazhzham (sekte Nizhamiyah) ini.[10]

D.    Analisa

Di dalam al-Qur’an, Islam dinyatakan sebagai satu-satunya agama yang diridhoi Allah. Wahyu Allah sebagai sumber pokok ajaran agama Islam yang turunnya berakhir setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Sedangkan makhluk paling sempurna adalah manusia yang dianugerahi akal. Pengetahuan yang dibawa wahyu diyakini bersifat absolut dan mutlak kebenarannya, sedang pengetahuan yang diperoleh melalui akal bersifat relatif.
Banyak pendapat-pendapat yang menguraikan tentang pengertian akal. Tapi dalam pandangan Islam, akal tidaklah otak, tetapi daya pikir yang terdapat dalam jiwa manusia, daya yang digambarkan dalam al-Qur’an, memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan alam sekitarnya.
Sementara secara etimologi “wahyu” berarti isyarat, bisikan buruk, ilham, perintah. Sedangkan menurut termonologi berarti nama bagi sesuatu yang disampaikan dari Allah kepada Nabi-Nabi-Nya. Dalam Islam wahyu atau sabda Tuhan yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW terkumpul semuanya dalam al-Qur’an. Salah satu ayat yang artinya :
“Dan tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana”. (Q.S al-Syura : 51)[11]
Menurut ajaran tassawuf, komunikasi dengan Tuhan dapat dilakukan melalui daya rasa manusia yang berpusat di hati sanubari. Dalam tassawuf dikenal tingkatan ma’rifat, dimana seorang sufi dapat melihat Tuhan dengan kalbunya dan dapat berdialog dengan Tuhan. Adanya komunikasi antara orang-orang tertentu dengan Tuhan bukanlah hal yang ganjil. Oleh karena itu dalam Islam wahyu dari Tuhan kepada Nabi Muhammad SAW, bukanlah suatu hal yang tidak dapat diterima akal.
Dari sisi fungsi, akal dan wahyu mempunyai kedudukan penting. Akal merupakan saranan dalam usaha memperoleh pengetahuan, bertindak atas usaha dan daya sendiri. Wahyu, menggambarkan kelemahan manusia, karena wahyu diturunkan Tuhan untuk menolong manusia memperoleh pengetahuan-pengetahuan.
Berangkat dari pemahaman di atas, pemikiran dalam teologi Islam yang dibawa alirah Khawarij dan Mu’tazilah memiliki dasar-dasar kebenaran, tergantung dari sisi mana dilakukan pendekatannya. Seperti perbuatan manusia yang dihubungkan dengan sifat Adil Allah. Secara rasional bila dipahami, manusia baru bisa melakukan sesuatu jika diberikan Allah kekuatan, maka tidak pantas manusia diberikan dosa dan pahala, apalagi jika dihubungkan dengan sifat Adil Allah. Sungguh Allah tidak adil jika menghukum hambanya yang berbuat dosa, padahal kekuatan manusia untuk melakukan dosa tersebut merupakan pemberian Allah.
Sebaliknya, manusia sebenarnya bisa mengetahui apakah perbuatan yang dilakukannya melanggar hukum Allah atau tidak dengan kekuatan akal. Jika seseorang yang mengetahui ia melanggar hukum, maka wajar dan layak diberikan sanksi berupa dosa.
Oleh karena itu menurut penulis, pemikiran dan paham yang dikembangkan Khawarij dan Mu’tazilah serta aliran-aliran lainnya, perdebatannya lebih kepada penempatan posisi akal dan pemahaman terhadap kekuatan akal itu sendiri.

 

E.     Penutup

Khawarij berarti orang-orang yang keluar barisan Ali bin Abi Thalib. Golongan ini menganggap diri mereka sebagai orang-orang yang keluar dari rumah dan semata-mata untuk berjuang di jalan Allah. Meskipun pada awalnya khawarij muncul karena persoalan politik, tetapi dalam teapi dalam perkembangannya golongan ini banyak berbicara masalah teologis.
Mu’tazilah muncul sebagai reaksi atas pertentangan antar aliran Khawarij dan aliran Murji’ah mengenai persoalan orang mukmin yang berdosa besar. Dalam pengertian ini, Mu’tazilah-sebagaimana juga Asy’ariayah-masuk dalam barisan sunni.

 

 

 





DAFTAR BACAAN


Rozak, Abdul, Dkk, Ilmu Kalam, Bandung, CV. Pustaka Setia, 2007.
Aldul Rahman, Roli, Dkk,  Aqidah Akhlak MA 2, Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2007.  
Nasution, Harun, Teologi IslamAliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta, UI Press, 1986.
Prof. DR. Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, Jilid I, Universitas Indonesia, 1978..
Hanafi, A. Pengantar Theologi Islam, Jakarta, PT. Al Husna Zikra, 1995.
Imam Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam, (Jakarta : Logos, 1996).
Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, (Jakarta : Bulan Bintang, 1979).
Mudzaffaruddin Nadvi, Pemikiran Muslim dan Sumbernya, (Bandung : Pustaka, 1984).
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta : Paramadina , 2000).
http://miazart.blogspot.com, Aliran Syiah, Khawarij, Murjiah, Qadariyah, Jabariayah, Mu’tazilah, Dan Ahlussunah Waljama’ah.
Ja’far, S.Pd.I. M.A, Gerbang-Gerbang Hikmah; Pengantar Filsafat Islam, Yayasan Pena Banda Aceh, 2011
http://lestari.info, Kelompok Khawarij Dalam Ilmu Kalam
http://almanhaj.or.id, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, As-Sunnah Dan Para Penentangnya Di Masa Lalu Dan Masa Sekarang

 

 




[1] Prof. DR. Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, Jilid I, 1978, Universitas Indonesia, Hlm.93-94.
[2] Ibid, hlm 95
[3] Ja’far, S.Pd.I. M.A, Gerbang-Gerbang Hikmah; Pengantar Filsafat Islam, Yayasan Pena Banda Aceh, 2011, hlm.56-57
[4] http://lestari.info, Kelompok Khawarij Dalam Ilmu Kalam
[5] Ibid
[6] http://miazart.blogspot.com, Aliran Syiah, Khawarij, Murjiah, Qadariyah, Jabariayah, Mu’tazilah, Dan Ahlussunah Waljama’ah.
[7] Prof Dr Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Universitas Indonesia Pres, 2008, Hlm.15-22
[8] Ibid, Hlm.41
[10] http://almanhaj.or.id, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, As-Sunnah Dan Para Penentangnya Di Masa Lalu Dan Masa Sekarang.

[11] Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Toha Putra, Semarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar